36

95 7 0
                                    

                "Kamu tadi kemana aja sih Ra?" Rei masih mencoba membahas insiden di sekolah tadi. "Aku nungguin kamu lama banget." Ia menoleh sekilas menatap Nara yang duduk dengan lesu bersandar di kursi mobil. "Dan tau-taunya dapat kabar dari Evander kalau kamu di rumahnya."

Bukan hal mudah bagi Nara membohongi Rei. Apalagi saat ini dia dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Ia tak mungkin mengatakan pada pacarnya itu bahwa yang ditemuinya di ruang kepala sekolah tadi siang adalah Harvey, ayah dari cowok yang kini duduk di sampingnya.

"Enggak...aku tadi cuma mau nyari obat aja." Akhirnya hanya itu alasan yang terlintas begitu saja di benak Nara.

Rei mendengus pelan. "Nyari obat kenapa sampai segitu jauhnya sih? Kan bisa bilang, biar bisa aku anter." ia masih tak percaya. "Kamu kenapa Ra? Di gangguin Lucita lagi, atau Cindy?"

Nara menggeleng tegas, lantas memijit pangkal hidungnya karena tiba-tiba kepalanya pusing.

"Enggak. Beneran deh Rei. Tadi apotek deket sekolah tutup. Terus aku naik taxi berhenti di situ." Mencari alasan yang tepat rupanya sangat sulit. "Kamu berlebihan tau."

"Ra, kamu ngerti 'kan aku sayang kamu. Aku nggak mau kalau kamu tiba-tiba ngilang kayak tadi. Bikin aku bingung Ra." Rei tak menoleh. Fokus pada jalanan di depannya yang ramai karena waktu pulang kerja.

Nara menunduk, kembali ingin menangis. Bagaimana jika Rei benar dengan ucapannya? Jika nanti ia meninggalkannya, apa yang akan terjadi padanya?

"Enggak. Kamu nggak usah ngomong gitu ya?" ia mengulurkan tangan membelai lembut lengan Rei agar cowok itu lebih rileks dan menghilangankan semua kekhawatirannya.

Rei menoleh sekilas, dengan tangan kirinya ia menarik jemari Nara dan menggengamnya dengan erat. " kamu tau nggak kalau tanpa kamu rasanya beda Ra." Yang dibalas Nara dengan senyum hambar dan perasaan sedih yang tak bisa dilukiskan.

"Eh Rei!" panggil Nara kemudian setelah mereka berdiam cukup lama. Meskipun hanya memegang setir dengan salah satu tangan, karena tangannya yang lain tak mau melepaskan jemari Nara, cowok itu tetap lihai dengan jalanan padat di depannya.

"Apa?" Rei tak menoleh.

"Aku mau bilang sesuatu."

"Bilang apa?" ia meremas tangan Nara pelan.

"Gimana kalau seminggu ke depan kita jaga jarak dulu."

"Hah?" cowok itu menaikkan alis. Menatap Nara dengan pandangan tidak mengerti."Kenapa?"

"Ya nggak apa-apa. Kan ujian, biar kita bisa sama-sama fokus belajar." Dalih Nara. Ia hanya ingin agar Rei bisa lepas darinya secara perlahan.

"Emang kamu nggak fokus kalau sama aku?"

"Enggak!"

"Nara!" decak Rei sebal.

Nara tersenyum kecil. " Mau kan? Biar aku sama kamu bisa bener-bener fokus belajar. Cuma seminggu kok. Ya...ya....?"

Rei tak mengangguk tidak juga menggeleng. Ia hanya memasang wajah datar, fokus ke depan.

"Please, kamu tahu kan kalau aku bener-bener butuh nilai tinggi biar dapet beasiswa?" ujar Nara bohong, karena sejak tadi siang ia sudah mendapatkan jalan mulus menuju Jepang lewat Harvey dan mengorbankan kekasih yang paling dicintainya.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang