Menangis Itu Manusiawi

25 2 0
                                    

Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sini. Biasanya, ia hanya perlu mengirimkan pesan dan menunggu di kursi taman hingga seorang lelaki paruh baya menemuinya, namun kali ini berbeda. Ia memberanikan diri menginjakkan kaki dan membiarkan tangannya memencet bel rumah besar dominan putih itu. Ia jelas melanggar janji untuk dirinya sendiri, ia pernah berjanji untuk tak menyentuh apapun lagi yang berkaiatan dengan lelaki itu,namun emosinya mengalahkan segalanya.

Pintu terbuka dan menampakkan seorang gadis yang bisa Mat tebak bahwa itu anak si lelaki tersebut. “Ayah kamu, mana?”

Gadis itu terlihat bingung dengan keberadaan Mat namun beberapa detik kemudian, bibirnya terangkat membentuk senyum di wajah mungilnya. Untuk pertama kalinya Mat membenci sebuah senyum dan enggan membalasnya. Bagaimana tidak, senyum itu mirip dengan senyumnya dan si pemilik senyum itu menjadi salah satu hasil dari ke kacauan keluarganya.

Sebuah suara yang sudah sangat lama tak masuk di indra Mat terdengar membuat ia mengalihkan pandangan dari gadis mungil tersebut. “Yang datang siapa Adellina?” tanya seseorang yang berjalan mendekati pintu.

Mata Mat membesar dua kali lipat seolah ingin lepas dari tempatnya mendengar nama gadis tersebut. Sama seperti Mat, lelaki yang muncul itu sama juga ikut terkejut.

“Namanya Adellina?” tanya Mat tanpa basa-basi.

Lelaki itu terlihat gelagapan dan cepat-cepat mendekati gadis mungilnya. “Adel ke kamar dulu ya, Sayang, ayah mau bicara sama kakak.”

“Saya bukan kakaknya,” celetuk Mat.

Adel berjalan menuju kamarnya dengan ekspresi bingung. Benar-benar gadis yang penurut.

“Masuk dulu, kita bicaranya di dalam,” ajaknya.

Mat menggeleng cepat. “Berdiri di sini saja sudah membuatku susah bernapas apalagi masuk ke dalam rumahmu.”

Lelaki yang notabenenya adalah ayah Mat itu  diam, bersiap mendengar ucapan putrinya tersebut.

“Dulu, sebelum saya mengganti nomor telepon saya, kamu selalu bertanya mengenai keadaan saya. Baiklah, dengarkan semuanya baik-baik. Dari tiga tahun yang lalu, saya hidup dengan uang saya sendiri, bekerja hingga larut malam demi biaya hidup saya. Saya sama sekali tak mendapatkan kasih sayang dari orang lain, saya tidak punya orangtua dan juga tak punya teman. Saya selalu menjadi target bullying dan yang paling menyakitkan, saya ditusuk dari belakang. Saya sama sekali gak punya tempat yang bisa disebut rumah sebagai tempat mendapatkan kasih sayang. Kos saya hanya sebatas tempat untuk melampiaskan emosi dan melukai diri setelah meredam semuanya di sekolah. Dulu saya selalu bertanya, rumah itu apa? Tempat mana yang bisa saya sebut rumah? Tapi, hidupku berputar setelah saya mendapatkan satu orang gadis yang benar-benar saya sebut sahabat dan satu orang lelaki yang setia menjadikan pundaknya tempatku bersandar. Bebanku perlahan meluruh dan saya perlahan merasakan yang namanya kasih sayang. Tapi, kenapa kamu datang dan hendak menghancurkan hidupku kembali?”

“Maksud kamu?” tanya Ayah Mat.

“Kamu pernah mendengar sebuah kalimat, ‘coretan pintu toilet adalah sebuah fakta yang tak mampu dilepaskan oleh mulut?’ Sudah pasti tidak, sekalipun tahu, kamu jelas tak akan peduli. Di coretan itu aku kembali terpojokkan karena latar belakang hidupmu. Mucikari, bukannya itu kerjaan kamu? Aku kembali mendapatkan cap sebagai anak mucikari, mulai hari ini saya hanya bisa berdiri melihat diriku yang perlahan akan hancurkan karena latar belakang orang yang membuangnya,” tambah Mat.

“Jangan mengada-ada, Mat. Itu semua dulu, saya tahu itu salah, jadi saya lepas dari kerjaan itu. Saya sudah mendapatkan kerjaan yang jauh lebih baik dan tentu saja halal.”

“Apa pedulinya orang-orang tentang dulu? Yang jelas kamu pernah melakukan pekerjaan itu dan berimbas ke saya.”

“Tapi demi Tuhan, saya sudah berhenti dari pekerjaan itu,” balas Ayah Mat.

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang