Chapter 11

346 29 6
                                    


••• AFTER MEET YOU •••

Sesuai dengan keputusannya. Kanya akan menemui Bryan di tempat biasa mereka sering menghabiskan waktu bersama. Dalam perjalanan, Kanya menerka-nerka hal apa yang akan dilakukan Bryan setelah memutuskan hubungan dengannya. Kanya takut kejadian kemarin terulang kembali. Dan Arga yang menjadi sasaran laki-laki itu.

Sampai di kafe bernuansa modern yang berada di tengah ibu kota, Kanya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kafe itu. Tepat sekali, Bryan sudah menunggu di meja nomor 23.

Kanya menarik kursinya dengan perasaan tidak tenang. Bryan menatapnya kebingungan.

"Kamu mau bicara apa?"

"Kamu janji dulu jangan marah?"

"Kenapa?"

"Janji dulu sama aku, mau?" Kanya mengulangi perkataannya lagi.

Akhirnya Bryan mengangguk pasrah. "Iya, apa?"

Sungguh Kanya takut sekali mengatakannya. Seolah tengggorokannya tercekat untuk mengeluarkan kata-kata. Bayangan mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya, Kanya harap itu benar-benar tidak terjadi. 

Kanya menunduk pasrah. Ia tak berani untuk sekadar melihat wajah laki-laki itu.

"Aku mau kita ..."

"Hmm?"

"Kita ... putus." Dengan campur aduk perasaan saat ini, akhirnya kata-kata itu terlontarkan dari bibirnya.

Detik kemudian suara hantaman meja dipukul terdengar nyaring di seluruh penjuru ruangan. Emosi Bryan sangat tidak bisa dikontrol. Ia betul-betul marah. Bagaimana tidak marah, jika seseorang yang kamu sayangi memutuskan hubungan secara sepihak?

"Kenapa, Kanya?" Bryan bertanya dengan nada tinggi. Hampir semua pengunjung kafe memerhatikan mereka dengan berbagai macam tatapan yang sulit diartikan.

Kanya mengangkat kepalanya untuk menatap Bryan. "Maaf. Tapi aku mau mulai hijrah."

"Bohong! Karena dia, kan?" Bryan kembali menatap lekat-lekat gadis itu. Lebih tepatnya mengintimidasi.

Kanya secepatnya menggeleng. Ia tahu yang Bryan maksud adalah Arga. Tetapi Bryan tak sepenuhnya salah, sebab Arga lah yang membuatnya perlahan berubah. Berubah menjadi lebih baik.

"Bukan, Bryan! Aku baru sadar selama ini hubungan kita nggak baik." Kanya semakin melirihkan ucapannya. Matanya berkaca-kaca sambil mengingat semua kenangan bersama laki-laki itu.

"Alasan! Bilang aja lo suka kan sama dia?" Bryan mengubah aku-kamu menjadi lo-gue kepada gadis itu. Ia mendorong kursinya ke belakang dengan keras sambil menunjuk-nujuk Kanya dengan penuh amarah.

Kanya tidak terima diperlakukan seperti itu. Ia pun ikut berdiri berhadapan dengan Bryan. "Aku mau kita putus secara baik-baik. Tadi kamu bilang nggak akan marah ..."

"Apanya yang baik-baik? Hah? Lo sendiri yang berubah!" Laki-laki itu langsung menyambar perkataan Kanya cepat.

"Ini hidup aku. Aku bebas menentukan ke arah mana kehidupanku ke depannya." Kanya menjeda ucapannya sebentar, menarik napas panjang-panjang, lalu mengatakan, "dan ini adalah jalan terbaik."

"Jalan terbaik biar kamu bisa bebas sama dia, iya?"

Kanya semakin geram karena Bryan terus menuduhnya yang tidak-tidak. Apa ia salah dengan keputusannya? Apa ia salah berubah menjadi lebih baik?

Tidak. Gadis itu tidak salah. Hanya saja Bryan belum menerima kenyataan pahit secara tiba-tiba. Tetapi tidak seharusnya juga Bryan bersikap seperti itu pada Kanya, yang sudah menjadi mantan kekasihnya, kalau dia lupa.

"Dasar perempuan kegatelan!" Dengan lantangnya, Bryan mengucapkan itu tanpa merasa bersalah sedikit pun. Tak bisa dipungkiri, para pengunjung kafe masih menonton drama mereka. Sebab Bryan masih terus menjelekan nama baik Kanya.

"Jaga bicara lo! Gue nggak sehina yang lo tuduh!" Kanya sudah tidak bisa menahannya lagi. Ia ikut terbawa emosi. Bagaimana tidak? Laki-laki itu berbicara yang sangat menyakitkan bagi seorang perempuan.

Bryan seperti tersentak mendengar gaya bicara Kanya. Tampak sekali keterkejutan di raut wajahnya.

"Kok kamu jadi gitu? Jadi dia bawa pengaruh buruk sampai berani bentak aku?" Entah tersambar apa, Bryan mengubah gaya bahasanya lagi.

"Terserah ya kamu bilang apa, tapi aku mau kita udahan." Kata terakhir yang Kanya ucapkan. Bryan masih menatapi kepergian Kanya dengan kesal. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya. Menghembuskan napas dengan kasar, lalu berniat akan membalas semua rasa sakit hatinya.

Tetapi bukan pada Kanya.

_____________

Gemerlap cahaya bintang seolah menemani kesedihan Kanya saat ini. Gadis itu termenung di balkon kamar dengan matanya sedikit sembap. Makanan yang dibawakan maminya tergeletak begitu saja di atas meja. Tak mempunyai selera sama sekali, walaupun itu adalah makanan kesukaannya. Ia lebih memilih memandangi cakrawala sambil bergelut dengan pikiriannya.

Sejujurnya Kanya sendiri belum sepenuhnya ikhlas atas keputusannya. Ia masih ada rasa pada mantan kekasihnya itu. Tetapi, itu semua dulu. Kanya harus mengubur rasa itu dalam-dalam.

Suara notifikasi pesan membuyarkan lamunan Kanya dan kembali kepada dunia nyata. Sedikit membuat terkejut karena nama pengirim pesan itu.

Bryan Byantara
Kamu nggak akan bisa lepas dari aku, Kanya.
Suatu saat, kamu akan kembali.
Camkan itu!

Awalnya Kanya ingin mengabaikan message itu, namun ia teringat akan sesuatu.

Arga.

Tepat sekali. Memorinya kembali berputar pada kejadian sore kemarin. Sangat jelas dalam ingatannya pukulan Bryan pada Arga. Ia takut hal itu akan terulang.

Kanya buru-buru menghubungi nomor ponsel Arga. Setidaknya untuk memastikan bahwa laki-laki itu baik-baik saja. Beberapa saat kemudian, terdengar gusaran suara dari seberang telepon.

"Kak, lo di mana?" Kanya langsung menodong Arga dengan pertanyaannya. Ia memang tak suka basa-basi jika dalam keadaan genting seperti ini.

"Assalamualaikum." Justru sebaliknya, Arga malah membentulkan kesalahan Kanya.

"Iya, waalaikumussalam. Jawab cepet!"

Dari seberang sana, Arga tak begitu mengerti mengapa tiba-tiba gadis itu menelpon dan menanyakan hal demikian.

"Di rumah ... kenapa?" jawabnya terkesan santai.

"Are you okay? Nggak di apa-apain kan?"  Kanya bertanya lagi, tanpa menjelaskan dengan detail maksudnya.

"Kamu kenapa sih?" Arga sungguh heran dengan sikap Kanya. Sebenarnya ia sudah menduga kalau hubungan Kanya dengan kekasihnya sudah berakhir, makanya gadis itu over protektif. Tetapi, Arga sama sekali belum berani menanyakan hal itu, sebelum dia yang bercerita dengan sendirinya.

Pembicaraan mereka berlanjut hingga Kanya bercerita kejadian mencengkram tadi. Sesekali Arga menanggapi gumaman saja, dan sesekali memberi nasihat. Kanya tidak bisa memendam semuanya sendirian, itu akan membuat tingkat stresnya bertambah. Dengan begitu, mungkin Arga bisa membantunya. Bukankah awal dari semua ini dia sumbernya?

Tidak. Kanya tidak menyalahkan Arga. Justru ia sangat berterima kasih sebab mau menuntunnya ke jalan yang benar. Beberapa kalimat motivasi yang Arga berikan masih terus mengitari pikirannya. Salah satunya seperti ini, "Hidayah itu datang bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Kamu bisa berdoa dan meminta hidayah-Nya. Saya hanya perantara sesama saudara muslim untuk saling mengingatkan. Selebihnya, saya nggak punya hak apapun."

Gadis itu merasa bahwa papinya mengirim dia ke SMA itu bukan tanpa alasan. Kanya baru mengerti semuanya sekarang. Terkesan lamban memang, tetapi tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik bukan?

~Bersambung~

After Meet You [ REVISI SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang