Cukup lama Nara mematung di depan pintu ruang kepala sekolah. Perasaannya tidak enak kenapa tumben kepala sekolah mencarinya dan ingin bertemu dengannya segera. Mungkinkah karena gosip yang belakangan ini santer di segala penjuru sekolah mengenai dirinya? Akh jika iya, bisa dipastikan kelangsungan beasiswa-nya di SMA Bhineka terancam putus.
Seakan tak cukup jika hanya dengan berdiri di depan pintu akan mendapatkan jawaban, akhirnya Nara menguatkan hati untuk mengetuk pintu. jika memang ia dipanggil karena masalahnya dan akan mendapatkan sebuah pil pahit tentang kelangsungannya sekolah di sini, mau tak mau ia harus menerima itu.
Di ketukan ketiga terdengar suara seseorang menjawab 'masuk' disertai deheman.
Nara menarik gerendel pintu pelan, dan melangkah gamang masuk ke dalam ruangan kepala sekolah. Baru saja sampai di depan pintu, namun langkahnya sudah tertahan dengan sesosok wajah tak asing yang membuatnya menahan nafas karena terkejut. Bukan pak Salihin sang kepala sekolah yang duduk di balik meja, melainkan Harvey sang pemilik yayasan.
"Silakan masuk." Harvey membuka percakapan, memandang Nara dengan ekspresi datar namun cukup membuat cewek itu tak berkutik.
Nara mengangguk kecil, lantas melangkah mendekati Harvey yang masih saja menatapnya dengan tangan terlipat di atas meja. Tak ada kecanggungan yang lebih daripada ini, tak ada ketakutan melebihi ketakutannya hari ini. Pria bermata biru itu memang cukup tenang, namun sorot matanya yang seakan bisa membunuh itu cukup membuat jiwa Nara melayang dari tempatnya.
"Silakan duduk." Lagi-lagi Nara hanya menjawab dengan anggukan lantas menarik kursi lalu duduk bersebrangan dengan pria dingin tersebut. Harvey tak segera membuka percakapan meskipun Nara sudah duduk tenang di kursinya. cewek itu hanya bisa menunggu dengan kedua tangan yang terus meremas ujung roknya tanpa Harvey sadari.
"Bagaimana sekolahmu Nara?" harvey membuka suara, setidaknya pertanyaan itu membuat Nara sedikit bernafas lega.
Ia mengangkat dagu. "Baik pak."
"Masih terus dapat juara pertama bukan?"
Nara mengangguk.
"Masih pak."
Harvey tersenyum miring. "Bagus, jadi saya semakin yakin dengan keputusan yang akan saya ambil." Gumamnya yang membuat Nara menatapnya tak mengerti.
Selembar kertas tiba-tiba sudah Harvey sodorkan padanya, mungkin itu adalah jawaban dari kalimat ambigunya tadi. Nara menerima kertas itu ragu-ragu.
"Bacalah." Perintahnya kemudian saat dilihatnya Nara masih terus menatapnya tanpa beranjak dari kertas yang kini sudah berada di tangannya.
Nara tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat kata demi kata berhasil dia baca dan masuk ke dalam otaknya. Selemar kertas yang membuat mata sayunya berbinar terang, sebuah kertas yang membuat bunga-bunga layu di hatinya kembali bersemi. Seakan ada pengharapan dan kehidupan baru yang akan didapatkannya dari selembar kertas itu.
"Bagaimana, bukankah selama ini tujuanmu memang untuk bisa meneruskan sekolah di Jepang?" Harvey menyandarkan tubuhnya di kursi. "Saya sudah berbicara dengan salah satu rektor di universitas sana, jika nilaimu bagus kamu bisa kuliah di sana. Dan kami akan memfasilitasinya."
Nara belum menjawab. ia masih belum percaya dengan apa yang Harvey tawarkan padanya. Kuliah di Jepang dan semua gratis. Mulai dari tempat tinggal, biaya sekolah dan uang saku. Apalagi yang dipikirkannya, bukankah ini adalah jerih payahnya selama ini karena belajar siang dan malam?
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...