"Kamu dimana?"
"Aku....aku lagi nginep di rumah Cindy. Iya Cindy! Temen sekelas aku. Pulang besok pagi."
"Oh..." Hanya itu kalimat yang berhasil dikeluarkan Evander karena seketika ujung lidahnya terasa kelu. Nara telah berbohong padanya.
"Oke, aku tutup ya."
"Baiklah."
Evander mendongakkan kepalanya ke atas. Pada langit gelap dengan beberapa titik bintang diatas sana. Ia tidak tahu dengan perasaannya, yang jelas saat ini hatinya sakit. Memang teras aneh mungkin, saat ia baru saja mengenal Nara tapi sudah bersikap layaknya dua orang yang sudah mengenal satu sama lain sangat lama. Iya, selain karena ia kasihan, ada hal lain yang membuatnya nyaman bersama cewek itu. Nara adalah cewek apa adanya, dan Evander suka itu. kedewasaannya dan ketegarannya membuat hati Evan luluh seketika.
Lantas apa yang dilakukan gadis itu di sana? Apakah dia harus datang kesana dan mengajaknya pulang? Akh, terlalu dramatis. Siapa dia sampai berani-beraninya memaksa Nara untuk pulang bersamanya. Sahabat? Bahkan cewek itu tak menerima ajakan pertemanannya. Pacar? Apalagi itu. Sangat tidak mungkin. Lantas kenapa Evander merasa tersakiti?
***
Sejak tadi kedua manusia itu membisu dalam keheningan kamar hotel yang mencekat. Tak ada saling tukar cerita ataupun lainnya. Keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Yang dilakukan kedua anak yang memiliki takdir memprihatinkan itu hanya saling bersebelahan dan menyesap gelas anggur mereka masing-masing.
Bagi Nara yang baru kali ini menyesap minuman itu, ia terkejut. Terkejut dengan rasa pahitnya yang meremas lidahnya, terkejut karena setelah ia menghabiskan beberapa teguk tubuhnya terasa ringan dan kepalanya sedikit berputar. Mungkin ini efeknya, pikirnya dalam hati.
Sedang Reiga yang berharap agar segera mabuk justru mengalami hal yang sebaliknya. Ia tak merasakan apapun, bahkan ia masih sangat sadar sekarang. Yang dilakukannya hanya menyesap wine itu pelan-pelan sambil sesekali melirik Nara yang kelihatannya sudah mulai hangover.
Tiba-tiba.
Buk.
Kepala Nara terjatuh tepat di pundak Rei. Cowok itu sedikit terkejut, namun sejurus kemudian ia menyadari bahwa Nara telah tertidur dipundaknya.
Rei menatap Nara yang terlihat damai dalam tidurnyaa. Tangan Rei terulur untuk mebenarkan letak poni Nara yang sedikit menutup wajahnya. Dan untuk beberapa saat Rei terpaku menatap wajah cantik itu, sebelum akhinya ia berinisiatif mengangkat tubuh cewek itu kemudian menidurkannya di kasur.
Rei tersenyum. Entah kenapa sejak kedatangan Nara tadi ia jadi lebih banyak tersenyum. Ia yakin jika Nara bukan gadis seperti ini. Dia polos, suci dan murni. Itu kesimpulan yang diambilnya saat cewek itu datang tadi.Perlahan Rei mengelus pipi ranum Nara, membuat gadis itu bergerak-gerak karena merasa risih.
Cowok bermata biru itu mengangkat badannya, berjalan gontai mengambil poselnya diatas meja kemudian berjalan ke sisi jendela. Menatap lampu-lampu kota yang masih berkelip indah meski hari hampir pagi. Jemarinya lincah memencet layar handphone. Ingin menelpon seseorang.
"Tolong caritahu identitas Nara Danita. Cewek yang malam ini sedang bersamaku. Mulai dari keluarga sampai pekerjaannya."
Rei menutup teleponnya segera. Sebelum ia melangkah menuju sofa untuk tidur, ia masih sempat menatap wajah tenang Nara kemudian tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...