" Terserah mau cokelatnya dari siapa. Asal dari anak Pak Danu aku terima."
-Si penguntit
***
" Kembaran lo, jutek juga, ya? "
Gerakan tangan Huda yang sedang menyalin tugas Anya terjeda sejenak saat suara berat Anggara tertuju padanya.
" Siapa? Hera? " Huda kembali melanjutkan kegiatan mencatatnya.
Anggara menaruh tasnya di atas meja. Tangannya terulur ke dalam laci meja. Sudah ia duga, seperti biasa ia mengeluarkan cokelat, bunga, dan surat-surat dari secret admirer-nya itu.
" Ya siapa lagi? Emang lo kembar berapa, heh? "
Huda terkekeh, " Santuy, takut salah orang. Soalnya menurut gue Hera itu bukan cewek yang jutek."
" Nyatanya gitu, bre. Barusan gue tadi ketemu dia di lorong dan gak sengaja tabrakan, bukunya jatoh. Niat gue pengen bantuin eh malah ditolak. Ngomongnya dingin pula. Kesannya gue di mata dia kayak orang jahat gitu. Padahal kelas kita bahkan rumahpun juga tetanggaan, 'kan? " beo Anggara.
Huda menyudahi kegiatan menyalinnya. Mencatat sambil berbicara sungguh membuat konsentrasinya pecah.
" Ya maklumin aja. Biar tetanggaan toh kalian juga gak pernah teguran. Lo orangnya sibuk, Hera juga anaknya susah bergaul. Ya wajar sih," imbuh Huda yang diangguki paham oleh Anggara.
Satu trush bag hitam telah penuh diisi bunga. Sedangkan surat-surat tak menarik itu sudah berakhir di tong sampah. Begitu pula cokelat-cokelat yang senasib dengan bunga. Namun, satu cokelat yang paling besar ia berikan kepada Huda.
" Untuk Hera. Anggap aja sebagai permintaan maaf gue." Anggara menyerahkan cokelat tersebut.
" Tumben, kena angin apa lo? " heran Huda namun tak urung tetap menerima uluran cokelat yang tertuju untuk kembarannya itu.
Anggara tersenyum manis.
" Anggap aja sebagai simbol perkenalan resmi antara gue dan Hera."
***
Napas lega berhembus di dalam kelas berjuluk Einstein itu. Semua buku dan alat tulis mereka masukan ke dalam tas masing-masing tanpa harus diperintah berkali-kali oleh Bu Asma yang sekarang juga tengah menenteng tas dan penggaris kayunya.
" Sekian pertemuan kita hari ini. Kita lanjutkan di minggu depan. Silahkan pulang," ucapnya sebelum melenggang keluar kelas.
Tepat langkah pendek guru itu keluar dari kelas, mereka yang berseragam khas SMA GARDA itupun langsung berhambur keluar. Berbeda dengan dua orang yang duduk di barisan belakang. Hera masih duduk manis di kursinya, menatap miris teman-temannya yang berdesak-desakan di pintu yang hanya cukup dilalui dua tubuh. Ia masih menyayangi tubuh kecilnya, terlalu sayang jika harus diapit oleh tubuh jangkung dan semampai teman-temannya yang bau keringat. Sedangkan Bani, laki-laki itu akan keluar kelas jika gadis yang duduk di sampingnya itu keluar.
Merasa sudah cukup lengang, Hera bangkit dari duduknya untuk berjalan keluar kelas.
" Ayok, Ban!" ajak Hera menepuk punggung Bani sekilas.
Bani tersenyum tipis, lalu ikut beranjak dan mengekori gadis mungil itu keluar dari kelas.
" Lo kalau mau duluan, duluan aja. Gue nunggu Huda," ujar Hera dengan dagu yang mengarah ke kelas jurusan IPS.
" Kalo gitu gue nemenin lo sampe Huda keluar kelas," ucap Bani di akhiri senyum tulusnya.
" Terserah lah." Hera mengibaskan tangannya. Tak mau ambil pusing dengan keputusan final Bani.
Tak perlu menunggu lama, kelas yang berada di ujung lorong sana mulai terlihat ramai. Semakin anak-anak jurusan itu berjalan menuju tangga semakin cepat pula jantung Hera berdetak. Hingga hazel cokelat gadis itu tanpa sengaja menangkap sosok jangkung berlesung pipi yang pagi tadi tak sengaja ia tabrak. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke lapangan. Menghindar dari tatapan teduh manik hitam pekat yang menangkap basah dirinya di tengah kerumunan anak-anak berseragam kotak-kotak itu.
" Itu Huda, Ra!" Hera spontan kembali mengarahkan pandangannya ke lorong IPS.
Benar, beberapa meter dari tempat Hera berdiri ada Huda yang tengah berjalan gontai seraya tersenyum ke arah mereka.
" Eh, Bani," sapa Huda menyadari keberadaan Bani di samping kembarannya.
" Oit! " Bani menaikkan kedua alisnya.
Tatapan Huda beralih ke wajah kembarannya yang menatap dirinya penuh harap. Ia tahu, gadis itu pasti ingin mendengar kabar kotak bekal biru yang sekarang berada di dalam tasnya. Mengigat masih ada keberadaan Bani diantara mereka, membuatnya harus mengurungkan laporannya kepada Hera. Misi rahasia gadis itu terlalu fatal untuk diketahui orang lain.
" Di rumah aja ya, Ra? " bisik Huda dengan mata yang melirik ke arah Bani.
Hera yang paham hanya bisa menghela napas. Jika tahu begini ia akan memaksa Bani pulang terlebih dahulu.
" Oh iya, Ra. Gue ada sesuatu buat lo!"
Hampir saja terlupakan, Huda segera merogoh coklat batang yang ada di salah satu sisi tasnya. Ia berikan kepada Hera yang menatap tak paham ke arah coklat itu.
" Cokelat dari siapa? " tanya Hera.
Huda tersenyum, " Anaknya Pak Danu."
" Serius? "
Hazel cokelat gadis itu berbinar tak percaya. Senyum semakin mengembang di wajahnya yang merona ketika satu anggukan mantap diberikan oleh Huda.
Jika dua orang kembar tak identik itu saling bertukar senyum, maka lain halnya dengan Bani. Laki-laki itu mengernyitkan kening kala netra di balik kacamatanya menatap cokelat yang sekarang tengah digenggam erat oleh Hera. Tiba-tiba saja ada rasa tak suka muncul di dalam hatinya saat melihat rona bahagia di wajah gadis tersebut karena cokelat tak bertuan itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]
Fiksi RemajaEksistensi Anggara sebagai Duta Sekolah SMA GARDA yang mampu mengalahkan famous-nya Ketua OSIS ternyata bisa menciptakan dua kubu yang saling bertolak belakang. Apalagi jika bukan Fans Garis Keras dan Haters yang Maha Benar. Menjadi secret admirer A...