" Kamu suka aku, aku suka dia, dia suka sama yang lain. Ya udah, kita satu sama."
-Katanya dia
***
Suara langkah yang menuruni anak tangga berhasil menarik perhatian empat pasang mata yang sedang berada di ruang makan. Mereka kompak menoleh ke sumber suara. Sayangnya, objek yang mereka lihat membuang muka. Objek itu mengangkat dagu acuh tak peduli jika sedang diperhatikan.
" Sayang, sarapan dulu, ya? Udah lama loh kita gak sarapan bareng," pinta Sarah yang dianggap angin lalu oleh Anggara.
Anggara tak menyahut. Memilih sibuk dengan kegiatannya yang memasang dasi sekolah di lehernya. Hal itu spontan membuat Sarah tergerak untuk membantu putranya.
" Jangan mendekat! " larang Anggara saat Sarah hendak mengambil alih dasinya.
" Mama hanya ingin membantumu memasang dasi, sayang," lirih Sarah.
" Saya tidak semanja itu. Sejak orang tua saya meninggal, saya sudah terbiasa melakukannya sendiri, "
" Anggara! "
" Jangan panggil nama saya dengan suara kasar Anda! " sarkas Anggara membungkam amarah Danu.
Tanpa ucapan selamat pagi dan salam, Anggara melenggang melewati mereka. Keluar dari rumah dengan membawa mood yang jauh dari kata baik-baik saja.
" Gak seharusnya mereka kembali. "
***
Datang di pagi-pagi buta sama sekali bukan kebiasaan Anggara. Jika saja di rumah tidak ada Danu dan Sarah mungkin 30 menit yang akan datang ia baru tiba di sekolah saat detik-detik bel masuk berbunyi.
Untuk hari ini, Anggara merasakan yang namanya datang di pagi buta. Datang di saat matahari masih malu-malu untuk hadir. Datang di saat sekolah masih sepi kosong melompong. Hanya ada petugas kebersihan sekolah yang sedang sibuk menyapu dan mengepel lantai koridor.
" Terima kasih ya, nduk. "
Anggara menyipitkan manik hitamnya kala tak sengaja menangkap Pak Otoh sedang menerima sebungkus nasi dari seorang siswi yang berseragam sama dengannya.
Sosok gadis itu begitu familiar diingatan Anggara. Mulai dari model ikat rambut, prawakan tubuh mungilnya, tas warna navi-nya sampai cara gadis itu berjalan pun tak asing diingatannya. Sayangnya ia memiliki penyakit lupa dan sulit untuk mengingat wajah seseorang.
Tak mau terus terjebak dalam rasa penasaran, Anggara memutuskan untuk mengikuti gadis itu. Berjalan pelan tanpa menciptakan suara, sesekali ikut berhenti ketika gadis itu berhenti untuk memberikan sebungkus nasi kepada petugas kebersihan yang ia temui.
Dalam hati, Anggara berdecak kagum. Kagum dengan kebaikan gadis itu yang rela datang di pagi-pagi buta seperti ini hanya untuk membagikan sarapan gratis kepada petugas kebersihan yang tak pernah dipedulikan oleh siswa-siswi lainnya. Bahkan ia merasa malu. Ia yang notabenenya seorang duta sekolah pun tidak memiliki rasa peduli kepada warga sekolah yang setinggi itu.
Anggara masih terus mengikuti gadis itu. Berjalan menaiki tangga lantai tiga, mengambil lorong kiri. Namun ia menghentikan langkah saat gadis itu masuk ke dalam kelasnya. Tatapan sang duta sekolah beralih pada sebuah tulisan yang menggantung di atas pintu kelas tersebut, XII IPA 1.
Artinya, kelas gadis itu.
Mata hitam pekatnya saat itu juga kembali jatuh pada pintu kelas yang dimasuki gadis tadi. Seketika hatinya menghangat kala tatapannya bertubrukan dengan hazel cokelat yang menatapnya kaku di pintu kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]
Teen FictionEksistensi Anggara sebagai Duta Sekolah SMA GARDA yang mampu mengalahkan famous-nya Ketua OSIS ternyata bisa menciptakan dua kubu yang saling bertolak belakang. Apalagi jika bukan Fans Garis Keras dan Haters yang Maha Benar. Menjadi secret admirer A...