S E M B I L A N B E L A S

409 33 0
                                    

" Karena pada dasarnya menangis dalam diam itu jauh lebih menyakitkan. Tidak terdengar namun mampu menyayat hati yang merasakannya."

-Si penguntit

***

Bulan di akhir tahun menjadi bulan di mana hujan sering mengguyur. Jika dihitung-hitung, hampir empat kali dalam seminggu hujan mengguyur entah hanya sekedar menyapa dengan rintik hingga guyuran deras disertai petir menyambar. Tak ada yang mengeluh ataupun takut, para makhluk senantiasa bersyukur atas rahmat yang diberikan Sang Pencipta berupa air yang turun dari langit.

Salah satu makhluk yang juga turut menyukuri turunnya rahmat yang turun bertubi-tubi ini adalah Hera. Gadis itu duduk di jendela kamarnya. Mengabaikan tempias hujan yang menerpa tubuhnya. Hera menikmatinya, indra penciumannya menghirup aroma khas yang diciptakan hujan, petrichor.

Ada sekelebat kenangan yang dibawa hujan dalam setiap rintiknya yang turun. Tidak ada yang manis, semua kenangan yang dibawa hujan adalah pahit.

Kenangan pahit itu seperti kopi.

Bagai orang penikmat kopi hitam tanpa gula, meski tahu kopi itu pahit namun tetap disuka. Seperti itu jugalah Hera, meski hujan datang membawa semua kenangannya yang pahit, gadis itu tetap menyukainya. Maka jangan salahkan hazel cokelatnya jika air mata selalu mengalir membasahi pipi saat hujan datang menyapa.

Hera dan Huda adalah anak kembar tak identik. Bunda Ayu menemukan mereka di depan pintu panti di malam hari saat hujan deras disertai petir menyambar. Menyamarkan suara isak tangis dua bayi merah yang menangis keras.

Di mana ada pertemuan pasti ada perpisahan. Hera benci saat-saat di mana mereka harus meninggalkan panti karena ada keluarga Atmaja yang mengadopsi mereka. Benci karena harus berpisah dengan keluarga panti yang sudah merawat dan membesarkan mereka selama sepuluh tahun lamanya. Hera benci perpisahan, ia sangat benci itu. Lagi, perpisahan itu terjadi ketika hujan turun mengiringi kepergian mereka meninggalkan panti.

Tujuh tahun setelahnya, kematian tak dapat disangkal kedatangannya. Orang tua angkat mereka, Ratna dan Dipo Atmaja meninggal dalam kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi. Tidak ada yang selamat dalam kecelakaan itu. Termasuk sepasang suami istri itu yang juga turut berpulang kepada Sang Pencipta bersama 200 penumpang, pilot, dan para awak pesawat lainnya. Rintik hujan turun membasahi bumi, seolah semesta turut berduka atas kesedihan dua orang anak kembar yang untuk kedua kalinya kehilangan sosok orang tua.

" Itu air mata atau air hujan? "

Hera menolehkan kepalanya ke sumber suara. Tepat di belakangnya berdiri sosok laki-laki dengan tubuh yang berbalut pakaian casual. Laki-laki itu menyodorkan sapu tangan merah marun miliknya. Mengisyaratkan gadis itu untuk menerima uluran sapu tangannya melalui isyarat mata tenangnya.

Hera tersenyum dengan air mata yang masih mengalir deras membasahi pipinya. Di depan Galang dan Huda ia tak perlu terlihat kuat. Laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya itu sudah tahu seberapa rapuh dirinya. Cukup ia bermuka dua di depan teman-temannya tapi tidak di depan kembarannya dan Galang.

" Menurut Bang Galang? " tanya balik Hera seraya menerima uluran sapu tangan Galang.

" Air mancur. "

Hera tertawa sumbang.

" Gak jelas banget sih. Gak nyambung sama pilihannya tau. "

Galang ikut tertawa, tak apa dipandang tak jelas oleh gadis di hadapannya ini. Asal bisa membuat gadis itu tertawa ia tak masalah jika dirinya harus dijadikan bahan lelucon sekalipun.

Stalker Fifty Meter [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang