31

91 4 0
                                    

                "Selamat pagi Rei...." Lucita menghambur ke meja Rei saat cowok itu muncul dari balik pintu dan berjalan santai menuju mejanya. Cowok itu hanya melirik sebentar, sebelum akhirnya menaruh ransel hitamnya di atas kursi.

Namanya bukan Lucita jika menyerah semudah itu, ia lantas semakin maju mendekati Rei seolah tak ada yang terjadi. "Mau sarapan bareng gak?" ia melilitkan tangannya di lengan cowok itu. " Temenin dong, aku belum sarapan nih. Laper!" nada manja keluar dari mulut Lucita.

Dulu, nada manja dari seorang Lucita adalah sebuah kebahagiaan untuk Rei, karena ternyata masih ada seseorang yang memperhatikannya dan menyayanginya. Namun sekarang, nada manja dari Lucita adalah sesuatu yang sangat ia hindari karena ia benci itu. Tak aka nada kebaikan di hatinya pada siapapun yang sudah membuat cewek yang dicintainya menderita.

Rei tak peduli, ia lantas mengibaskan tangan Lucita dengan keras lalu berjalan melenggang pergi begitu saja, seolah cewek itu hanya makhluk astral yang tak perlu ia pedulikan.

Lucita menghentakkan kaki sebal, ia tak akan menyerah secepat itu. tanpa menunggu lagi, cewek itu kembali berjalan cepat menyusul Rei, yang sekarang sudah berada di undak-undakan menuju kelas IPA. Sekiranya Lucita tahu kemana cowok itu akan pergi. Menemui Nara, tentu saja! Siapa yang akan Rei cari klau bukan dia.

"Kok aku dicuekin sih!" Lucita menghadang jalan dengan kedua tanganya terbuka lebar.

"Minggir Lucita." Rei membuat nada suaranya serendah mungkin. Ia tak ingin berdebat dengan Lucita sepagi ini.

Lucita mendengus ketus. "Seharusnya di sini aku yang marah sama kamu!"

Rei masih tampak tenang, beberapa siswa melewati mereka dan menyapa Rei. Cowok itu hanya tersenyum simpul lalu mengangguk.

Merasa kembali di acuhkan, Lucita menarik dagu Rei agar menatapnya. "Rei aku udah maafin insiden kamu sama Nara malam itu. aku tahu kamu bohong 'kan kalau makai dia semaleman? Dan kamu juga bohong kan kalau pacaran sama dia?"

Rei menenggak saliva, ia lantas terseynum dengan salah satu sudut bibirnya dan menatap Lucita intens. Kata-kata Lucita tadi bukan sebuah jawaban, melainkan sebuah pernyataan untuk menghibur dirinya sendiri.

"Tidak. Aku jujur dengan kata-kataku." Katanya pelan tapi pasti.

"Rei...kamu......" Lucita berdecak kecewa, namun sejurus kemudian matanya terlihat semakin memendam amarah. Ia lantas meraih lengan Rei, dan mencengkeramnya dengan keras.

"Demi apa Rei....?" ia mendongak, menatap mata Rei yang juga menatapnya dengan dingin. "Demi apa kamu lebih memilih cewek model kayak dia dibanding aku, ha?!"

Kali ini kesabaran Rei habis. Emosinya tersulut saat Lucita mengatakan 'cewek model kayak dia'. Baginya hati Nara lebih baik dari pada hati Lucita yang selalu dipenuhi oleh iri, benci dan keserakahan.

"Rei, inget! Papa kamu nggak bakalan ngijinin kamu sama dia!"

Rei mengibaskan tangan Lucita. Ditatapnya mata cewek itu dengan amarah yang memuncak, seolah mata itu bisa mengeluarkan sinar laser yang bisa membunuh siapapun.

"Jangan karena kita sahabat sejak kecil, kamu bisa ngomong seenakmu sendiri!" cecarnya." Sekarang aku tahu alasan kenapa aku milih dia daripada kamu. Kamu manusia ambisus, pendendam sedang Nara tidak!"

"Rei!" jerit lucita, menahan air matanya yang hampir saja luruh. "Dengerin aku Rei. Aku kayak begini karena aku peduli sama kamu!"

"Peduli sama ikut campur itu beda tipis Lucita!" Rei mendorong tubuh Lucita untuk minggir karena menghalangi jalannya. Sepertinya pagi ini sudah cukup ia meladeni kalimat Lucita yang tak bermutu tersebut.

"Rei..." Lucita menahan tangan Rei saat cowok itu sudah berjalan dua langkah menghindarinya.

"Lucita, dulu aku menghargai kamu sebagai sahabat. Tapi semua itu dulu, sebelum kamu mulai ikut campur di pesta ulang tahun Cindy."

"Aku nggak bantu Cindy Rei!"

"Alah munafik!"

Lucita mengangkat kedua tangannya, menyerah.

"Oke. Aku akui jika aku membantu Cindy waktu itu. Aku yang ngasih foto Nara waktu dia keluar dari taxi. Tapi aku bener-bener nggak tau jika cowok yang mau dia temui itu kamu. Kalau tahu itu kamu, aku nggak bakalan mempermalukan kamu kayak begitu Rei."

"Aku nggak malu. Sama sekali nggak malu Lucita. Aku justru bersyukur, karena dengan hal itu hubunganku dengan Nara semakin membaik." Gumam Rei. "Seharusnya aku juga berterimakasih padamu tentang hal itu." Ujarnya sebelum akhinya berlalu pergi.

Lucita menggeretakkan giginya. Ia benar-benar sudah kalah sekarang. Hati Rei benar-benar sudah tertutup untuknya.

***

Rei menemukan Nara tengah duduk sendirian di bangku taman sekolah. Matanya menerawang jauh ke depan, dengan tangannya memainkan sehelai daun yang entah di dapatkannya dari mana. Cowok itu menegakkan tubuhnya, lalu menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyum. Ia tak ingin Nara melihatnya dengan wajah penuh emosi karena pertemuannya dengan Lucita tadi. Setidaknya di depan pacarnya itu, Rei harus terlihat tenang dan baik-baik saja, agar perasaan Nara juga berubah membaik.

"Hei!" cowok itu mengulurkan tangannya, dan memeluk Nara dari belakang. "Ngapain disini pagi-pagi?"

Nara menoleh, seulas senyum muncul dari bibirnya saat tahu sosok yang tengah memeluknya dengan hangat.

"Ngelihat ikan." Matanya mengekor tubuh Rei yang mengitari bangku kemudian duduk di sampingnya.

"Oh ya?" Rei mengalihkan pandangan ke kolam di depan mereka. Beberapa ikan mas tampak meliuk-liuk di dalam air yang terlihat jernih tersebut. "Aku tidak menyangka jika ada tempat yang bagus selain rooftop." Ia menoleh, lalu mengelus rambut Nara.

"Iya, aku juga baru tahu sekarang." Nara mencondongkan tubuhnya, lalu menidurkan kepalanya di pundak Rei.

"Kamu suka?" Rei menunduk mengambil sejumput makanan ikan di sebelahnya lalu menaburkannya. Ikan-ikan itu tampak muncul di permukaan, mangap-mangap memakan apa yang sudah diberikan oleh Rei. Rupanya pemandangan itu cukup menghibur hati kedua anak manusia tersebut.

"Iya suka." Angguk Nara.

"Kalau gitu ntar aku beli'in."

Nara berdecak, ia lantas menegakkan kepalanya lalu memandang Rei.

"Iih....aku emang suka, tapi nggak perlu punya juga." desisnya. "Aku takut jika nanti ikan-ikannya nggak keurus dan malah mati. Kan kasihan."

"Ya enggaklah. Namanya suka itu harus dimiliki. Kayak aku ke kamu. Aku suka kamu, jadi harus miliki kamu sepenuhnya."

Nara mencebik kecil. "Egois." Desisnya.

"Biarin! Weeeks!" Kalimat itu mampu membuat Nara tertawa kecil.

"Kamu udah makan?" Rei merentangkan tangannya di sandaran bangku. Hingga salah satu tangannya terjulur di belakang leher Nara. "Makan yok, hari ini free...."

"Free?" Nara menoleh.

"Iya, guru-guru pada rapat buat ujian."

"Beneran?"

"Iya. Seneng khan kamu?"

Nara tidak menjawab, ia lantas membuang pandangnya ke arah ikan-ikan yang kini kembali meliuk-liukkan tubuhnya di dalam air setelah makanannya tak bersisa. Jika hal sederhana saja seperti pelajaran kosong bisa membuat hatinya begitu bahagia, alangkah bersyukurnya dia.

"Ayo sarapan!" Rei menarik tangan Nara untuk mengikutinya. Cewek itu hanya mengangguk pelan, lantas berjalan mengikuti Rei yang saat ini sudah menautkan jemarinya di jemari Nara.

*** 

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang