30

88 7 0
                                    

                Nara meremas tangannya dengan kuat saat ia baru saja sampai di depan gerbang sekolah. Belum apa-apa, beberapa pasang mata sudah menatapnya penuh ejekan, bahkan beberapa diantaranya tampak meludah di depannya dengan pandangan jijik.

Cewek dengan rambut terikat itu menarik nafas pelan. Bagaimanapun juga, semua ini harus dihadapinya dengan lapang dada, karena Nara tau tak ada tempat untuknya sembunyi saat ini. Menerima berbagai macam ejekan dan kata kasar dari teman-temannya meskipun ia tak pernah melakukan apa yang mereka pikirkan. Rei benar, tak akan ada yang percaya jikapun saat ini Nara membela diri dengan mengatakan 'tidak'. Mereka justru akan semakin mencibir dan menganggap Nara membela diri. Jadi mungkin ini lebih baik, membiarkan mereka berfikiran sesukanya sampai mereka bosan sendiri dan gosip itu menguap begitu saja.

Baru saja Nara hendak mengayunkan kakinya, ia melihat Listi yang berjalan sendirian dari tempat parkir. Tanpa menunggu waktu, ia bergegas menyusul Listi.

"Lis!" Nara tersenyum, melambai pada Listi yang kini menghentikan langkahnya dan terpaku menatap Nara dengan ekspresi datar.

"Listi......!" ulang Nara lagi, takut jika Listi tak mendengar teriakannya tadi.

Tapi baru saja Nara sampai, Listi hanya memandang sekilas, merapatkan ranselnya hendak bergegas pergi.

"Em...sorry ya Ra. Aku harus masuk duluan." Cewek itu berjalan tergesa tanpa menoleh ke belakang, seolah sedang menghindari Nara.

Nara menatap punggung Listi yang menjauh lalu hilang di belokan kelas. Matanya basah, harapan terakhirnya bahwa Listi tak akan mengacuhkannya pupus sudah.

Cewek itu berusaha mengusir perasaan yang menganggu di pikirannya, kakinya melangkah tegap menuju kelas. Seolah perlakuan dari teman-temannya itu bukan apa-apa. Hanya angin yang menggoyangkan rumput liar sesaat di tengah padang.

Rupanya perlakuan teman-temannya tak sampai di situ saja, di koridor pemadangan menyeramkan benar-benar membuat Nara menunduk sedalam-dalamnya. Semua mata memandangnya tajam dan mulut tanpa suara. Seolah dari sinar mata mereka yang terus mengekor tubuh Nara sudah menjadi jawaban dari keheningan mereka semua.

"Akh, pantees aja godain Rei. Orang ibunya penggoda kok." Celetukan terdengar dari ujung koridor. Namun Nara tak berani menoleh, ia tetap menunduk diam dengan langah pelan-pelan seolah sedang menghitung ubin.

"Surprize banget lho. Emang servisan dia sehebat apa sih, sampai Rei akhinya macarin cewek yang awalnya Cuma booking'an aja?" seorang siswa cowok ikutan nimbrung. "Penasaran gue."

"Kalau gue ngerti kerjaan dia apa'an, udah pasti gue duluan lah yang pakai dia. Nah sekarang bekasnya Rei. Ogah banget gue."

Nara menarik nafas pelan, sebutir air mata jatuh tepat di atas ubin. Buru-buru ia menyekanya dengan punggung tangan kemudian kembali berjalan tanpa peduli dengan kata-kata mereka. Menyakitkan memang, tapi apa yang mau Nara lakukan?

Nara mempercepat langkahnya menuju kelas. Namun di kelaspun tidak membuat Nara lebih baik, tapi lebih buruk. Sejak ia masuk gerbang sekolah tadi, Nara seperti seseorang yang duduk di kursi pesakitan hendak di adili tanpa ada pembelaan apapun, dari siapapun.

Semua suara riuh yang tadi sempat didengarnya sebelum ia masuk, kini berubah hening. Sekali lagi, semua murid mengekor gerak tubuh Nara yang berjalan menuju mejanya. Sesampainya di meja paling belakang, Nara tak menemukan tas Listi di samping tempat duduknya, bahkan kini mejanya jauh digeser di bagian paling belakang mepet tembok, sedang Listi dan Cindy duduk berpindah ke bagian berlawanan dengan tempat duduk Nara.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang