Dinginnya angin malam merembes sampai tulang. Kendaraan roda dua yang membawa seorang gadis mengurangi kecepatannya hingga angin malam tak terlalu kencang membelai. Jalan setapak yang kumuh dan bau cukup mampu mengocok perut hingga memancing makanan yang ada di sana untuk keluar. Namun, gadis itu sudah terbiasa, jalan yang ia lalui setiap hari jelas membuat hidungnya kebal terhadap bau tersebut. Sangat berbeda dengan lelaki yang memboncengnya, namun, ia terlihat berusaha menahan diri untuk tak menutup hidung. Gadis itu paham, dia sedang berusaha menjaga perasaannya.
Motor berhenti. Gadis itu turun dan menyodorkan helmnya. "Kalau gue ambil lagi helmnya, lama-lama gue alih profesi jadi penjual helm. Helm Jingga udah banyak di dalam. Jadi, minta tolong kasi ke dia."
Ia mengangguk. "Udah sana, masuk. Nyokap lu udah nungguin tuh, Mat."
Mat tersentak mendengar kalimat yang dilemparkan lelaki itu. Perlahan, ia berbalik. Jelas di netranya, seorang wanita duduk sembari menekuk kakinya di teras indekos Mat.
Mat menarik napas panjang. "Yaudah, mending lu pulang. Ini udah tengah malam."
"Gue yang nganter lu, jadi lu bagian dari tanggung jawab gue mengingat lu sudah bagian dari Xilion. Habis ngelihat lu masuk, gue bakal pulang," balasnya sembari tersenyum di balik helm.
Mat dengan cepat menggeleng. "Udah, lu sana pulang. Gue bakal masuk kalau udah lihat lu pulang."
Mata milik Mat jelas mampu dibaca oleh Albi. Mata yang penuh permohonan. Ia lantas mengangguk dan menyalakan motornya. "Yaudah, gue pulang, ya."
Gadis itu membalasnya dengan anggukan.
Perlahan, motor itu melaju, meninggalkan Mat yang berdiri di depan pagar. Albi sudah menghilang dari pandangannya. Ia bergegas masuk ke indekosnya, melewati wanita yang terlelap dalam keadaan duduk.
Dia membuka pintu, menciptakan suara decitan yang membuat wanita itu sadar dari tidurnya. Ia mengangkat wajah, menatap gadis yang melemparinya dengan tatapan tak bersahabat.
Mat mengulum bibirnya lantas memutar mata sebal. "Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Di sini, saya nungguin kamu dari sore sampai sekarang. Kamu dari mana baru pulang jam segini?" Bukannya menjawab pertanyaan Mat, ia malah balik bertanya.
"Wajahmu hampir saja saya lupa. Tapi, kebiasaanmu yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, sama sekali tidak saya lupa," ucap Mat dengan suara beratnya.
"Jawab pertanyaan saya. Darimana kamu?" ulangnya.
"Kemanapun saya pergi itu terserah saya. Saya yang menjalani hidup saya sendiri, membiayai hidup saya sendiri, kamu tidak memiliki hak untuk menanyakan kemana saya pergi," jawab Mat yang membuat wanita paruh baya yang ada di hadapannya terlihat menahan emosi.
Wanita itu mengangguk. Dia menarik tangan Mat. Mat yang merasakan tangannya ditarik dengan cepat menyentaknya. "Ada apa lagi? Jika tujuan kamu datang untuk membawa saya ke keluarga kamu, sudah jelas saya tidak mau. Tiga tahun menelantarkan saya dan baru kembali ketika saya sudah bisa beradaptasi dengan sendiri. Perlu kamu ketahui. Saya sangat baik-baik saja tanpa sosok orangtua, tanpa sosok ibu semacam kamu."
Dengan cepat, wanita itu melemparkan tawa sinisnya. "Baik-baik saja? Karakter kamu jauh dari kata baik-baik saja. Mana sopan santunmu terhadap orangtua? Kamu bahkan tidak bisa menyaring kalimatmu. Itu yang kamu katakan baik-baik saja?"
"Saya sangat baik-baik saja. Hidup saya sudah sangat tentram. Mengapa kamu harus kembali sekarang? Ketika saya sudah perlahan lepas dari kegelapan dan menemui titik terang, kenapa kamu datang dan hendak menyeret saya ke kehidupan gelap itu? Kembali saya pertegas, semenjak kamu dan lelaki yang pernah saya panggil ayah dengan egois membiarkan saya tinggal sendiri, pada saat itu pula saya sudah tidak memiliki orangtua. Raga kalian memang masih hidup, tapi jiwa kalian, hati nurani kalian mati. Saya sudah yatim piatu," jelasnya panjang lebar dengan sedikit berteriak.
Mat menarik napas panjang. "Oh, tadi kamu menyinggung sopan santun, ya. Baik, saya akan menunjukkan sopan santun saya ke kamu sebagai kalimat penutup. Ibu Drea Adella, sebaiknya Anda pulang karena sudah tengah malam. Pasti suami dan anak Anda nungguin di rumah. Soalnya, saya juga capek, mau istirahat."
Mat sama sekali tak menunggu respon wanita itu. Ia memilih memasuki rumahnya saat kalimatnya telah sampai.
Wanita itu diam. Matanya berkaca-kaca. "Matcha ... kenapa kamu selalu menyalahkan saya atas kejadian itu? Padahal, satu-satunya orang yang berhak disalahkan adalah ayahmu. Apa selamanya kamu bakal menghakimi saya atas kesalahan yang tidak saya perbuat?"
Mat menghentikan langkah. Ia berbalik dengan cepat. "Apa melempar kesalahan akan memulihkan keadaan? Saya saksi kehancuran hubungan kalian. Dan jelas, kalian berdua salah. Mengapa terlalu hobi membersihkan nama jika kalimat maaf bisa sedikit menghilangkan noda di diri kamu. Apa pernah kamu minta maaf di saya akan kesalahan kamu? Tidak pernah bukan. Ayah, ayah, dan ayah, hanya dia yang salah katamu. Saya muak dengan itu. Jangan temui saya lagi, saya senang tiga tahun ini kamu tak muncul, ketika kamu muncul, hidup saya terasa ditutupi tirai hitam karena kembali teringat wajahmu. Kelam. Oh ... maaf, harusnya saya berkata sopan. Ini sebagai kalimat sopan yang benar-benar terakhir Anda dengan dari bibir gadis tak tahu sopan santun ini. Saya, benci nama saya, saya benci hidup saya, saya benci dilahirkan dari rahim Anda, saya benci pernah besar di keluarga Anda. Dan saya benci hari ini. Saya mohon dengan sangat terhormat kepada Anda, tolong ... jangan pernah muncul di hadapan saya."
Wanita itu diam dan menunduk, bibirnya bergetar, dan pipinya kini banjir air mata. "Maaf, Matcha Adellina." Kalimat itu ia lepaskan, kalimat yang tiga tahun lalu juga ia lepaskan dengan samar, sama seperti sekarang. Kalimat samar yang hanya mampu ia dengar sendiri. Kalimat yang tak pantas ia lemparkan kepada gadis yang telah menghilang dari hadapannya. Sebab, ia tak pantas mendapatkan maaf.
Hanya berjarak kurang lebih lima meter dari sang ibu, yang membuatnya tak saling menatap hanya karena dibatasi pintu. Gadis itu merosotkan tubuhnya di lantai. Gilirannya, ia menekuk lutut, membiarkan tubuhnya bertumpu di sana. Dia tak menangis, namun tubuhnya bergetar hebat. Ia kembali menghadapi konflik batin, konflik terbesar yang sangat ia benci.
Indra pendengarannya perlahan mendengar derap langkah yang menjauh, derap langkah yang semakin menghilang. Menit berikutnya, ia berteriak, menangis hebat, meluapkan emosi yang melukainya dari dalam.
Memukul lantai, menjambak rambut, berteriak sepuasnya, bodoh amat dengan penghuni sebelah yang mungkin bangun dari tidur lelapnya dikarenakan ulahnya.
Pintunya diketuk. Ia diam sejenak dan berteriak. "Kenapa kembali? Mau melihat saya hancur? Saya menahan luapan emosi saya sebelumnya hanya karena tidak mau kelihatan hancur di hadapan kamu."
"Ini gue, Mat. Mat ... buk—" ucapan lelaki itu terpotong saat gadis yang dalam keadaan kacau itu membuka cepat pintu dan langsung memeluk tubuh lelaki tersebut.
Ia diam, speechless menerima reaksi cepat dari gadis tersebut. Dia mengerti, dia sering menjadi saksi kekacauan seseorang. Tangannya perlahan terangkat menepuk pelan pundak gadis tersebut. "Luapkan semuanya, menangis sepuasnya. Tapi, berjanjilah, ini kali terakhir lu menangis karena mereka. Ok."
Sangat pelan, Mat mengangguk. Tangisnya benar-benar pecah dalam pelukan lelaki tersebut. Ia benar-benar tak peduli dengan respon tetangganya yang sudah pasti sibuk menguping.
"Besok hari yang indah. Jangan sambut hari esok dengan kesedihan. Besok lu harus bahagia, Mat," ucapnya pelan, mengalirkan semangat kepada gadis yang bernama lengkap Matcha Adellina.
Bersambung ....
![](https://img.wattpad.com/cover/202375051-288-k208941.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...