" Suka diam-diam, sakit hati diam-diam.
Dasar aku."-Si penguntit
***
Usai menenggak habis minuman yang tersisa, Huda bangkit menuju lapak kantin untuk membayar mie ayam dan es jeruk yang mereka pesan tadi. Tak ada yang dilakukan oleh Anggara selain duduk menunggu sahabatnya itu. Melihat suasana kantin yang semakin lama semakin sepi karena bel masuk telah berbunyi beberapa detik yang lalu. Menyisakan beberapa meja yang masih diisi oleh siswa - siswi yang fokus mengisi perut kosong mereka dengan nikmat.
" Hari ini kok gue gak ada liat Sandra, ya? " tanya seorang gadis dengan rambut berpotongan bob.
" Sandra gak turun sekolah, dia sakit, " jawab gadis berambut curly yang sedang asik menikmati baksonya.
" Yah, padahal gue nunggu bekal dia. Lah, gak turun anaknya. "
" Sialan lo! Doain kek semoga Sandra cepat sembuh eh malah ngarepin bekalnya. " Gadis berambut curly itu melemparkan segumpal tisu bekas ke arah gadis berambut potongan bob yang duduk di hadapannya.
" Habisnya nasi gorengnya ngangenin. Apa lagi telur dadarnya. Behh, lebih menggoda daripada liat cogan! "
Kening Anggara mengernyit. Nyaris kedua alis laki-laki itu bertaut. Telinganya menajam ketika mendengar salah satu siswi yang sedang bercengkrama di belakangnya itu membicarakan tentang nasi goreng telur dadar.
" Makanya, lo doakan Sandra supaya cepat sembuh. Kalo sembuh 'kan kita bisa nikmatin nasi gorengnya seperti biasa. "
Seperti biasa?
Entah mengapa pembicaraan kedua siswi itu mengingatkan Anggara tentang kotak bekal biru berisi nasi goreng yang selalu menghuni laci mejanya sejak satu bulan terakhir ini. Mengingat salah satu siswi tadi mengucapkan kata seperti biasa membuat ia mulai berpikir jika bekal yang selalu ia dapatkan setiap pagi itu berasal dari orang yang sama, orang yang sedang dibicarakan oleh dua siswi di belakangnya.
Terlebih lagi mereka juga berkata jika hari ini mereka tidak bisa menikmati nasi goreng itu karena si empunya sedang tidak turun sekolah karena sakit. Sama seperti yang Anggara rasakan, hari ini ia juga tidak menemukan kotak bekal biru di laci mejanya. Apakah ini hanya kebetulan?
Tapi insting seorang Anggara begitu kuat berkata iya.
Anggara yakin jika ini bukan hanya sekadar kebetulan semata. Bisa jadi ini adalah sebuah petunjuk untuk mengungkap identitas sang pemilik bekal misterius itu bukan? Dan lagi, ini adalah kesempatan ia untuk mencari tahu siapa orang misterius itu. Kesempatan ini tidak mungkin ia lewatkan begitu saja.
" Boleh gue minta nomor WhatsApp lo? "
Kedua siswi tadi berjengkit kaget ketiga Anggara datang tiba-tiba di meja mereka. Tanpa basa-basi perkenalan terlebih dahulu melainkan langsung to the point meminta nomor WhatsApp mereka.
" Angga! " kompak seru kedua gadis itu.
" Sorry, jadi bisa gue minta nomor WhatsApp kalian? " tanya Anggara masih dengan ekspresi datarnya.
Kedua siswi itu mengerjapkan mata. Mimpi apa mereka semalam sampai seorang duta sekolah meminta nomor WhatsApp mereka?
" Bisa."
Anggara mengeluarkan ponselnya. Memberikannya kepada siswi berambut curly yang langsung diterima baik oleh gadis itu.
" Nih. " Gadis berambut curly itu mengembalikan ponsel tersebut setelah mengetik beberapa digit angka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]
Ficção AdolescenteEksistensi Anggara sebagai Duta Sekolah SMA GARDA yang mampu mengalahkan famous-nya Ketua OSIS ternyata bisa menciptakan dua kubu yang saling bertolak belakang. Apalagi jika bukan Fans Garis Keras dan Haters yang Maha Benar. Menjadi secret admirer A...