To The Moon and Back

54 6 2
                                    

Hari yang panjang nan melelahkan. Baru saja, jam pelajaran berakhir meski sebenarnya seharian tak belajar. Mat berjalan memasuki kelasnya, hendak mengambil tas. Sangat berbeda dengan sebelumnya, hanya beberapa detik ia menjadi pusat perhatian sebelum akhirnya ia terabaikan, seolah ia bukan bagaian dari mereka. Namun jelas, itu jauh lebih baik.

Netranya hanya fokus ke depan saat ia menyusuri koridor, ia ikut tak peduli dengan sekitar. Kakinya terus beradu dengan lantai, pikirannya juga terus mengerayangi meski sebenarnya, semua sudah membaik.

Puncak kepalanya disentuh hingga ia tersentak kaget. Diam dalam beberapa detik, memejamkan mata, mengumpulkan nyawa, dan berbalik menerikkan nama yang tercetak sempurna di kepalanya. “JINGGA XALANGIT.”

Jauh di ujung koridor, Jingga mematung, lantas membalas teriakan itu. “Kenapa lu teriak-teriak?”

Tubuh Mat tersentak saat mendengar suara Jingga. Meski ragu, ia mencoba membuka mata. Napasnya seolah berhenti beberapa detik saat Mat membuka matanya. Tangannya ia angkat, mejadikannya sebagai penutup wajah.

Objek itu tertawa, dia mengulurkan tangan, menurunkan tangan Mat. “Pacar gue barbar juga, ya.”

Mat membuang muka lantas tertawa kecil.

Jingga yang baru saja menjadi saksi tingkah dua sejoli itu membuatnya memutar mata. “Buruan Mat, pulang.”

“Eh, biar gue yang anter,” ucap Kai, cepat.

Mat menoleh, menatap Jingga seolah mengirim telepati.

“Aish … iya, iya. Sana antar dia pulang. Jangan ngebut-ngebut, awas aja kalau sahabat gue kenapa-kenapa,” kata Jingga.

Kai mengangguk antusias lantas menarik tangan Mat. Pas, tangan lentik itu begitu pas di genggaman seorang Kai.

Jingga yang melihat itu tertawa kecil sembari bergumam. “Mengapa terlalu gampang membuat dunia menjadi panggung sandiwara, Mat? Lu bukan pelakon, kenapa hidup lu harus lu lakoni dengan seepik ini? Gue iri sama lu. Lu mengemas duka lu dengan sangat baik.”

***

Matahari berada tepat di atas kepala ketika jalanan kota Jakarta padat akan pengendara. Panasnya jelas menyegat kulit dan membuat pengendara di luar sana sibuk membunyikan klakson, mendesak orang yang ada di depannya untuk bergerak. Jelas, itu tindakan bodoh. Mata Mat tak peduli dengan hal itu karena panasnya matahari tak mencicipi kulitnya, mengingat kali ini, ia duduk manis di jok depan, di samping seorang lelaki yang mendapat gelar pacar darinya.

Obrolan ringan sedari tadi berlangsung, Mat suka itu. Ia suka dengan suara lelaki yang duduk di sampingnya. Suara itu seolah menjadi obat tak kasat mata yang menerobos memasuki hatinya, mengobati luka yang sempat tersayat hari ini. Untuk pertama kalinya, Mat bersyukur terkena macet.

“Kok bisa lu dekat sama Jingga?” Tanya Kai yang mengalihkan topik.

Mat langsung tertawa ketika mendengar pertanyaan itu, ia seolah ditarik cepat ke masa lalu, masa absurd ketika ia pertama kali bertemu dengan Jingga.

“Pokoknya pertemuan gue sama dia itu random banget. Lu gak perlu tahu karena cerita itu masuk ke dalam konteks dunia cewek yang gak boleh lu tahu. Intinya lucu banget,” balas Mat sembari tertawa kecil.

“Eh, gue nggak nyangka, lho, Jingga bagian dari Xilion,” kata Kai.

“Jangankan elu, gue aja kaget pas ke apartemennya dia, gue ngelihat teman segengnya yang mana mereka semua cowok. Oh iya, apartemen dia itu dijadiin markas sama anak Xilion,” tambah Mat yang membuat obrolan mereka enggan berakhir.

Kai hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. Mobil yang dikendarai oleh Kai berhasil keluar dari kemacetan dan kini, Kai fokus mengendarai mobilnya.

“Kai … Xilion nawarin gue masuk ke gengnya dan jujur, gue tertarik. Apa lu ngizinin gue buat masuk di geng itu,” ujar Mat.

Tak sesuai ekspetasi, Kai terlihat biasa saja saat mendengar ucapan Mat. Dia mengangguk dengan santai lantas mengulurkan tangannya, membelai lembut kepala gadisnya itu. “Mat, selama lu nggak ikut tawuran, gue izinin. Hm ... jujur, gue nggak enak saat lu minta izin segala sama gue. Gue cuma pacar lu, Mat. Gue nggak punya hak buat ngelarang-ngelarang lu.”

Darah Mat seolah berdesir cepat. Dia perlahan bersandar di pundak lelaki tersebut. “Maaf lupa. Nanti lu nggak usah ngejemput gue. Kalau shift gue udah selesai, gue mau ke apartemen Jingga. Dia yang bakalan ngejemput gue. Anak Xilion ngajak gue makan sebagai ucapan perminta maafan atas kejadian minggu lalu.”

Kembali, Kai hanya mengangguk. “Pulangnya jangan larut. Ingat, daerah lu itu rawan begal. Masih untung kalau barang lu yang dibegal, kalau hati lu yang dibegal, gimana?”

Mereka kompak tertawa, namun, saat tawa itu menggema, Kai merasakan pundaknya basah. Dengan cepat ia menoleh, melihat Jingga yang menangis tanpa suara.

Buru-buru, Kai menepikan mobilnya. Ia mengakkan badannya, menyentuh bahu Mat, lantas menuntunnya untuk menegakkan badan. “Mat … gue salah ngomong, ya? Kenapa lu nangis? Gue merasa bersalah banget. Bahkan, ketika kita saling tertawa, lu malah mengambil kesempatan dalam tawa itu untuk menangis. Jawab gue, lu kenapa?”

Mat tak menjawab, ia menatap Kai dalam, menenggelamkan dirinya di mata bulat bersih itu.

Cukup lama tenggelam di sana, Mat bergerak cepat, ia membiarkan dirinya tumbang, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya pelukan cowok tersebut. “Lu gak salah, Kai. Gue hanya menangis karena terlalu bahagia. Untuk pertama kalinya, gue mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini dari cowok, untuk pertama kalinya gue mendapatkan sandaran yang sangat pas, untuk pertama kalinya gue tertawa lepas, dan untuk pertama kalinya gue merasakan ini, merasakan kehangatan pelukan seorang cowok. Gue bersyukur cowok itu adalah lu. Terimakasih, Kai. Terimakasih sudah menjadi yang pertama.”

Kai mengelus kepala yang sepenuhnya menempel di dadanya. Cewek itu sudah pasti merasakan pacuan organnya yang kini berdetak tak karuan. “Maaf, Mat. Maaf karena terlambat datang ke kehidupan lu untuk menjadi orang pertama.”

“Kai …,” panggil Mat yang dibahas deheman oleh Kai.

“Gue mau berlama-lama merasakan ini. Jangan pergi,” pinta Mat.

Kai kembali mengangguk. “Tidak akan, Mat. Lu itu pecahan _puzzle_ yang menyempurnakan hidup gue. Kalau gue ngelepasin lu, artinya, gue membiarkan hidup gue tidak sempurna.”

“Mat …,” panggil Kai yang juga dibalas deheman.

“Gue mau lu menjadi kamus gue. Gue mau lu menjadi tempat dari milyaran diksi, gue mau lu menjadi sumber dari terciptanya jutaan kalimat yang akan mewarnai hidup gue yang abu-abu ini. I love you, to the moon and back, Diksi,” kata Kai.

Mat tak membalas ucapan itu, punggungnya bergerak naik turun, tanda bahwa tangis gadis itu kian tumpah. “Too,” balasnya tak jelas di tengah tangis.

Bersambung ....

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang