T U J U H

527 46 0
                                    

" Mau seaneh apapun namanya kalau sudah jadi panggilan sayang tetap aja nengok kalau dipanggil."

-Si duta sekolah

***

Mata hitam pekat itu mengerjap. Menyesuaikan cahaya ruang yang memaksa masuk ke dalam indra penglihatannya yang berwarna hitam pekat. Yang kapan saja tatapan itu bisa menajam dan membuat mereka yang melihatnya akan jatuh ke dalam pesona seorang Anggara ketika tatapan itu berubah menjadi mata hitam pekat yang meneduhkan.

Anggara beranjak dari kasurnya, melakukan sedikit peregangan pada tubuhnya yang kebas akibat posisi tidur yang salah semalam. Dengan langkah perlahan ia berjalan ke arah balkon. Menyibak gorden tebal dan membuka setengah pintu kaca itu. Berjalan keluar yang langsung disambut dinginnya embun pagi yang menyelimuti diri. Menghirup udara pagi yang masih segar tanpa polusi membuat laki-laki yang berusia delapan belas tahun itu bersyukur pada Sang Pencipta. Setidaknya ia masih diberikan kesempatan untuk merasakan nikmatnya pagi hari yang tenang di tengah padatnya kota metropolitan yang ia pijak.

Kedua matanya terpejam, menikmati pagi yang suatu saat pasti akan berbeda tak lagi sama.

Tepat saat kedua matanya terbuka, sosok gadis di seberang sana yang sedang menyibak gorden tertangkap oleh matanya. Membuat hati Anggara berdesir dan senam jantung di pagi buta. Sempat bersitatap namun langsung diputus begitu saja oleh gadis itu dengan cepat seiring tubuhnya yang sudah menghilang dibalik jendela.

Sama halnya seperti mentari yang terbit di langit, seulas senyum juga terbit di bibir Anggara. Sikap Hera benar-benar berhasil membuatnya jatuh sejatuh jatuhnya.

Tatapan Anggara jatuh di bawah sana. Dua orang berseragam sama keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil hitam keluarga itu. Huda dan Hera, kembar tak identik itu meninggalkan pelataran rumah. Kemana lagi jika bukan berangkat ke sekolah.

Mata hitam Anggara mengantar perginya mobil itu hingga hilang dari pandangan.

Pagi masih buta, bahkan matahari masih malu-malu untuk menyingsing di langit. Sebuah pertanyaan muncul di benak Anggara.

Apa mereka selalu berangkat sekolah sepagi ini?

Anggara mengedikkan kedua bahunya tak acuh. Tak mau ambil pusing, ia melangkah masuk ke dalam kamar. Memilih bersiap-siap untuk berangkat sekolah sebelum akhirnya nanti ia terlambat.

***

Di bawah rindangnya pohon beringin, motor besar hitam itu terparkir apik. Anggara melepas helm full face yang menutupi kepalanya. Tak lupa, ia selalu menyugai rambutnya ke belakang hingga meninggalkan kesan cool jika dipandang mata.

Merasa sudah rapi, Anggara berjalan memasuki gedung sekolahnya. Berjalan gontai dan sesekali membalas sapaan warga SMA GARDA yang berpapasan dengannya di koridor.

" Pagi, Pak Otoh!" sapanya saat berpapasan dengan laki-laki paruh baya itu.

" Eh, pagi juga."

Mereka sama-sama menghentikan langkah sejenak. Berbasa-basi sebentar sepertinya bukan hal yang buruk bukan?

Mata hitam pekat Anggara tanpa sengaja melihat sekantung plastik putih yang dibawa Pak Otoh. " Itu apa, Pak? "

Refleks Pak Otoh mengikuti arah pandang Anggara dan tersenyum, " Oh, ini. Alhamdulilah saya dapat rezeki. Sarapan gratis."

" Oh ya? Sekolah lagi ada acara? " tanya Anggara.

" Enggak ada. Lah iki loh, saya dikasih sama siswi di sini, " ralat Pak Otoh.

" Siapa, Pak? "

" Anaknya ayu tenan, baik pokoknya. Aduh tapi sayang lupa saya namanya siapa."

" Gak cuma saya aja yang dikasih, cleaning servis juga dikasih sama dia," lanjut Pak Otoh berhasil membuat Anggara tercengang.

" Seriusan, Pak? "

Pak Otoh mengangguk sebagai jawaban. Fakta ini berhasil membuat Anggara benar-benar terkejut. Seorang siswi SMA GARDA masih ada yang bermurah hati seperti ini? Wow, benar-benar langka untuk bisa ditemui!

Wait, kata langka mengingatkan laki-laki itu pada sosok Hera. Tapi, bukankah bagi Anggara Hera itu adalah gadis langka yang pernah ia temui?

Ah, jika saja gadis yang dimaksud Pak Otoh itu adalah Hera maka Anggara semakin berhasil dibuat jatuh sejatuh jatuhnya oleh kembaran lima menit Huda itu.

" Yoweslah, saya duluan ya. Gak sabar pengen sarapan," ucap Pak Otoh di akhiri kekehannya.

" Ah iya, Pak, silakan. Saya juga mau masuk kelas. Mari." Pamit Anggara bersamaan dengan mereka yang saling melangkah berlawanan arah.

Anggara berjalan menaiki anak tangga. Sampai di lantai tiga, laki-laki itu mempercepat langkahnya ke arah lorong sebelah kanan. Masuk ke dalam kelas yang sudah ramai oleh keriuhan teman-temannya.

" Bapak duta telat mulu. Gak takut lengser dari jabatan? "

Anggara tersenyum mendengar sindiran halus dari Huda. Sudah terbiasa dengan mulut laki-laki pemilik lesung di dagu yang blak-blakan itu. Meski demikian, ia senang dengan kepribadian yang dimiliki Huda. Laki-laki yang memilki kembaran di kelas XII IPA 1 itu adalah teman yang apa adanya.

" Gak papa lengser, toh tetap famous juga, 'kan? "

" Kambenglah, Ngga! " Huda melempar penghapus yang tepat sekali mengenai dahi Anggara.

Anggara tertawa, Huda adalah orang yang mudah sekali untuk dibuat kesal dan ia sangat senang menjadi penyebab kekesalan laki-laki berhazel cokelat itu.

" Perlu gue bantu? " tawar Huda saat melihat Anggara yang mulai jengah mengeluarkan cokelat, surat, dan bunga dari dalam laci mejanya.

" Yup, bahkan lo bisa ambil semuanya."

" Beneran? Termasuk ini? " Huda mengangkat kotak bekal biru yang ia dapati.

Kedua pupil Anggara membolak. Dengan cepat ia rebut kotak bekal itu dari tangan Huda.

" Yang ini terkecuali! "

Huda terbahak, sahabat sekaligus tetangganya itu tampaknya benar-benar mengistimewakan kotak bekal biru milik Hera.

Seperti biasa. Dimakan ya.

-Jangan lupa minum, Gara :)

" Noh, liat! Dia nyuruh gue makan. Bukan lo! " Anggara menunjukan pesan yang tertera di sticky note itu pada Huda.

" Gara? " kening Huda berkerut.

Anggara mengangguk, " Iya, pemilik bekal ini panggil nama gue Gara."

" Kok gue dengernya rada aneh ya? "

Anggara lagi-lagi tersenyum.

" Gue anggap itu panggilan sayang."

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang