"Latihan sendiri oke boy. Aku pergi dulu, dipanggil kepala sekolah." Mark menepuk pundak Evander kemudian berlalu pergi meninggalkan cowok itu sendirian di lapangan basket.
Sepeninggal Mark, cowok yang kini memaki kostum basket warna putih tanpa lengan itu kembali sibuk dengan bolanya. Sampai dia tidak sadar jika Tio sudah menatapnya nanar di pinggir lapangan.
"Lha, kalau lo kayak gini gue demen Van." Serunya kemudian bertepuk tangan.
Evander menoleh. Menatap malas Tio yang sudah tersenyum lebar padanya.
"Ngapain lo kesini?" tanyanya kemudian, ia membuang bolanya sembarangan lalu berjalan mendekati Tio, mengambil sebotol air mineralnya lalu meneguknya cepat.
Tio tak menjawab, ia kemudian duduk di lapangan dengan kedua lutut ditekut dan lengan melingkar di kakinya.
"Males ikut pelajaran gue." Jawabnya. Ia mendongak, menatap siluet Evander yang masih berdiri di sampingnya.
Evander tersenyum dengan salah satu sudut bibirnya kemudian duduk berselonjor kaki disamping Tio.
"Gimana luka lo Van?" Tio menoleh. Meneliti muka Evander yang penuh keringat. Beberapa lebam masih terlihat samar di sudut mukanya namun tak separah kemarin.
"Udeeeeh...kalo lo kesini Cuma mau bahas luka gue lagi mending lo pergi sono!" Evander menyikut lengan Tio.
Cowok itu meringis kesal.
"Sebagai sahabat yang baik nggak ada salahnya kalik gue perhatian sama lo!"
Evander terkekah. Ia lantas menyisir rambutnya yang setengah basah oleh keringat itu dengan jarinya.
"Lo perhatian sama gue karena lo gak punya cewek. Coba lo punya cewek, bakal nggak inget gue lagi 'kan?"
"Huuu....somplak!" maki Tio. "Tau aja lo otak gue." Dia terkekah.
"Kelihatan dari lubang hidung lo tuh!"
Tio mendengus, lalu tertawa. ia lebih senang melihat Evander yang seperti ini daripada Evander yang menekuk mukanya macam orang kebanyakan utang.
"Eh Van, kapan seleksinya?" Tio menoleh ke arah Evander.
Evander menggeleng.
"Belum jelas. Emang kenapa?"
"Mau lihat lo tanding."
Evander menggeleng tegas.
"Nggak usah dateng. Bikin gue kalah ntar!"
Tio mengerucutkan bibir.
"Gitu ya lo sama gue bang? Tega banget! Jahat!"
Evander mengangkat muknya, nanar menatap luar gedung basket yang masih panas. Beberapa siswa melintas di depan sana, entah dengan tujuan kemana.
"Gue kurang semangat latihan akhir-akhir ini." Gumamnya.
"Kenapa? Masalah cewek itu lagi?"
Evander tak menyahut.
"Eh Van." Tio menepuk pundak Evander. " kalau gue saranin sih ye, mencintai itu sewajarnya saja. daripada akhirnya lo juga yang sakit. Kayak sekarang nich, gue tau kalau cinta lo sama Nara nggak diragukan lagi. Lebih tulus malah dari cinta lo ke gue." Jeda Tio terkekah kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...