Nara berpapasan dengan ibunya di depan pintu saat ia baru saja sampai rumah. Wanita itu sudah berdandan cantik dan menjinjing sebuah tas. Nara tahu kemana ibunya akan pergi, namun ia bersikap tak peduli. Sejak kejadian malam minggu itu, tak ada sedikitpun percakapan antara ibu dan anak tersebut. Erna pernah beberapa kali bertanya pada Nara tentang apa yang terjadi, namun cewek itu hanya diam tak memberikan jawaban.
Nara segera bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ia lalu merebahkan tubu penatnya di atas kasur. Ternyata sekolah dan bekerja membuat tubuh kurusnya memberikan penolakan. Badannya pegal-pegal dan terasa ngilu. cewek itu lantas memejamkan matanya, hendak istirahat sebentar sebelum nanti beranjak ke kamar mandi, namun yang ada justru bayangan Evander yang tadi sore datang ke tempatnya bekerja menari-nari di dalam pikirannya.
Nara menghembuskan nafas pelan. Segera ia membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. apa aku terlalu berlebihan tadi, pikirnya dalam hati.
Nara menelan saliva. Ia lantas mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya. Tak berselang lama, ia sudah menemukan kontak nama Evander di buku teleponnya. Cewek itu menimang-nimang benda pipih itu lama, namun sejurus kemudian ia kembali membuangnya di atas kasur lalu menelungkupkan badannya.
*****
"Wajah kamu pucet banget sih Ci?" Nara memandang Lucita yang kini duduk di sampingnya. Biasanya Lucita selalu telihat cetar dengan penampilannya. Lipstik yang membuat bibirnya ranum seperti buah cherry, serta pipi yang merona karena blush on yang dipakainya. Namun sore ini Lucita seperti mayat hidup. Tak ada lipstik, tak ada blush on yang menempel di wajahnya.
"Sakit ya?"
Lucita tak menjawab. ia hanya mengangguk kecil lalu memegangi perutnya. Mereka berdua kini duduk di pinggir lapangan, hendak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepulang sekolah. Namun sejak beberapa menit yang lalu wajah Lucita terlihat semakin pucat.
"perut aku sakit sejak tadi pagi Ra." Jawabnya pelan.
Nara memandang sekeliling. Tak ada orang yang bisa ia mintai tolong untuk membantu membawa Luicta ke UKS. Jika ia membawanya sendiri, pasti akan kesusahan karena tubuh Lucita yang lebih besar dan tinggi darinya.
Nara kembali memandang sekeliling, tiba-tiba saja pandangannya terhenti saat melihat Evander berjalan beriringan bersama teman-teman basketnya di koridor. Nara tertegun sejenak, berfikir apa ia perlu meminta bantuan cowok itu.
Batin Nara berperang. Antara meminta bantuan atau tidak. Jika iya, bukankah akan sangat memalukan jika dia tiba-tiba meminta tolong pada cowok itu padahal kemarin ia baru saja mengatakan hal buruk pada Evander namun jika Nara tidak meminta bantuan, Lucita pasti akan tambah kesakitan.
Apa boleh buat, pikir Nara memantapkan niatnya.
"Evander!" Nara berseru.
Langsung beberapa cowok basket yang berjalan bersama Evander dan termasuk Evander menoleh.
Evander menaikkan alisnya tidak percaya, saat ia tahu siapa yang memanggil namanya.
"Van, malah begong. Di panggil tuh!" Seteven menyikutnya.
"Aku?" Evander menoleh tidak percaya. Namun keraguannya seketika sirna saat ia melihat Nara melambai ke arahnya dan kembali memanggil namanya.
"Sebentar ya. kalian duluan aja." Evander menyuruh teman-temannya untuk lebih dulu ke lapangan sedangkan ia bergegas menyusul Nara di tengah lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...