T I G A

633 53 5
                                    

" Ghibah bersama orang yang udah gak ada itu lebih aman. Karena apa yang udah kamu ghibahin, gak akan mungkin dia ghibahin ke orang lain."

-Si duta sekolah

***

Motor besar yang suaranya memekakan telinga membelah jalan raya yang tak begitu padat. Menyelip kendaraan lain tanpa peduli suara klakson dan segala sumpah serapah dari pengendara lain karena motor itu berlalu dengan kecepatan tinggi.

Motor yang melaju itu secara perlahan menurunkan kecepatannya kala memasuki kawasan sunyi yang di jalanannya dipenuhi pepohonan rindang.

Suara standar motor menjadi tanda jika sang pengendara telah memakirkan motor mahalnya dengan apik. Dibalik jaket kulit hitam yang membungkus tubuh atletisnya, ada seragam putih abu-abu yang membalut tubuhnya. Helm full face itu ia buka, menampilkan wajah tegas yang apabila menyunggingkan senyum akan terlihat dua lesung di pipinya yang tirus.

Anggara berjalan memasuki tempat terbuka itu dengan membawa beberapa rangkaian bunga mawar yang ia jadikan satu. Lebih tepatnya bunga yang selalu ia dapatkan dari secret admirer-nya itu akan ia berikan pada seseorang yang sangat berarti di dalam hidupnya.

Langkah panjangnya berhenti tepat di sebuah nisan yang bertuliskan Anggia Yolanda. Laki-laki itu berlutut, memegang nisan dan menciumnya. Menggumamkan beberapa kali kata maaf yang tertuju untuk jasad yang telah berada dibalik gundukan tanah itu.

" Maaf. Maafin gue, Anggi," lirih Anggara.

" Gue tadi ada urusan sebentar di sekolah. Gue sibuk begini juga karena lo. Kalau aja gue gak gantiin lo jadi duta sekolah mungkin gue akan selalu datang nemuin lo tepat waktu," ucap Anggara dengan tangan yang sibuk mencabuti rumput-rumput liar di atas gundukan tanah itu.

Anggara mengeluarkan sebotol air dari dalam tasnya. Ia tuangkan air tersebut di atas tanah yang tak pernah kering itu.

" Gue hari ini dapat makanan yang berbeda dari salah satu secret admirer gue. Eng... mungkin. Gue sempat berpikir kalau nasi goreng yang ada di kotak bekal biru itu dari salah satu haters gue. Maaf kalau gue berburuk sangka karena biasanya secret admirer gue itu pasti selalu memberi makanan sejenis cokelat-cokelat, dan cokelat," ucap Anggara memulai sesi curhatnya.

Air yang berada di dalam botol itu telah habis. Ia pun memasukan kembali botol itu ke dalam tas.

" Tapi nasi goreng itu Huda yang makan, gue sih yang nyuruh. Gue jadiin kelinci percobaan dia." Anggara mengakhiri kalimatnya dengan tawa sumbang.

" Padahal nasi goreng itu makanan kesukaan gue. Tapi gak papa lah. Dengan melihat Huda yang kondisinya baik-baik aja setelah makan nasi goreng itu gue berharap semoga besok kotak bekal biru berisi nasi goreng itu kembali ada di laci meja gue," ucapnya di akhiri senyum simpul.

Anggara menengadahkan kepalanya. Menatap langit sore yang mulai memasuki senja. Sudah waktunya Anggara harus pulang.

" Sudah sore, gue pulang dulu, ya. Semoga besok gue bisa datang tepat waktu dengan membawa cerita baru. Mungkin cerita tentang pemilik kotak bekal biru itu."

Rangkaian bunga mawar itu ia letakan didekat batu nisan. Sebelum beranjak, Anggara tersenyum. Senyum khas, senyum paling manis yang tak pernah ia tujukan pada siapapun selain kepada Anggia.

" Gue pulang, Anggia."

***

Suara jam beker yang melengking berhasil mengusik tidur nyenyak gadis berhazel cokelat itu. Dengan terpaksa, ia buka matanya yang masih terasa berat sedangkan tangan kanannya meraba-raba nakas mencari benda yang menjadi penyebab suara bising itu meramaikan heningnya kamar.

Hera mendudukan dirinya di bibir kasur, mengerjapkan hazelnya beberapa kali. Tangannya menutup mulut karena menguap kantuk. Ia lakukan sedikit peregangan untuk menghilangkan rasa kebas pada tangan dan lehernya.

Gadis itu melirik jam bekernya, tepat menunjukan pukul 04.45 .

Segera gadis itu beranjak dari kasurnya menuju bilik kecil yang ada di kamarnya untuk berwudhu.

Mukena putih tanpa motif sudah membalut tubuh mungilnya. Ia jalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Bersujud di atas sajadah yang bergambar ka'bah. Dua rakaat itu ia tuntaskan dengan salam sebagai penutupnya.

Selesai melaksanakan sholat subuh, Hera berjalan ke arah meja rias. Mencepol rambut yang panjangnya sepunggung itu dengan asal.

Hera mematut dirinya di cermin dan tersenyum.

" Saatnya masak nasi goreng untuk Gara! "

***

Kicauan burung gereja menyambut dua kembar tak identik itu saat melangkah keluar dari rumah. Seperti kemarin, mereka akan berangkat sekolah di pagi-pagi buta. Membagikan beberapa makanan kepada petugas kebersihan sekolah secara cuma-cuma sebelum akhirnya menaruh kotak bekal biru itu ke dalam laci meja Anggara.

" Niat amat," cibir Huda saat melihat Hera yang sedang menorehkan sesuatu di sticky note.

" Biarin," balasnya di akhiri juluran lidah yang mengejek.

Hera tersenyum puas, sticky note kuning yang bertuliskan Selamat Menikmati, Gara. -Hamba Allah telah selesai ia tulis dan ia tempelkan pada kotak bekal biru itu.

" Gue balik, ya. Awas lo makan! " Ancam Hera yang membuat sebelah alis tebal Huda menukik.

Huda bersedekap dada, memandang wajah kembarannya yang tampak merona.

" Tergantung Angga sih. Kalau dia gak mau ya paling dikasih ke gue," ucap Huda yang berhasil membuat gadis itu mendelik tajam.

" Huda! "

" Eitss, iya-iya. Gue pastiin Angga yang makan! " Huda mencegah jari-jari Hera yang siap ingin mencubit lengannya yang tak berotot itu.

" Nyebelin lo! Udahlah, gue balik dulu. Bye! "

Sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kelas, ia tatap meja kosong di samping Huda itu dengan tatapan penuh harap. Hera harap, nasi goreng buatannya itu berakhir di perut Anggara, bukan di perut datar kembarannya

" Selamat menikmati, Gara."

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang