"Rei gimana kalau kita nongkrong di cafe favorit aku nanti siang pulang sekolah?" tanya Lucita antusias, terus mengikuti Rei yang tengah berjalan santai di lorong kelas dengan tangan masuk ke dalam saku celananya.
"Ta, kamu nggak belajar apa? Inget lho, papa sama mama kamu pengen kamu kuliah di Sydney!" Rei mengingatkan.
"Ah masih lama juga Rei....Rei. ngapa diribetin sekarang sih?" Decak Lucita kesal.
"Tapi kan Ta....."
Lucita mendengus, kembali memegangi lengan Rei kemudian menggoyang-goyangkannya mirip anak kecil minta mainan.
"Ayolah..... kamu akhir-akhir ini sering sibuk tau gak." Ia mengerucutkan bibirnya. Sudah beberapa minggu cowok itu tidak begitu jelas keberadaannya. Bahkan ia terkadang tak mengangkat teleponnya.
Rei berdecak kemudian menghalau tangan lucita dari lengannya dengan hati-hati. Cewek itu menatap Rei kesal, baru kali ini Rei tak bersedia saat ia bergelayutan manja dengannya. Biasanya Rei tak akan pernah protes atau menolaknya meskipun ia memeluk cowok itu di manapun tempatnya.
"Rei!" tiba-tiba saja Evander muncul di depan mereka.
Rei menghentikan langkah, menatap nanar Evander yang kini berjalan kearahnya. Cowok itu tampak aneh sekarang. Biasanya mukanya terlihat bersih dan hangat, namun kali ini penuh luka dan dingin.
"Weh, muka kamu kenapa tuh? Baru digebukin ya?" tanya Lucita acuh tak acuh. Tidak peduli jika saat ini Evander dalam keadaan tak bisa diajak becanda.
Evander hanya tersenyum sekilas pada cewek bertubuh sexy itu kemudian mengalihkan pandangannya pada Rei.
"Ada yang perlu aku omongin sama kamu." Katanya kemudian.
Rei mengedikkan bahu, menatap Evander dengan sorot mata tak mengerti.
"Oke."
Evander menatap Lucita.
"Aku pinjem Rei sebentar ya?"
"Lah, nggak disini aja?" Lucita terlihat kesal. Sepenting apa sih pembicaraan mereka sampai dia tidak diikut sertakan?
Evander tak menyahut, ia berjalan meningglkan lucita dengan tampang masa bodohnya. Rei mengedik kearah Lucita, lalu mengayunkan langkah mengikuti Evander di belakangnya. Ketika mereka sampai di tengah taman sekolah, Evander menghentikan langkahnya.
"Mau ngmong apa sih?" Rei membuka suara. Sejak tadi berusaha menahan rasa ingin taunya yang sudah sampai ubun-ubun.
Evander membalikkan badannya.
"Kamu suka 'kan sama Nara?" tanyanya lugas. Memandang Rei penuh dengan penekanan.
Rei mengangguk. Ia sama sekali tak menutupi perasaannya. Karena memang itulah kenyataannya.
"iya."
"kalian pacaran?"
Rei kembali mengangguk. Tanpa berfikir.
"Iya, kami pacaran."
Evander menarik nafas panjang. Tiba-tiba hatinya terasa ngilu saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Rei. Sungguh ironis sekali, ia menyukai Nara lebih dulu tapi kenyataannya bahwa Rei-lah yang memenangkan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...