A N G G A R A

958 80 5
                                    

" Dibalik senyum manis ada harapan yang dirintis."

-Si penguntit

***

Mobil hitam itu secara perlahan menurunkan kecepatannya saat memasuki lingkungan sekolah. Berhenti tepat di depan sebuah gerbang megah yang bertuliskan SMA GARDA.

Dua pintu mobil dari sisi yang berbeda terbuka, menampilkan sosok gadis yang rambutnya dikuncir bak ekor kuda dan seorang lelaki bertubuh jangkung. Dengan langkah yang beriringan, Hera dan Huda memasuki gedung sekolah yang memiliki tiga lantai itu.

Tak seperti pagi biasanya, mereka datang ketika sekolah masih sepi. Baru ada cleaning service sekolah yang sibuk menyapu dan mengepel lantai koridor serta beberapa tukang kebun yang sedang menyiram tanaman toga dan tanaman hias di taman.

Huda mengekori langkah kembarannya yang berjalan lebih dulu di depan. Dia tersenyum kecil ketika melihat Hera membagikan beberapa makanan yang dibawa dari rumah kepada beberapa petugas kebersihan sekolah.

" Pagi, Pak Otoh! Ini sarapan untuk bapak. Dimakan, ya." Hera menyerahkan makanan kepada Pak Otoh, salah satu tukang kebun sekolah.

" Pagi juga, nduk. Alhamdulillah, makasih banyak yo," ucap Pak Otoh menggunakan logat Jawanya yang kental.

Hera tersenyum, " Sama-sama, Pak. Hera ke kelas dulu, ya? "

" Iyo-iyo."

Hera mengangguk undur diri kemudian berjalan menyusuri koridor wilayah kelas dua belas. Masih di posisi yang sama, Huda mengekori kembarannya yang berjalan santai seraya menenteng paper bag berwarna biru malam itu.

" Yang satu itu biar gue aja yang ngasih ke orangnya gimana? " tanya Huda yang tertuju ke arah paper bag digenggaman Hera.

Hera menghentikan langkahnya sejenak, lalu kembali melangkah ketika Huda telah berjalan di sisinya.

" No! " Hera menggelengkan kepalanya tegas.

" Ini spesial, jadi biar gue aja yang ngasih sendiri," ucapnya melanjutkan kalimat yang tertunda.

" Tapi secara sembunyi-sembunyi," tambah Huda yang dibenarkan oleh Hera.

Mereka berdua menaiki anak tangga yang membawa keduanya ke lantai tiga. Berjalan ke arah kelas XII IPS 1 yang terletak di ujung kanan lorong lantai tersebut. Hera mengikuti langkah Huda yang masuk ke dalam kelas. Berjalan ke arah meja yang berada di pojok kelas.

Kotak bekal biru yang ada di dalam paper bag biru malam itu Hera letakan di dalam salah satu laci meja tersebut.

" Ini beneran tempat duduk Gara, 'kan? " tanya Hera memastikan.

" Hooh. Buruan gih lo pergi. Keburu banyak anak-anak yang datang nanti," jawab Huda yang disertai gerakan tangan yang mengusir.

Hera mendengkus sebal, namun senyum tetap terpatri di wajahnya yang merona bahagia. Jika kalian ingin tahu alasan gadis itu yang datang ke sekolah di pagi-pagi buta seperti ini, maka inilah alasannya. Gadis berhazel cokelat itu ingin menaruh bekal nasi goreng telur dadar buatannya di laci meja Anggara. Tentunya tanpa ada yang tahu selain kembarannya itu sendiri.

Tak ingin ada orang lain yang melihat keberadaannya, Hera bergegas meninggalkan kelas itu. Langkah gontai membawanya ke lorong kiri lantai tiga, kelas XII IPA 1.

Ya, Hera dan Huda duduk di jurusan yang berbeda.

Senyum terus terbit di wajah gadis itu. Dibalik senyum manisnya ada harapan yang ia tujukan untuk seorang Anggara Setiaji.

***

Jarum panjang yang tinggal beberapa detik lagi mengarah tepat ke pukul tujuh lewat lima belas menit membuat laki-laki bermata hitam pekat itu mempercepat langkahnya menyusuri koridor. Helaan napas lelah itu keluar ketika dia harus menaiki anak tangga ke lantai tiga. Dengan sedikit berlari dia menyusuri lorong untuk sampai di kelas XII IPS 1 yang letaknya berada di ujung kanan lorong lantai tersebut.

Anggara bernapas lega. Baru saja dia beberapa langkah masuk ke dalam kelas, Bu Maya datang dengan membawa penggaris besi di tangannya.

" Selamat lo," ucap Huda saat teman sebangkunya itu mendaratkan bokong di atas kursi.

Anggara mengangguk membenarkan. Jika saja Bu Maya lebih dulu masuk ke dalam kelas, maka dapat dipastikan jika hari ini kolom absennya akan dialpakan oleh guru killer yang masih betah membujang di usianya yang sudah menginjak kepala tiga itu.

" Selamat pagi! " sapa Bu Maya.

" Pagi, Bu! " jawab kompak sekelasan.

" Ada yang tidak hadir? "

" Hadir semua, Bu," jawab Huda selaku ketua kelas.

" Sudah berdoa? " tanya beliau yang dijawab belum seluruh penghuni kelas.

" Baiklah, silahkan berdoa dulu."

Seperti apa yang dititahkan Bu Maya, mereka menundukkan kepala. Berdoa sebelum belajar dengan khidmat sesuai dengan keyakinan agama masing-masing.

Anggara menundukkan kepalanya, tepat saat itu mata hitam pekatnya mendapati beberapa cokelat, bunga, dan surat di dalam laci mejanya.

" Berdoa selesai."

Anggara mengusap wajahnya. Saat itu juga tangannya langsung terulur ke dalam laci untuk mengeluarkan beberapa cokelat, bunga, serta surat-surat dari secret admirer-nya yang sudah biasa ia dapatkan seperti hari-hari lalu.

" Itu laci meja serasa kulkas, ya? Isinya makanan mulu," celetuk Huda saat melihat Anggara sibuk dengan laci mejanya.

" Kadang gue juga bosen dapatnya kalo gak cokelat, bunga, ya surat." Anggara mengeluh.

" Gue itu gak suka cokelat. Gue benci bunga, dan lo liat ini? Surat isinya cuma puisi, pantun, sama ucapan selamat pagi. Mereka kira gue ini kantor pos apa dikasihnya surat mulu," lanjut Anggara yang membuat Huda geleng-geleng kepala.

Beruntung meja mereka letaknya berada di pojok kelas sehingga cokelat, bunga, dan surat-surat yang sekarang tengah Anggara letakan di atas meja tak terlihat oleh Bu Maya.

Anggara memasukan cokelat dan bunga-bunga tersebut ke dalam tasnya. Sedangkan surat-surat itu dia remas menjadi gumpalan-gumpalan tak beraturan lalu dia masukan ke dalam trush bag hitam yang selalu dia bawa di dalam tas. Trush bag itu selalu  dibawa sejak laci mejanya dipenuhi cokelat, bunga, dan surat dari secret admirer-nya.

" Makanya jadi orang jangan kelewat famous! " cibir Huda.

" Udah takdir ya jalanin ajalah."

Huda memutar bola matanya jengah dan lebih memilih untuk fokus dengan Bu Maya yang sedang menuliskan angka di papan tulis.

Lain halnya dengan Anggara. Laki-laki itu mengernyitkan kening bingung saat mendapati keberadaan sebuah kotak bekal biru di dalam laci mejanya.

" Ini punya lo? "

Huda mengalihkan tatapannya dari papan tulis. Melihat kotak bekal biru yang tak asing berada di tangan Anggara membuat dirinya tersenyum samar. Namun segera dia tutupi ekspresi itu dengan wajah polosnya yang seperti tak tahu apa-apa.

" Bukan."

Tatapan Anggara kini jatuh pada sticky note berwarna kuning yang tertempel apik di kotak bekal itu.

Gue tau lo gak suka cokelat.
Gue tau lo benci bunga.
Gue juga tau kalo surat-surat itu pasti gak ada artinya buat lo.

Jadi, gue kasih bekal ini buat lo.
Gak tau deh tu lo suka atau enggak.

Intinya selamat menikmati

-Hamba Allah

Dan cerita yang sebenarnya baru saja dimulai.

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang