•••AFTER MEET YOU•••
Terkait tentang perjodohan, Arga hanya bisa berdoa yang terbaik. Allah memang sebaik-baiknya perencana, tetapi manusia juga perlu ikhtiar. Sejak saat itu, Arga menyiapkan ilmu pra nikah.
Ibarat katanya, kamu akan pergi ke suatu negara. Maka sebelumnya, sudah pasti dipersiapkan dengan baik, bukan? Begitu juga dengan pernikahan. Harus ada persiapan ilmu, melatih mental dan fisik. Bagi Arga, pernikahan harus benar-benar sebagai sarana meningkatkan ibadahnya. Mendekatkan diri kepada Rabb-Nya. Maka siapa pun perempuan itu, yang terpenting baik agama dan akhlaknya. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memerintahkan seperti itu?
Arga pernah menghadiri suatu kajian bertemakan Mempersiapkan Keluarga Bahagia. Apabila seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Bukannya Arga tak ingin ibadahnya sempurna, tapi Arga harus memikirkannya secara matang.
"Kamu beneran setuju?" Lagi-lagi Aira bertanya hal yang sama sejak kemarin.
Arga membuang napasnya perlahan. Menutup laptop berwarna hitam itu. Kemudian, menatap Aira sambil mengangkat kedua bahunya.
"Saya belum ambil keputusan."
"Ayolah, Ar. Ini zaman modern, bukan zaman Siti Nurbaya lagi!" Aira terus mengoceh demikian.
"Seharusnya laki-laki itu memilih bukan dipilih. Kamu aja nggak kenal siapa dia, latar belakang keluarganya, ..." gerutu Aira sambil berdecak kesal, "kan masih banyak perempuan yang udah lama kamu kenal, kamu tahu babat, bibit dan bobotnya, termasuk—"
"Termasuk kamu?" potong Arga tepat sasaran.
Mendadak Aira bungkam. Tak lagi melanjutkan kalimatnya. Beberapa detik keadaan hening, baik Arga maupun Aira hanya menatap kosong. Seolah waktu berhenti sejenak.
Dari penuturan Aira memang sudah kelihatan. Arga pun paham maksud arah pembicaraan Aira. Sejak dia tahu bahwa Arga akan dijodohkan, Aira seolah tak terima. Setiap hari selalu menanyakan tentang hal itu.
"Eum ... bukan begitu juga," elak Aira berusaha menetralkan mimik wajahnya. Perempuan itu pura-pura membuka ponselnya yang tidak ada tanda notifikasi apa pun sebagai peralihan fokus.
"Aira," panggil Arga. Namun, Aira tetap tidak menoleh. "Dari kecil kamu itu saya anggap adik sendiri. Jangan pernah berubah, ya?"
Tangan Aira berhenti dari menscroll ponselnya. Tatapannya hampa. Rasa yang selama ini tumbuh ternyata tak terbalaskan. Adik? Ya, bukankah dari dulu memang seperti itu? Mungkin dirinya saja yang sudah berharap lebih.
Arga bangkit sambil memasukan laptopnya ke dalam ransel. Sebelum Arga benar-benar pergi, dia melirik ke arah Aira sebentar yang masih membuang muka.
"Assalamualaikum," ucap Arga, kemudian beranjak meninggalkan perempuan berhijab abu itu.
"Waalaikumussalam," jawab Aira lirih.
Setelah derap langkah sudah tidak terdengar lagi, Aira menunduk sendu. Sekuat apa pun ia bertahan, tapi tetap saja tak mampu mengalahkan. Aira tahu, dirinya hanya sebatas adik kecil yang tak pernah dewasa di mata Arga. Seharusnya rasa itu dicegah sejak awal agar tidak berkembang hingga menginjak dewasa. Tapi Aira bisa apa selain menerima keadaan?
_____________
Setiap jiwa memiliki kesamaan.
Ia akan dipertemukan dengan mereka yang memiliki satu tujuan.Kanya membaca sebuah kutipan buku Perempuan Teduh yang ia beli kala itu. Benar memang, di saat pemahaman tentang menjalani hidup berubah, maka otomatis kita akan mencari mereka yang satu visi. Satu tujuan.
Contohnya seperti Kayla dan Nabila. Ketika Kanya sudah memantapkan hati untuk berhijrah, seakan mereka datang begitu saja, padahal sebelumnya bagaikan orang asing.
Kanya menatap punggung kedua sahabatnya yang sedang mengerjakan tugas. Berhubung Kanya sudah selesai lebih dulu dan di kelas tidak ada guru, jadi dia bisa mencuri waktu untuk membaca bukunya sebelum berganti jam pelajaran.
"Kemarin Kak Arga jadi dateng?" tanya Nabila membalikan tubuhnya ke hadapan Kanya. Karena posisi tempat duduk Kanya tepat di belakang meja Nabila dan Kayla.
Mereka berhalangan hadir di acara kemarin. Keduanya sudah menjelaskan alasan yang tepat dengan Kanya, dan Kanya pun dapat mengerti.
Kanya mengangguk, tak semangat sekadar menjawab, Ya, atas pertanyaan Nabila.
Mendengar itu, Kayla juga ikut membalikan tubuhnya. Mereka memandangi Kanya dengan penuh curiga, sebab tak ada ekspresi apa pun di wajahnya.
"Dia dateng, tapi ... sama perempuan, katanya temen masa kecilnya."
"Siapa?" sahut Nabila cepat.
"Kamu ... cemburu, ya?" Kayla bertanya dengan hati-hati. Mengabaikan pertanyaan dari Nabila.
Kanya langsung menggeleng. "Cuma kesel aja lihatnya, dan Kak Aira juga deket banget sama Ummi Aisyah. Kayak keluarga gitu."
Nabila terkekeh sambil menggeleng-geleng mendengar jawaban Kanya. "Kan ... Kan ..., kamu itu kalau cemburu, ya, ngaku aja, aneh kamu mah," ledeknya.
"Aku nggak berhak untuk itu." Kanya jadi teringat kata-kata yang dilontarkan kakaknya beberapa waktu lalu. And now? Kanya mengalaminya sendiri.
"Cemburu itu sifat alamiah ketika seseorang yang kita suka lebih berpihak kepada orang lain, tapi jangan jadikan cemburu kamu membenci orang itu." Kayla tiba-tiba saja berucap demikian. Mungkin, dirinya juga sedang merasakan. Bahkan kepada sahabatnya sendiri.
"Aku tahu, kamu emang nggak berhak sama sekali buat cemburu, tapi bukannya rasa itu tumbuh begitu aja? Yang penting kamu jangan terlampau cemburu, nggak baik buat kesehatan hati dan fisik," lanjut Kayla mengoreksi ucapan sebelumnya.
"Setuju!" sahut Nabila.
"Ternyata ada rasa sebelum ada ikatan resmi itu kayak makan buah simalakama. Mau maju, belum waktunya. Mau mundur, udah kepalang."
"Makanya orang-orang yang mencintai dalam diam itu pengorbanannya banyak. Salah satunya, ya, itu ... nahan rasa cemburu."
"Dan aku juga akan menahan cemburu itu, demi kamu, Kanya." Kayla melanjutkan kalimatnya dalam hati.
~Bersambung~
Part ini sedikit banget emang :(
.
Oh, ya, buku Perempuan Teduh karya bang @haruntsaqif itu rekomend banget, sih.Bukunya bagus banget buat muslimah. Aku nggak sengaja lihat bukunya yang udah ke buka di Gramedia, dan isinya luar biasa memotivasi banget.
Ini cover bukunya :
KAMU SEDANG MEMBACA
After Meet You [ REVISI SELESAI ]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Hidayah itu datang bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Seperti seorang gadis manja yang hidupnya suka berfoya-foya, Kanya Alesysia Angwen. Kelakuan gadis itu tidak bisa dikontrol lagi. Alhasil, kedua orang tuanya memaksa...