" Percayalah, mau sekuat apapun kamu melupakan seseorang, kamu tidak akan bisa melupakan kenangannya."
-Si duta sekolah
***
Jam masih menunjukkan waktu siang hari. Namun langit tidak menunjukkan waktu yang sedang terjadi. Matahari yang terik secara perlahan meredup. Awan hitam membawanya pergi meninggalkan langit mendung Jakarta yang berjuluk kota metropolitan itu. Secara perlahan tapi pasti, rintik mulai turun membasahi dahan. Membuat siapapun yang ada di bawah sana berlarian menghindar dari rintik yang semakin turun mengeroyoki tanah.
Di saat yang lain bersembunyi dari hujan, sosok jangkung itu justru memilih berjalan ke tengah lapangan. Menengadahkan kepalanya, membiarkan wajah bersihnya sebagai tempat berlabuhnya rintik yang berjatuhan. Matanya terpejam, menikmati setiap rintik yang membelai wajahnya.
Selain hujan meninggalkan genangan, hujan juga meninggalkan kenangan. Hujan datang membawa kenangan layaknya film yang terputar jelas di otak. Macam kepingan-kepingan puzzle yang tersusun apik menampilkan setiap gambar acak yang sulit dilihat. Namun begitu berarti ketika telah disusun dengan baik dan tepat. Meninggalkan kesan yang membekas diingatan.
Itulah yang sedang Anggara rasakan sekarang.
Tak peduli dengan tubuhnya yang kuyup diterpa hujan deras, ia justru memilih tuli saat warga sekolah membicarakan kelakuan anehnya di bawah hujan. Anggara sedang menikmati film yang berputar diingatannya. Sebuah film yang hanya bisa ia tonton ketika hujan turun. Sebuah story yang tak akan bisa ia lupakan. Ya, tidak akan pernah.
" Tunggu gue, Gara! "
" Lambat lo, keburu basah kehujanan woi! "
" Ih lo mah gitu. Seharusnya lo bersyukur bisa kehujanan bareng gue. Karena suatu saat lo akan kehujanan tapi untuk mengenang gue."
" Terserah lo, Anggia! "
Garis lurus di bibir Anggara menarik senyum. Senyum getir tepatnya. Sepotong kejadian di masa lalu itu membuat ia sadar jika apa yang dikatakan gadis itu benar dan sekarang ia sedang melakukan itu, mengenang gadis tersayangnya yang tak akan pernah kembali.
Percayalah, mau sekuat apapun kamu melupakan seseorang, kamu tidak akan bisa melupakan kenangannya.
Kening Anggara mengernyit, merasa janggal ketika rintik hujan tak lagi jatuh di wajahnya padahal suara hujan masih terdengar jelas di indra pendengarannya.
" Hera? "
Ya, ketika Anggara membuka mata untuk memastikan apa yang sedang terjadi justru eskpresi datar yang membingkai wajah kembaran Huda Anjani itu yang pertama terlihat. Jangan lupakan sebuah payung kecil biru malam polos yang memayungi kepala mereka di atas.
Anggara tersenyum, Hera kah yang memayunginya?
" Apa seorang duta sekolah gak punya kerjaan lagi selain hujan-hujanan? " tanya sarkas Hera.
Anggara tertawa sumbang, tangannya yang terentang kini bersedekap dada. Menatap wajah Hera yang menyorotnya dingin.
" Apa lo gak punya kerjaan lain lagi selain mayungin orang yang lagi hujan-hujanan? "
Damn it!
Anggara tersenyum puas ketika lawannya membuang muka. Salah satu tanda jika seseorang tak lagi mampu memberi sanggahan.
" Oh atau lo peduli sama gue? "
Heh? Apa katanya?
Hera membolakkan matanya. Mengapa Anggara bisa memiliki tingkat percaya diri yang overload seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]
Fiksi RemajaEksistensi Anggara sebagai Duta Sekolah SMA GARDA yang mampu mengalahkan famous-nya Ketua OSIS ternyata bisa menciptakan dua kubu yang saling bertolak belakang. Apalagi jika bukan Fans Garis Keras dan Haters yang Maha Benar. Menjadi secret admirer A...