T I G A P U L U H S A T U

399 26 0
                                    

Apa harus menghilang dulu agar bisa dianggap dan terlihat berharga?

***

Canda terkadang tidak selalu melulu tentang kebahagiaan. Canda terkadang tidak selalu melulu untuk membuahkan tawa. Ada canda yang dapat membuat kesedihan. Ada canda yang dapat berakhir tangisan. Nyatanya, tak semua canda bisa berakhir happy ending.

Seperti yang dialami oleh gadis berhazel cokelat itu. Ia tak tahu harus bahagia atau justru sebaliknya ketika semesta mengajaknya bermain dan bercanda. Mempermainkan perasaannya dan mengajaknya bercanda hingga membuat gadis itu tak tahan lagi untuk menangis. Jika tawa yang akan membuat perut sakit maka kali ini tangislah yang membuat hati menjadi sakit.

" Gue suka sama lo, Ra...."

" Sejak kapan? "

" Tiga tahun yang lalu."

Hati Hera berdesir nyeri mengingat kejujuran Anggara semalam. Jujur, ada rasa senang yang terselip di hatinya saat mengetahui jika orang yang selama ini ia untit menyukainya lebih dulu sebelum dirinya memutuskan untuk menjadi seorang secret admirer.

Namun rasa sakitnya lebih mendominasi saat Anggara memberikan sebuah rasa yang dulu ia harapkan di saat sekarang ia tak lagi berharap.

Anggara datang di saat gadis itu ingin meninggalkan. Anggara memberinya sebuah rasa di saat gadis itu telah memutuskan untuk mengubur mati rasanya dalam-dalam.

Mengapa semuanya harus terjadi di saat kata terlambat telah tiba?

Jika saja semua ini terjadi sebelum Sandra dan teror berdarah masuk ke dalam hidupnya, mungkin Hera tidak akan memilih pergi dari kehidupan Anggara seperti ini. Kisah percintaannya yang abu-abu mungkin akan berakhir happy ending seperti novel romance yang sering ia baca di waktu senggang. Nyatanya, Hera adalah bagian dari true story yang berakhir sad ending.

" Kenapa baru bilang sekarang? " tanya Hera dengan suara bergetar.

" Karena awalnya gue ragu dengan perasaan gue sendiri, Ra. Lo itu cewek yang dingin, jutek, dan cuek. Terlalu sulit bagi gue untuk percaya kalau ternyata gue punya rasa lebih untuk lo semenjak gue pindah rumah dan bertetangga dengan lo," jawab Anggara sedikit mengeraskan suaranya untuk menyaingi suara derasnya hujan di antara mereka.

" Lo bukan suka, lo cuma penasaran sama sikap gue yang seperti ini. Setelah lo tau siapa gue yang sebenarnya, lo pasti akan ninggalin gue!"

Anggara menggeleng tegas.

" Lo salah, Ra! Kalau gue sekedar penasaran, kenapa gue selalu merasa risih di saat Bani selalu berada di dekat lo? Gue ikut sakit liat lo yang terpukul atas kepergian orang tua lo. Gue selalu berusaha untuk akrab sama lo dengan cara yang berbeda karena gue tau lo itu cewek yang beda. Gue beri lo peluang untuk berteman di saat semua cewek yang ingin dekat sama gue selalu gue tolak. Itu semua karena gue punya rasa yang lebih buat lo, Ra! "

Hera menatap tajam manik hitam Anggara.

" Tapi lo pacaran sama Sandra! "

" Gue salah pilihan, Ra. Satu hal yang harus lo tau, di saat gue memutuskan untuk memilih Sandra ada rasa bersalah untuk lo. Oleh karena itu, gue mau mengakhiri kesalahan ini. Gue mau lo, bukan Sandra! "

" Egois! " teriak Hera bersamaan dengan air matanya yang tersamarkan air hujan.

" Pergi! Tinggalin gue, Gara! "

Hera menggenggam ponselnya erat-erat. Tanpa sadar air bening matanya jatuh membasahi pipi. Cepat-cepat gadis itu menyeka sebelum orang-orang yang berlalu lalang di bandara melihatnya menangis di kursi tunggu ini.

" Are you okay? " tanya Lamia saat melihat mata Hera yang memerah.

Hera mengerjapkan matanya dan menyunggingkan senyum.

" I'm okay," jawabnya membuat Lamia menghela napas lega.

Pasalnya Lamia sempat mengkhawatirkan Hera yang sedari tadi melamun dan menangis tiba-tiba. Penasaran sebenarnya, namun Lamia cukup sadar jika Hera memiliki privasi yang tak ingin diketahui orang lain.

" Ayo, tujuan Jogja sudah memanggil kita," ucap Pak Abu.

Lamia membantu Hera untuk berdiri. Kedua gadis yang baru kenal saat di sekolah tadi itu berjalan mengekori Pak Abu. Hera menatap jendela bandara yang memperlihatkan pesawat siap lepas landas di luar sana. Hera tersenyum getir, setelah ia memasuki pesawat itu ia harus bisa menata hatinya yang tak lagi utuh.

" Yeah, you can do it, Hera! " batinnya memotivasi.

***

Suara angin yang berhembus mengisi kekosongan di antara dua laki-laki yang sedang memandang hiruk pikuk kota di bawah sana.

Di sinilah Anggara dan Huda berada sekarang. Di rooftop SMA GARDA yang keberadaannya hanya diketahui oleh segelintir orang.

" Egois! "

" Pergi! Tinggalin gue, Gara! "

Anggara mencengkram erat botol mineral yang ada di tangannya. Rahangnya mengetat keras, mata hitamnya memandang langit kosong dengan tajam.

Kata-kata Hera terus berdengung di telinganya. Kata-kata yang dilontarkan gadis itu berhasil menohok hatinya. Kata-kata sarkas yang mampu membuat rasa bersalah yang awalnya hanya sebuah titik kecil berubah menjadi lingkaran besar yang bervolume. Rasa bersalah itu semakin memenuhi rongga dadanya. Terlalu sesak rasanya.

" Serius? Masalahnya satu sekolah juga udah tau kalo Hera akan mewakili sekolah kita lomba di Jogja."

Anggara menyugai rambutnya ke belakang. Tersenyum miris yang ia tujukan kepada dirinya sendiri. Kabar keberangkatan Hera ke Jogja begitu mengejutkan.

Baru kali ini Anggara merutuki kebodohannya sebagai duta sekolah. Dia yang seharusnya menjadi orang pertama yang paling tahu tentang informasi sekolah mengapa bisa ketinggalan informasi keberangkatan Hera? Anggara merasa menjadi orang yang paling bodoh karena semua orang di SMA GARDA kecuali dirinya pun tahu jika Hera akan meninggalkan SMA GARDA selama beberapa hari ke depan.

" Gue merasa bodoh, Da." Anggara tersenyum kecut.

Huda memusatkan atensinya pada Anggara yang sekarang tengah duduk di lantai dengan kaki yang tertekuk.

" Sorry, tapi Hera yang melarang gue untuk ngasih tau lo," ucap Huda dengan rasa bersalah.

" Padahal semalam kita bicara dan dia sama sekali gak ada nyinggung masalah Jogja."

Huda kini ikut mendudukkan dirinya di lantai.

" Apa aja yang kalian omongin? "

Baiklah, sesi tanya jawab yang panjang akan Huda mulai. Rasa penasarannya yang tinggi saat melihat Hera pulang dengan keadaan basah kuyup dan mata sembab memunculkan berbagai pertanyaan di benaknya.

" Semalam, gue jujur tentang perasaan gue ke Hera."

Huda menatap Anggara dengan pandangan tak percayanya. Bagaimana bisa?

Bagaimana bisa Anggara begitu mudahnya mengungkapkan perasaannya di saat ia sendiri masih terikat dengan Sandra?

" Respon Hera? "

Anggara menghela napas. Sesak rasanya jika mengingat kejadian semalam. Malam yang ia pikir akan menjadi malam yang paling berkesan justru menjadi malam terburuk untuk diingat.

" Pergi! Tinggalin gue, Gara! "

Anggara tersenyum getir, kalimat perintah dari Hera itu terus menerus bersuara di dalam dirinya.

" Hera minta gue pergi tinggalin dia," ucap Anggara diikuti senyum getirnya.

***

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang