D U A P U L U H E M P A T

414 32 0
                                    

" Pergi bukan untuk pamit tapi pergi untuk kembali."

-Si duta sekolah

***

Ting!

Suara lonceng itu terdengar ketika seorang gadis berambut hitam panjang keluar dari kafe. Dua laki-laki yang berseragam sama dengan gadis itu menghela napas lega saat tahu jika orang yang sedaritadi mereka pantau itu telah meninggalkan meja yang tak jauh dari meja yang mereka tempati.

Anggara menghela napas. Jika saja ia dapat memutar waktu kembali seperti semula, ia ingin kembali di waktu yang di mana ia sedang melihat Hera memegang kotak bekal biru yang sering ia dapatkan setiap pagi. Waktu di mana ia belum mengenal Sandra dan meminta gadis itu untuk menjadi pacarnya karena pemikirin bodoh yang ia ciptakan berdasarkan logika yang selalu ia kedepankan dalam membuat keputusan.

Jika saja waktu itu memilih hati mungkin Hera sekarang lah yang bersamanya. Bukan Sandra, sang pelaku teror berdarah.

Ya, Anggara sudah mendengar semua apa yang gadis itu katakan. Termasuk kejujuran Hera, ia telah tahu semuanya. Untung saja Huda memintanya untuk datang ke kafe yang tak jauh dari sekolah mereka, jika tidak mungkin entah sampai kapan ia akan terus bersama pilihannya yang salah, Sandra.

Baik Anggara maupun Huda sama-sama tak menyangka jika Sandra adalah pelaku teror berdarah yang begitu terkenal kasusnya di lingkungan SMA GARDA. Bahkan mulai dari kalangan siswa hingga guru pun sampai sekarang masih belum bisa menemukan pelaku teror. Namun kenyataan yang tak terduga, tanpa disadari sang duta sekolah menjalin hubungan dengan pelaku teror.

Benar-benar mengejutkan!

" Gue akan ninggalin Sandra."

Keputusan Anggara sudah bulat. Selain karena Sandra gadis yang berbahaya untuk Hera, Sandra juga bukanlah gadis yang ia harapkan. Cukup sampai disini ia bersikap sok menerima setan berwujud bidadari itu yang ia ikat statusnya sebagai pacar.

" Jangan! "  larang Huda yang justru menciptakan kerutan di dahi Anggara.

" Kalau sampai lo ninggalin Sandra sekarang, keselamatan Hera semakin terancam. Akan lebih baik kalau lo kasih waktu sampai keadaan menjadi lebih aman dulu," tambah Huda.

" Mau sekarang atau nanti, gak ada yang aman. Hera tetap terancam. Kasus ini harus segera kita bongkar dan laporkan ke pihak sekolah. Lo tau 'kan udah berapa banyak korban akibat teror berdarah ini? Gue gak mau kalau Hera menjadi salah satunya,"

" Oke gue setuju kalau lo mau bongkar kasus ini ke pihak sekolah. Tapi apa lo punya bukti yang kuat? " tanya Huda yang berhasil membuat Anggara terdiam.

Dalam hati Anggara membenarkan.

" Gak punya kan? Apa yang kita dengar belum bisa menjadi bukti, Ga. Keep calm! Jangan gegabah! " ucap Huda memperingati Anggara dengan tegas.

Anggara menghela napas lelah. Menyugai rambutnya ke belakang dengan putus asa.

" Terus apa yang harus kita lakuin? "

" Lo tetap bersama Sandra. Kita ikutin aja permainan dia. Sikap lo ke Sandra tetap seperti biasanya. Lo awasin setiap gerak - geriknya. Untuk masalah Hera, ada gue dan Bani yang bisa jaga dia." Anggara lagi-lagi mengerutkan kening.

" Kenapa harus melibatkan Bani? "

" 'Kan mereka sahabatan, lumayan lah bisa bantu jagain Hera di kelas, " ujar Huda dengan mata yang menatap fokus layar ponselnya.

" Harus Bani? Memangnya Hera gak punya temen cewek? "

" Gak ada,"

Anggara memutar bola matanya jengah. Ada rasa tak suka jika Hera harus berhubungan dekat dengan laki-laki selain dirinya dan Huda.

" Oh iya, untuk saat ini ubah sikap lo ke Hera,"

" Maksud lo? "

" Anggap lo gak pernah mengenal Hera," ucap Huda santai yang mendapat tatapan tak terima dari Anggara.

Apa-apaan ini?

" Kok gitu?! "

Huda menghela napas. Ia merasa respon yang diberikan oleh Anggara terlalu berlebihan.

" Kalo sampai Sandra tau lo deketin Hera, keselamatan Hera bisa terancam. Jadi, tolong lo tahan dulu sikap manis lo itu ke adek gue. Setidaknya sampai kasus ini sudah berhasil kita bawa ke pihak sekolah,"

Anggara mendesah frustasi. Jika disuruh bersikap manis kepada Sandra, ia masih mau dan mampu melakukannya. Tapi jika disuruh untuk menjauh dari Hera adalah hal tersulit yang akan ia lakukan.

" Oke, fine! Demi Hera!"

***

Motor besar hitam yang dikendarai Anggara berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Secara perlahan pagar besi setinggi dua meter itu dibuka oleh sang penjaga rumah, Pak Abdil.

" Tumben pulang telat, mas? " tanya Pak Abdil setelah membukakan pagar rumah.

Anggara hanya tersenyum menanggapi.

" Papa sama mama masih di rumah? "

" Baru aja berangkat, Mas. Katanya mau ke luar kota," ucap Pak Abdil

" Tadi bapak sama ibu maunya pamitan sama Mas Anggara. Karena mas gak pulang-pulang mereka langsung berangkat. Takut ketinggalan pesawat katanya," tambahnya.

Lagi-lagi Anggara tersenyum kecut. Tidak dulu tidak sekarang kedua orang tuanya masih tidak berubah. Uang menjadi prioritas utama mereka. Menjadikan sosok klien perusahaan mereka sebagai orang yang paling berharga dibandingkan dengan sosok dirinya yang sudah jelas menyandang status sebagai anak.

Apa tadi katanya? Takut ketinggalan pesawat?

Hati Anggara tercubit. Bagaimana jika penyebab ia pulang telat tadi karena mengalami kecelakaan yang bisa saja membuat dirinya dihadapkan dengan malaikat pencabut nyawa yang telah siap menjemputnya untuk menyusul Anggia ke alam sana?

Apakah kedua orang tuanya akan membatalkan keberangkatan mereka atau justru tetap memilih berangkat daripada ketinggalan pesawat?

Anggara menggeleng, memikirkan itu membuatnya kembali teringat dengan kematian Anggia yang tak dipedulikan oleh kedua orang tuanya.

" Saya masuk dulu ya, Pak."

Anggara kembali menjalankan motornya masuk ke dalam garasi. Dengan langkah lelahnya ia berjalan gontai masuk ke dalam rumah yang disambut sepi.

Laki-laki jangkung itu menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa monokrom. Tas sekolahnya ia lempar bersamaan dengan tubuhnya ke atas kasur.

Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan. Rentetan kejadian yang terjadi hari ini benar-benar berhasil membuat laki-laki yang memiliki lesung di kedua pipinya itu lelah selelah lelahnya.

Fisiknya tak lelah, melainkan hati dan pikirannya yang lelah. Permasalahan teror berdarah hingga di mana ia diminta untuk menjaga jarak dengan Hera membuat hati Anggara porak-poranda.

Meski berat, namun Anggara harus tetap melakukannya. Semua ini demi keselamatan Hera. Ia tidak boleh egois. Terakhir kali ia mengikuti egonya telah menyebabkan ia salah membuat keputusan. Untuk kali ini, ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Kali ini ia akan mengikuti kata hatinya.

Menjauhi Hera sementara waktu demi keselamatan gadis itu.

Tekadnya sudah bulat, besok mungkin tak akan lagi sama seperti hari ini. Anggara akan pergi, untuk kembali. Pergi tak lagi membayangi gadis yang bernama Hera Achjani itu. Atau lebih tepatnya, mungkin besok status secret admirer akan berganti nama dari Hera menjadi Angga. Bukan lagi Hera yang selalu mengawasinya dari kejauhan, melainkan ia sekarang lah yang akan melakukankannya.

Ya, lihat saja besok.

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang