D U A P U L U H D E L A P A N

399 30 0
                                    

Status mana yang lebih nyesek?
Friendzone atau kakak adekzone?

***

Setangkai bunga mawar telah siap Galang berikan kepada gadis berhazel cokelat yang tak lama lagi tiba. Beberapa kali laki-laki itu menghirup bunga mawar yang ada di tangannya, memastikan jika wanginya tak akan hilang sebelum berpindah tangan kepada gadis yang selalu ia nantikan kedatangannya itu.

Jantungnya bertalu lebih cepat saat Sabin, gadis kecil yang berusia 10 tahun itu berlari mendekatinya dengan membawa berita yang ia nantikan.

" Mereka udah datang, Bang! " seru gadis kecil itu membagi informasi.

" Oh ya? Sekarang mereka di mana? " tanya Galang dengan tangan kiri yang menggandeng Sabin berjalan keluar dari kamarnya.

" Di depan. Tau gak bang? Tadi Sabin liat di dalam mobil mereka ada banyak makanan loh! " cerita Sabin dengan binar bahagia.

Galang tersenyum. Pasti dan selalu saja setiap kali kedua kembar tak identik itu datang ke panti ada saja yang mereka bawa untuk anak-anak. Waktu pertama kali mereka datang ke panti setelah diadopsi oleh keluarga Atmaja, mereka membawa berbagai macam mainan, alat tulis, dan makanan. Kemudian kedatangan mereka di minggu selanjutnya, berbagai jenis buah-buahan dan makanan ringan mereka bawa. Hingga sampai kedatangan mereka saat ini, Galang dapat melihat dengan jelas begitu banyak nasi kotak yang sekarang sedang sibuk dikeluarkan oleh kedua kembar itu dari dalam mobil.

Galang melepas pegangan tangannya pada Sabin. Menepuk pelan singkat kepala gadis kecil itu sebelum kakinya ia langkahkan menuju mobil yang sedang dikerubungi oleh anak-anak.

" Ehem! Anak-anak, kalian masuk main di dalam, ya. Biar Abang, Kak Huda, dan Kak Hera bawa makanan-makanan ini dulu ke dalam. Oke? " titah Galang lembut yang langsung dipatuhi oleh anak-anak.

" Oke, Bang! Ayo kita ke dalam!! " seru seorang anak laki-laki yang bertubuh gempal, Rio namanya.

Huda dan Hera tersenyum melihat betapa menurutnya anak-anak di panti ini. Tidak nakal bahkan sangat mudah untuk diatur. Tidak seperti dirinya dulu yang merupakan satu-satunya gadis kecil yang paling mucil di antara anak lainnya. Ah, mengingat itu membuat Hera menjadi geleng-geleng kepala sendiri.

" Sini, Ra. Biar aku yang bawa." Galang mengambil alih plastik besar di tangan Hera yang berisi nasi kotak.

" Eh, gak usah repot-repot, Bang! "

Terlambat, plastik makanan itu sudah berpindah tangan.

" Mending kamu bantu aku bawakan ini." Galang memberikan setangkai bunga mawar kepada gadis berhazel coklat itu.

Hera menerimanya. Refleks saja gadis itu mendekatkan hidungnya untuk menghirup semerbak wanginya mawar indah itu.

Huda dan Galang masuk ke dalam panti dengan tangan yang masing-masing membawa plastik makanan. Sedangkan Hera mengikuti langkah kedua laki-laki itu dari belakang.

Di sinilah mereka, menaruh nasi kotak yang mereka bawa ke pondok baca. Huda memanggil anak-anak untuk mendekat. Nasi kotak itu mereka bagikan secara adil dan merata.

" Makan yang kenyang, ya!" pesan Huda ketika membagikan nasi kotak itu.

Anak-anak mengangguk patuh dan mengucapkan terima kasih.

" Sama-sama, sayang," jawab Hera.

Setelah mendapatkan makanan, masing-masing dari mereka langsung menyebar. Ada yang makan di pondok baca, ada yang duduk santai di tengah taman dan berbagai tempat yang menurut mereka nyaman mereka jadikan sebagai tempat untuk makan. Melihat itu, si kembar dan Galang pun tersenyum senang. Tidak, lebih tepatnya Galang tersenyum karena melihat senyum yang terbit di wajah manis Hera.

" Bunganya harum, Bang," ucap Hera mengomentari setangkai bunga mawar milik Galang yang ada digenggamannya.

Galang tersenyum.

" Kamu suka? " tanya Galang yang diangguki antusias oleh Hera.

" Kalau suka, ambil aja."

" Eh, janganlah! Inikan bukan punyaku," tolak Hera.

Sama seperti apa yang dilakukan Huda jika sedang gemas dengan tingkah Hera, Galang menarik gemas hidung gadis itu hingga si empunya meringis.

" Ya udah, sekarang itu punya kamu."

" Beneran? "

Galang mengangguk mantap. Oh, jangan lupakan dengan senyum yang tertarik disudut bibir laki-laki berusia 20 tahun itu saat melihat Hera yang memekik girang. Ternyata, membuat Hera bahagia bisa sesederhana itu.

" Seneng banget kayaknya, Ra? " celetuk Huda setelah daritadi mengamati interaksi keduanya.

" Cewek mana coba yang gak suka dikasih bunga? " balas Hera.

" Ada kok, Anya. Waktu gue kasih bunga, lo tau responnya gimana? "

Hera menggeleng.

" Lo pikir gue kuburan dikasih kembang? " tutur Huda dengan nada suara yang meniru gaya berbicara Anya.

Hera dan Galang tergelak.

" Wah, kalo Anya sih pengecualian," ucap Hera disela guyonnya.

" Kamu suka bunga, Ra? Kalo suka nanti biar ku kasih kamu bunga setiap hari," imbuh Galang saat mereka tak lagi bersuara.

" Uh, baiknya. Tau aja kesukaanku apa. Jadi tambah sayang sama abangku yang satu ini."

Galang tersenyum dan tangannya terulur mengacak gemas anak rambut Hera.

" Bang Galang memang abang terbaik! " tambah Hera.

Kalian tahu? Perkataan Hera yang terakhir tadi berhasil membuat senyum bahagia Galang memudar. Senyum itu tergantikan dengan senyum kecut yang hanya Galang sendiri tahu rasanya. Bahkan, tangan yang awalnya ingin merengkuh tubuh Hera ke dalam pelukannya harus tertahan di udara karena perkataan yang membuat semua harapannya pupus sebelum terlaksana.

" Aku juga sayang kamu, Ra. Tapi bukan sebagai adik ataupun sahabat," jujur Galang di dalam hati.

***

Mobil yang dikendarai oleh Huda memasuki pekarangan rumah. Setelah hampir tujuh jam lamanya mereka menghabiskan waktu di panti sebagai salam pamit Hera sebelum berangkat ke Jogja untuk berjuang membawa nama baik SMA GARDA. Ah tidak, berjuang untuk menata hati melupakan Anggara lebih tepatnya.

Baik Hera maupun Huda keduanya sama-sama keluar dari mobil dari sisi yang berbeda. Satu pemandangan yang berada di teras rumah membuat kening mereka kompak berkerut heran.

" Ada perlu apa? "

Anggara tersenyum lega. Setelah menunggu satu jam lamanya, akhirnya datang juga tetangga yang ia tunggu daritadi.

" Kalian darimana? " tanya Anggara balik tak mengindahkan pertanyaan yang dilontarkan Huda.

Percayalah, saat ini dengkusan napas kesal berhembus di hidung bangir Huda.

" Pan- "

" Gue masuk duluan!" tukas Hera memotong perkataan kembarannya.

Hera melenggang begitu saja. Mengabaikan tatapan Anggara yang berharap untuk ia tatap dan sapa. Jangankan melirik, yang ada justru gadis itu menampilkan ekspresi sedatar tripleks beserta hazel cokelat yang menatap dingin menusuk.

Saat melewati Huda, gadis itu mengatakan sesuatu. Hanya ia, Huda, dan Tuhan yang mendengar.

" Jangan ngomong apapun tentang panti! "

Huda mengangguk kecil. Kecil sekali, nyaris tak terlihat jika laki-laki itu tengah mengangguk. Hera terus melangkah menuju pintu. Namun, sebuah suara bariton menginterupsi langkah gadis itu untuk menghentikan langkahnya.

" Da, boleh gue bicara dengan Hera? "

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang