S E B E L A S

503 37 0
                                    

"Lebih baik mengenal dari jauh daripada mengenal dekat yang pada akhirnya akan menjadi saling menjauh tak mengenal."

-Si penguntit

***

Ditambah satu susu cokelat gak papa, 'kan?

-Selamat menikmati, Gara :)

Sebuah senyum terbit di bibir Anggara pagi ini. Hatinya selalu menghangat saat mendapati kotak bekal biru mengisi laci mejanya. Cokelat, surat, dan bunga tak lagi ia pedulikan. Untungnya ada Huda yang berbaik hati mau membantu memungutnya.

"Mulai suka susu cokelat lo?" tanya Huda saat mendapati sekotak susu coklat UHT yang sepaket dengan kotak bekal biru yang ada di tangan Anggara.

Anggara menggeleng dan tersenyum geli, "Gue mulai suka sama yang ngasih."

"Heleh!" Huda melempar segumpal surat yang sudah ia remas tepat mengenai kepala Anggara, headshot!

"Ssttt! Rusuh lo! Gue mau sarapan nih!"

"Gue sumpahin keselek mampus lo!" umpat Huda yang diabaikan Anggara.

Anggara begitu menikmati sarapannya dengan khidmat. Sesekali memejamkan mata meresapi bumbu nasi goreng yang begitu pas di lidah. Biarpun setiap hari selalu nasi goreng, ia tidak akan pernah bosan untuk memakannya. Apalagi jika ditemani oleh si pemberi bekal. Uh, sudah pasti ia akan minta disuapi.

Hampir sebulan lamanya sudah kotak bekal biru itu terus berada di dalam laci mejanya. Tapi hingga saat ini juga ia masih belum bisa mengetahui identitas sang pemberi. Setiap hari ia mencicipi bekal itu semakin bertambah besar pula rasa penasarannya. Berbagai cara telah Anggara lakukan untuk mencari pemilik bekal tak bertuan itu. Mulai dari datang pagi-pagi buta sampai pulang di akhir waktu namun tetap saja orang itu tak ia temukan.

Orang itu begitu pintar menyembunyikan identitasnya.

"Andai aja pemilik bekal ini Hera, mungkin gue gak perlu sepenasaran ini," batin Anggara setiap kali menemukan kotak bekal itu di laci mejanya.

"Loh, Hera?"

Uhuk uhuk

Cepat-cepat Anggara meraih susu cokelat dan meminumnya. Ia tersedak karena terkejut saat mendengar Huda menyebut nama Hera. Entahlah, ia merasa tak siap saja saat gadis yang sedang ia pikirkan itu datang dan melihat penampilannya yang ia rasa tidak begitu rapi.

Percayalah, rasa percaya diri Anggara semuanya bersumber pada penampilannya.

"Hera ngapain?" tanya Anggara setelah merasa tenang.

Huda mengedikkan kedua bahunya, "Gak tau."

Huda beranjak dari duduknya, berjalan ke depan kelas menghampiri Hera yang menunggunya di luar. Jangan tanya mengapa gadis itu tidak masuk ke dalam sebab kembarannya itu tidak ingin jantungnya berdisko ria di pagi hari seperti ini. Berdekatan dengan Anggara tak baik untuk kesehatan jantungnya. Hera takut kembali mati gaya.

"Ini hape lo." Hera menyodorkan ponsel dan langsung diterima baik oleh Huda.

"Oh iya! Hampir aja lupa. Untung lo inget."

Hera menelan salivanya susah payah. Sesekali matanya curi-curi pandang ke dalam kelas untuk melihat Anggara di dalam sana.

Pipi Hera memanas, hatinya menghangat. Melihat Anggara begitu lahap memakan masakannya yang sederhana itu berhasil membuatnya mengulum senyum malu-malu.

Huda tersenyum geli, ekspresi kembarannya itu patut ia nikmati. Jarang-jarang Hera menunjukkan ekspresi malu-malunya. Sudah pernah ia bilang bukan jika gadis itu adalah gadis yang minim ekspresi.

"Gak mau nyuapin?" tanya Huda menggoda.

"Pengennya sih gitu. Tapi 'kan ceritanya gue itu secret admirer," jawab Hera dengan suara sepelan mungkin.

Huda merubah posisi tubuhnya. Sedikit menyamping hingga menyisakan ruang yang cukup banyak untuk Hera agar gadis itu lebih leluasa bisa melihat ke dalam kelasnya.

"Ish! Jangan geser, gue malu!"

"Lah, punya rasa malu juga lo?"

"Fuck!" umpat Hera.

Sepersekian detik berikutnya sentilan pedas mendarat di bibir mungil Hera. Membuat gadis itu meringis. Siapa lagi pelakunya jika bukan Huda.

"Heh, mulutnya!" Huda mendelik tajam.

"Lo sih, mancing!"

Huda geleng-geleng kepala lalu bersedekap dada.

"Kenapa gak lo akhiri aja kelakuan secret admirer lo? Bukannya Angga juga mau ngajak lo temenan? Secara lo itu satu-satunya cewek beruntung yang diajak temenan sama Angga,"  tutur Huda.

Hera menghela napas. Baginya ini adalah pilihan tersulit dari sekedar memberi jawaban ya atau tidak saat ditembak laki-laki. Ia sadar setiap hal yang ia lakukan selalu ada sebab akibat. Ada risiko yang harus ia tanggung dari masalah yang ia hadapi.

Tidak ada gadis SMA GARDA yang mau menolak ajakan pertemanan Anggara. Hera tak munafik jika ia pun sangat ingin berteman dekat dengan objek teropongnya itu. Namun, jika ia berteman dekat dengan sang duta sekolah, maka secara tidak langsung identitasnya sebagai secret admirer akan terbongkar. Sebenarnya bukan itu yang jadi permasalahan. Hanya saja, Hera takut rasa merah jambu yang ia miliki untuk laki-laki yang tinggal di depan rumahnya itu akan terbongkar.

Hera sangat tahu jika pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada yang murni. Salah satunya pasti ada yang melibatkan hati. Dan di sini dirinyalah yang memulai.

Hera takut, takut jika Anggara mengetahui perasaannya. Takut jika perasaannya tak berbalas hingga akhirnya mereka menjadi jauh tak dapat tersentuh.

Bagi Hera, menjadi secret admirer adalah langkah yang paling aman.

"Mungkin gue lebih baik memilih jadi secret admirer."

"Sampai kapan?"

Hera tersenyum, "Sampai perasaan gue ke Anggara hilang."

Tapi satu hal yang tidak Hera tahu.

Bisakah perasaan itu hilang?

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang