Rei sudah berada di lobi hotel tersebut saat Erna baru saja keluar dari lift dengan seorang lelaki yang tak lain adalah Hermawan, papanya Cindy. Mata Rei terus mengekor arah kedua pasangan di mabuk cinta tersebut. Bergandengan tangan mesra dan disertai dengan pelukan-pelukan kecil. Ah, betapa romantisnya jika hubungan mereka benar-benar murni dan tak melukai orang lain. Tak melukai hati anak-anak mereka dan pasangan dari Hermawan sendiri.
Cowok itu menarik nafas,berangsur dari duduknya kemudian berjalan tegap untuk menemui Erna.
"ibu Erna bukan?" tanya Rei sopan saat dirinya kini berada di depan Erna dan Hermawan. Rei melirik Hermawan yang kini menatapnya detail lalu melirik Erna dengan pandangan tidak suka. Mungkin pikir Hermawan, saat ini Rei juga sedang mencari Erna untuk menggunakannya.
Erna mengeryitkan kening. Pemuda tampan bermata biru ini baru sekali ini ditemuinya.
"Iya." Erna tersenyum lalu memandang Hermawan yang masih berdiri di sampingnya, mencoba bertanya dengan isyarat apakah kekasihnya itu mengenal pemuda di depan mereka tersebut. Namun Hermawan hanya mengangkat bahu, ia juga tidak kenal.
"Adik siapa ya?" tanya Erna kemudian, penasaran
"Bisa kita bicara sebentar bu?" tanya Rei sedikit memaksa. Jikapun Erna tak mau meluangkan waktunya, Rei pun akan tetap mengajaknya bicara, bagaimanapun caranya.
Erna tampak ragu kemudian mengangguk, melepaskan lilitan tangannya dari lengan Hermawan, menyuruhnya untuk menunggu sebentar kemudian berjalan menyusul Rei yang sudah lebih dulu berjalan mendahuluinya.
"Silakan duduk." Rei menunjuk sebuah kursi kosong saat mereka sampai di tempat dimana Rei menunggunya hampir selama satu jam. Harapannya besar jika wanita itu akan keluar meskipun tengah malam. Karena Anan mengatakan bahwa kedua pasangan itu tak pernah menginap.
Erna tersenyum kemudian mengangguk, ia lantas duduk di depan Rei, bersebrangan dengan sebuah meja ukiran kayu dari Jepara.
"Ada perlu apa ya?" Erna mengaitkan rambutnya di balik telinga. "Adik ini siapa?"
"Saya Rei bu, cowok yang beberapa waktu lalu pernah membooking anda, ingat?"
"Booking?" Ernah menautkan alis bingung. Seingatnya pemuda ini belum pernah menghabiskan malam bersamanya. Bahkan melihatnya saja baru kali ini.
"Tapi anda tidak bisa datang, dan anda mewakilkannya pada puteri anda."
Erna menahan nafas sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis.
"Jadi....anda yang waktu itu bersama Nara?" tanyanya kemudian. "Lalu kenapa menemui saya? Apakah Nara melakukan kesalahan?"
Rei tersenyum simpul kemudian menggeleng.
"Nara teman saya satu sekolah." Jawab Rei singkat.
Erna membeliakkan mata. Seketika wajahnya pucat pasi dan tangannya bergetar. Jadi bagaimana bisa takdir seaneh ini? Lelaki yang menghabiskan waktu bersama putrinya, yang mengambil sesuatu yang seharusnya Nara berikan untuk suaminya kelak justru adalah teman sekolah Nara sendiri. Jadi bagaimana selama ini anaknya menjalani hari-harinya di sekolah, di tengah malu dan harga diri yang benar-benar sudah tak ada?
"Jadi....?" Erna bersikap tenang.
"Dan, saya juga pacarnya Nara bu." Gumam Rei tenang.
Kembali Erna membelalakkan mata. Baru saja dia dibuat terkejut karena Rei ini adalah teman sekolah Nara, kini kembali dibuat terkejut karena pemuda ini juga pacar puterinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...