Suara riuh tepuk tangan dominan di dalam sebuah ruangan kedap suara. Gadis yang meneriakkan mosi tidak percaya menjadi alasan tepuk tangan itu tercipta. Kamera yang disorot padanya kian membuat gadis itu tersenyum bangga. Hingga ia duduk kembali dan seorang lelaki berkacamata tebal berdiri dan mulai menyampaikan argumennya.
Lemparan pulpen yang mengenai kepalanya menarik paksa gadis tersebut dari alam mimpinya. Ia berdecih sebal, sangat jarang ia mendapatkan mimpi seindah itu namun dirusak begitu saja oleh manusia kurang kerjaan. Ia menoleh cepat menantang si pelaku lewat tatapan. Ia bukanlah gadis yang suka meladeni manusia semacam itu. Namun menurutnya ini sudah melewati batas. Ia menarik senyum tipis, senyum yang awalnya biasa-biasa saja lama kelamaan membentuk sebuah senyum sinis. Beberepa detik senyum itu terbentuk hingga ia mengangkat jarinya tengahnya lantas mengerakkan bibir. "Banci."
"Hantu ini rupanya pintar mengumpat."
Gadis itu mengedarkan pandangan, sunyi. Ia lantas berdiri dengan kasar hingga meja dan kursi berdecit. Ia berjalan mendekati kerumunan lelaki itu dengan ekspresi yang tak terbaca. "Selama ini gue diam bukan berarti gue biarin kalian ini seenaknya nginjak-nginjak gue. Kalian ini punya masalah apa, sih sama gue? Gue bahkan nggak tahu jelas lu siapa karena memang gue bodoh amat dengan kalian. Dan kalian ... kalian malah seenak jidat seret-seret gue sebagai bahan bercandaan padahal kita ini nggak akrab. Itu nggak lucu! Kalian nggak tahu malu."
"Seriusan amat lu jadi cewek, orang kita cuma bercanda."
"Silahkan bencanda tapi jangan jadiin gue sebagai bahan bercandaan!" balasnya yang sedikit memekik.
Salah seorang lelaki yang sedari tadi berdiri sebagai pendengar maju selangkah. "Diam aja deh. Bukannya hantu memang lebih banyak diam? Berperilaku lah sebagai mana mestinya."
Dengan kening yang dikerutkan gadis itu menatap mereka satu persatu. "Bagi kalian gue ini hantu? Baik, kalau begitu, bagi gue, kalian hanyalah sebuah tumpukan kotoran."
Mereka kompak tersentak mendengar kalimat yang dilepas gadis itu. Salah satu dari mereka hendak maju namun terhenti saat bel berbunyi.
Siswa dan siswi berkerumunan memasuki kelas termasuk tiga orang gadis yang kini berjalan mendekati mereka.
"Keknya obrolan kalian seru, nih. Lagi bahas apa?"
Salah satu dari lelaki tersebut tersenyum lebar. "Tadi kita bercanda bareng Mat."
Gadis yang bernama Mat itu dengan cepat berdecih sebal tanpa dilihat ketiga gadis itu. Ia lantas memilih mengambil tasnya dan berjalan keluar.
Ketika ia melirik jam yang melingkar di tangannya ia mempercepat langkahnya.
Saat sampai di loker, ia mengambil sebuah goodie bag dan segera berlari meninggalkan sekolah.
Free di jam terakhir sebuah nikmat tersendiri bagi Mat. Setidaknya, ia sedikit mendapatkan asupan tidur siang yang sangat jarang ia dapatkan.
Saat berada di gerbang sekolah, seorang gadis meneriakinya. Ia sangat mengenal suara itu. Dengan cepat Mat berbalik.
"Udah mau ke minimarket?" tanya gadis itu.
Mat mengangguk. "Iya, ini seragamnya udah gue bawa dari rumah. Soalnya 'kan kalau pulang ke rumah suka telat."
Gadis itu tersenyum simpul. "Kalau gitu gue balik ke rumah dulu ngambil seragamnya jadi nanti sedikit telat."
Mat mengangguk. "Nggak apa-apa. yaudah, gue duluan, ya."
Gadis berambut sebahu itu kembali melangkah menuju minimarket tempat ia bekerja.
Dia Mat, gadis bernama lengkap Matcha Adellina, gadis yang menghidupi dirinya, gadis yang berdiri di atas kakinya sendiri.
***
Salam manis dari Nurul_Asrah 💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...