14

127 7 0
                                    

Ku hanya diam,

Memendam menahan segala kerinduan

Ku panggil namamu di setiap malam

Ingin engkau datang dan hadir di mimpiku

Rindu....

Buk! Sebuah bantal melayang tepat di muka Tio saat cowok itu tengah asyik bermain gitar di kamar Evander. Siapa lagi yang melakukan itu kalau bukan sang empunya kamar. Ia kesal dengan Tio yang sejak tadi seolah sedang menyindirnya dengan lagu-lagu yang dimainkannya.

"Bacot loe bisa diem nggak sih!" Umpat Evander sengit.

Tio menatap Evander dengan kesal. Sejak ia datang dua jam yang lalu, yang dilakukan cowok yang kini duduk menghadap televisi sambil memegang stick ps tapi tak memainkannya itu hanya melamun, mendesah, melamun lagi kemudian memainkan ps, kalah, marah-marah lalu melamun lagi. Tio tak habis pikir, sepanjang persahabatan mereka baru kali ini Evander terlihat aneh.

"Gue kira acara kesambet loe kemarin-kemarin udah selesai Van...Van...." omel Tio sambil menyenderkan gitarnya. Ia lebih baik memainkan ponselnya dan membuka aplikasi instagram.

Baru beberapa detik men-scrol-scrol layar ponselnya, cowok beranting-anting itu menjerit nyaring.

"Astaga! Bebeb Lucita operasi?!" pekiknya kemudian saat ia melihat instastory Lucita dirumah sakit dengan caption.

'satu jam menjelang operasi. Semoga lancar.'

Evander mencebik. Dasar manusia jaman now, udah tau sakit dan mau operasi, masih sempet-sempetnya bikin status di sosial media. Huft!

"Kok gue jadi cemas gini sih?!"

Evander ta menyahut. Ia menghela nafas frustasi. Kemudian pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi sore.

"Em....aku rasa aku ingin minta maaf padamu."

"Tentang ciuman itu?"

"Kenapa kamu menciumku Rei? Padahal itu ciuman pertamaku."

"Arrrggh!!!!" Evander mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia lantas menjatuhkan badannya di atas kasur kemudian menutupinya dengan selimut sampai ke ujung kepala.

"Lha, bener kan? Kumat lagi kan!" Tio menatap Rei dengan pandangan aneh yang tak bisa dijelaskan. Cowok itu berdecak pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin tahu isi pikiran Evander, setidaknya agar ia merasa berguna sebagai sahabatnya. Namun sejak kemarin Tio berusaha bertanya, cowok itu selalu marah-marah dan terus mengomelinya.

"Hai anak-anak!" Mark muncul dari balik pintu dengan senyum berbinar.

"Hai mas!" Tio mengangkat telapak tangannya.

"Mana Evander?"

Tio mengedikkan matanya ke arah Evander yang masih tertutupi selimut.

"Akh, masih sore udah tidur aja." Decak Mark lalu berjalan menuju ke arah Evander.

"Hei Van! Van!" ia lantas duduk di tepi tempat tidur lalu menggoyang-goyangkan tubuh calon adik iparnya.

Evander membuka selimutnya sedikit, dan hanya kedua matanya saja yang terlihat. Hari ini ia malas menanggapi siapapun, terlebih Mark.

"Apalagi?"

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang