" Gak masalah kalau cewek itu kasar. Asal cewek itu Hera aku terima."
-Si duta sekolah
***
Botol kaca yang berisi air jernih mengalir membasahi tanah merah yang bertabur kembang tujuh rupa. Untuk kunjungan rutinnya pada hari ini, sebotol air tanpa taburan kembang sudah cukup untuk menghidupkan peristirahatan terakhir gadis tersayangnya yang sedang berisitirahat di bawah sana. Kembang kemarin yang ia tabur pun masih cukup terlihat segar untuk dilihat hingga hari ini.
" Sore, Anggia!"
Tidak seperti kemarin, hari ini Anggara datang dengan membawa senyum terkulum. Menatap batu nisan itu dengan ceria. Menunjukan suasana hatinya yang sedang over happy.
" Gue datang tepat waktu, 'kan? "
Ini saatnya, Anggara kembali memulai sesi curahan hatinya.
" Sesuai dengan harapan gue kemarin, kotak bekal biru itu kembali muncul di laci meja gue. Gue pikir kosong, ternyata ada isinya," ujarnya diikuti tawa renyah.
" Lo tau? Pemberi kotak bekal itu mengingatkan gue tentang lo. Dia panggil gue Gara, sama seperti panggilan sayang yang lo kasih ke gue waktu itu," lanjutnya dengan tatapan menerawang.
" Gara! "
Anggara memutar bola matanya jengah. Ingin rasanya ia menarik mulut mungil Anggia yang selalu memanggilnya dengan panggilan yang terdengar menyebalkan di telinga. Entahlah, ia hanya tidak begitu suka jika ada seseorang memanggil dirinya dengan panggilan Gara.
" Angga! Panggil gue Angga! " tegas Anggara yang tak diindahkan Anggia.
" Gak mau! Gara itu panggilan sayang gue ke elo. Jarang tau ada cowok yang namanya Gara," keukeuh Anggia.
" Tapi Angga itu lebih baik, sayang." Anggia menggeleng, tetap tidak setuju dengan laki-laki berlesung pipi di hadapannya ini.
" Gak ada nego-nego. Anggap aja nama Gara itu warisan dari gue untuk lo kalau gue udah pulang ke rumah masa depan!"
Anggara menggeleng, menatap sendu batu nisan yang sedang ia pegang dengan sayang itu.
" Sekarang gue sadar, nama Gara adalah warisan terbaik dari lo yang gue terima." Anggara kembali menerbitkan senyumnya.
" Ah iya, satu lagi cerita baru yang mau gue bagi," tambahnya saat mengingat sesuatu yang nyaris terlupakan.
" Gue rasa, gue mulai tertarik dengan kembarannya Huda. Iya, si Hera. Dia cewek yang beda. Lo bisa bayangin di saat semua cewek di sekolah memuji dan bersikap ramah ke gue, dia adalah cewek pertama yang berani mengumpat dan bersikap dingin ke gue. Bisakah gue bilang kalau Hera itu cewek yang langka? "
Anggara kembali geleng-geleng kepala. Kejadian pagi tadi benar-benar di luar ekspetasinya. Seorang duta sekolah dicaci maki? Ditambah lagi yang memaki adalah seorang perempuan dan parahnya mereka hidup bertetangga pula. Benar-benar luar biasa!
Mungkin kalian berpikir Hera itu gadis yang kasar. Namun percayalah, sikap kasar gadis itu justru menjadi pemicu seorang duta sekolah SMA GARDA tertarik pada gadis berhazel cokelat itu.
" Nah, intinya. Di sisi lain gue penasaran sama sosok pemilik bekal biru itu. Tapi di sisi lain juga gue tertarik dengan Hera. Jadi, menurut lo gue harus gimana? "
" Mengejar salah satu atau dua-duanya? "
Anggara mengurut pangkal hidungnya. Berhasil dibuat penasaran dan tertarik pada seseorang di waktu bersamaan dengan orang yang berbeda cukup berhasil membuatnya pusing tujuh keliling. Satu harapannya, andai saja jika pemilik bekal itu adalah Hera mungkin tidak akan sesulit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]
Teen FictionEksistensi Anggara sebagai Duta Sekolah SMA GARDA yang mampu mengalahkan famous-nya Ketua OSIS ternyata bisa menciptakan dua kubu yang saling bertolak belakang. Apalagi jika bukan Fans Garis Keras dan Haters yang Maha Benar. Menjadi secret admirer A...