28

83 5 0
                                    

                Rei kembali memapah tubuh lemah Nara setelah ia membuka pintu apartementnya. Membawa cewek itu masuk dan mendudukkanya di sofa. Cowok bermata biru itu menatap Nara prihatin. Terselip sebuah perasaan bersalah karena tak sejak dulu menegaskan pada Lucita tentang hubungannya dengan Nara, meskipun Nara terus bersikeras agar mereka berpacaran diam-diam. Seharusnya juga, Rei menjelaskan sejak dulu pada Lucita, bahwa tak semua persahabatan akan berakhir dengan cinta. Dan tak semua perhatiannya selama ini pada Lucita adalah wujud rasa cintanya. Tidak! Sejak dulu ia hanya menganggap Lucita sahabat. Sahabat yang selalu mengerti keadaannya, saat terpuruknya dan saat ia tak punya siapa-siapa. Saat itu hanya Lucitalah yang hadir menemaninya. Tapi ternyata cewek itu mempunyai pamrih padanya. Yaitu menginginkan hatinya yang sama sekali tak akan pernah terbuka untuk cewek bernama Lucita.

"Rei...baju kamu basah." Desis Nara membuyarkan lamunan Rei.

Rei mengangkat dagu kemudian tersenyum tipis. Jemarinya lantas menggengam tangan Nara yang dingin, dan satu tangannya lagi mengusap bibir pucat cewek itu.

"Tunggu disini." Gumanya pelan, lalu melangkah meninggalkan Nara sendirian.

Tak berselang lama kemudian, cowok itu keluar dari dalam kamarnya. Ia sudah berganti pakaian lebih santai. Kaos oblong berwrna hijau langit dengan bawahan jogger pants hitam yang membuat penampilannya lebih santai. Di tangannya, Rei membawa sebuah handuk dan lipatan sweeter miliknya.

"Kamu juga ganti baju ya. basah..." Rei menyerahkan sweeter itu pada Nara. Nara mengangguk, lantas merentangkan sweeter besar itu di depan dadanya, lantas menatap Rei tanpa suara.

"Pakai aja. Aku nggak punya pakaian cewek." Jawab Rei seolah mengerti dari isyarat tatapan Nara baru saja.

Nara tak menjawab, ia dengan leluasanya melepas dress yang dipakainya sementara Rei berbalik arah memunggunginya.

"Sudah....." ujar Nara sesaat kemudian setelah berganti pakaian.

Rei menoleh, dilihatnya sweeter itu tampak seperti daster ketika Nara yang memakainya. Tapi tak apalah, cewek itu kelihatan lebih hangat sekarang.

"Kamu cantik." Rei mendekati Nara, mengelus pipi cewek itu lembut.

Nara kembali tak menyahut, ia hanya menurut saat Rei kembali menuntunnya duduk di atas karpet dengan tubuh bersandar di tepian sofa. Kepala Nara tertidur di pundak Rei, sedang jemari Rei terus mengelus rambut Nara perlahan, bermaksud menenangkan. Meskipun saat ini Nara sudah tak menangis, namun Rei yakin jika perasaan Nara masih sama dengan beberapa jam yang lalu, saat Cindy menghancurkan harga dirinya.

"Kamu mau makan?" Rei mengurai hening. Ia menciumi pucuk kepala Nara.

Nara menggeleng.

"Tapi kamu belum makan."

"Enggak usah." Nara beringsut memadang Rei. "Aku mau tidur aja."

"Yakin mau tidur sekarang, nggak makan dulu?" Rei kembali mencoba membujuk Nara.

Nara tetap menggeleng.

"Aku mau tidur Rei. Aku pengen tidur...." tegas Nara.

Rei mengangguk, ia lantas membimbing Nara untuk masuk ke dalam kamarnya. Menyuruh cewek itu tidur, menyelimutinya dan mematikan lampu. Suasana kamar yang cukup redup sepertinya mampu membuat stress sedikit berkurang.

"Kamu mau kemana?" tanya Nara saat dilihatnya Rei bergeser dari duduknya.

Rei menggeleng, ia menaikkan selimut Nara sampai sebatas dagu.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang