Berjalan meninggalkan parkiran dengan dress hitam selutut dan sepatu flat cukup membuat seorang gadis terlihat sangat anggun. Jangan tanyakan dimana dia mendapatkan gaun tersebut. Semua itu ia dapatkan dalam bentuk kado di saat ulang tahunnya, memang, mendadak lemarinya mendapatkan fungsi mengingat selama ini ia hanya memiliki beberapa pasang baju namun berkat kado dari teman gengnya lemarinya sungguh diramaikan.
Wajah gadis itu datar karena ia tak mengerti mengapa sahabatnya membawanya ke sini. Jujur saja, ia terlihat sangat pendek berdiri di dekat gadis itu, gadis yang rambutnya terurai membuat ia sangat manis, tubuh jenjangnya dibalut dengan dress merah muda yang juga selutut, meski berbadan tinggi, ia masih mengenakan sepatu berhak tinggi membuat ia kian menjulang tinggi.
Mereka sama-sama memasuki sebuah restoran bernuansa modern. Mereka langsung di sapa dan dibawa menuju sebuah meja oleh seorang yang bisa ditebak bahwa ia adalah salah satu pelayan di restoran tersebut.
Sebuah senyum hangat menyapa keduanya. "Selamat ulang tahun, Matcha Adellina. Maaf kita telat ngucapinnya, Papinya Jingga sibuk banget di perusahaan pas kamu ulang tahun, Sayang," ucap seorang wanita paruh baya.
Mat diam beberapa detik hingga akhirnya ia mengangkat tangannya, menutupi wajahnya yang telah dihiasi oleh Jingga sebelumnya. Ia tak menangis karema sedih, melainkan bahagia, bagaimana tidak, berkat Jingga, untuk pertama kalinya ia mendapatkan kejutan ulang tahun bersama anak Xilion tepat di jam 12 dini hari, berdoa dan diaminkan oleh banyak orang, memotong kue lalu menyuapi banyak orang, dan sekarang ... ia mendapatkan sebuah kejutan yang amat menyentuh hatinya, kejutan dari kedua orang tua Jingga, sungguh, sebuah hal yang tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya selama berada di dunia.
Jingga menepuk pundak Mat lalu membawanya untuk duduk. Jingga lantas berkata, "Jangan nangis, hargai maskara, eye liner, dan eyeshadow lu. Kan kasian kalau luntur."
Mat mengangkat wajah, menghapus sisa air matanya. "Saya benar-benar terharu, Om, Tante. Saya benar-benar ngerepotin keluarga Om dan Tante. Tinggal di apartemen Jingga, sekolah dibiayain Pak Orion, Om dan Tante masih sangat baik sama saya. Makasih, banget," ucap Mat.
Nandi— wanita paruh baya, mami dari Jingga yang bernama lengkap Senandika Jasmine— meraih tangan Mat, lantas mengelusnya dengan pelan. "Tante malah bersyukur banget karena kamu sudah mau tinggal sama Jingga, kamu sudah saya anggap keluarga sendiri. Gak usah nangis lagi, kalau sama kita kamu hanya boleh bahagia, oke?"
Mat membalas senyum hangat yang dilemparkan wanita itu. Dia lantas menyebarkan pandangan, menatap seisi restoran yang dalam keadaan kosong. Ia tak perlu bertanya mengapa restorannya kosong karena sudah pasti, restoran ini mereka booking hanya untuk merayakan ulang tahun Mat.
Sebuah lilin angka 19 yang berada di atas kue red velvet baru saja dinyalakan. Angkasa memberi instruksi untuk meniup lilinnya, gadis itu terlihat menutup matanya beberapa detik lantas meniup lilin tersebut. Mereka kompak bertepuk tangan.
Seolah paham dengan situasi, makananpun datang. Mereka kompak memakan makanan yang telah tersedia dengan sesekali tertawa dan berbincang, khas keluarga yang hangat.
Mat mendapatkan semuanya. Ia bersyukur dan sudah percaya, dunianya berputar. Dan perlu diketahui, semua orang akan merasakan bagaimana dunia itu berputar di waktu yang tepat. Tak perlu memaksakan dunia berputar karena secara perlahan ia bergerak dan membiarkan kita untuk merasakan nikmatnya secara pelan. Benar, Tuhan Maha Adil, ia mendatangkan luka untuk membuat kita bersyukur dengan segala hal termasuk hal-hal kecil. Seperti Mat sekarang, ia tersenyum hanya karena mendapatkan sebuah pertanyaan, "Bagaimana sekolahnya, lancar?" Pertanyaan, yang sangat sederhana membuat dadanya menghangat.
Mat tersenyum membuat matanya ikut melengkung. "Lancar, Om."
***
Pintu apartemen terbuka. Sebuah makhluk berkaki empat menyambut dengan mata birunya yang berbinar. Di lehernya terdapat sebuah nama yang diyakini nama dari makhluk itu.
Mat berjongkok, mengelus bulu halusnya. "Louis." Ia membaca nama yang tertulis di kalungnya.
Senyum Mat terangka karena langsung tahu pemberi makhluk ini. Sebuah kotak terletak di dekat pintu, buru-buru, Mat membukanya. Di antara banyaknya barang, terdapat sebuah kertas berwarna hijau. Sontak, Mat mengambil kertas itu dan membacanya. "Gue tahu, lu marah karena gak gue kasi kado pas lu kejutan kemarin, ini gue kasi kucing biar bisa lu jaga dan ngajarin lu bertanggung jawab, sekalian udah gue kasi perlengkapannya. Lu tahu, kan dia majikan gue yang gue rawat dan besarkan seperti anak sendiri. Jadi, jaga baik-baik, jangan sampai Baginda Louis sakit," isi surat itu.
Mat menggeleng dengan senyum yang masih terangkat. "Albi Si Tai emang beda dari yang lain."
Jingga yang tadi hanya memantau berjalan memasuki apartemen dan melewati Mat dan Louis begitu saja. "Bahagia lu dikasi kucing? Itu namanya dilatih jadi babu. Selamat, lu menjadi babu dari kucing mulai hari ini."
"Lu turut menjadi babu karena kalau gue ke supermarket pas pulang sekolah lu harus pulang ngasih makan Louis. Gue gak terima penolakan," balas Mat.
Jingga dengan cepat berbalik. "En—"
"Pokoknya gue gak terima penolakan," potong Mat.
Mat melihat Jingga yang memasuki kamarnya dengan wajah ditekuk. Mat lantas mengangkat perlengkapan Louis menuju kamarnya dan seolah tahu babunya, Louis mengikuti Mat.
Setelah itu, Mat ganti baju, menghapus make-up, dan melakukan rutinitas perawatan wajahnya. Ia lantas berbaring di kasur empuknya tak lupa membawa Louis untuk ikut merebahkan tubuhnya. Bersyukur kucing tersebut tipe kucing yang pendiam dan penurut. "Louis, lu lebih suka ikan atau ayam? Kalau gue sih lebih suka Kai pacar gue."
Tak mendapat jawaban. Syukurlah jika kucing itu tak menjawab karena jika menjawab Mat bisa saja menghebohkan satu Jakarta.
"Lu lebih suka mandi atau makan? Kalau gue sih, lebih suka makan sambil mandi," kata Mat yang semakin tak wajar.
"Louis, lu tahu gak, gue bersyukur banget mengenal Albi, babu lu sebelumnya. Dia itu pernah menjadi saksi gue sehancur-hancurnya tapi dia mengemasnya dengan baik, dia nggak pernah nyeritain tentang masalah ini ke orang lain. Dia benar-benar ngehargai gue, Louis," cerita Mat.
"Lu itu disayang banget lho, sama Albi. Lu lebih disayang daripada idolnya. Dia pernah cerita, katanya, dia pernah mecahin guci karena lu gak dikasih makan seharian gara-gara satu rumah sibuk arisan. Sebegitu cintanya babu lu sama lu, Louis. Tapi ... sekarang dia ngasih lu ke gue padahal dia sayang banget sama lu. Artinya, dia percaya sama gue. Dia percaya kalau lu akan aman dan baik-baik saja di tangan gue."
"Louis, sekarang lu bakal beralih fungsi menjadi pendengar gue. Boleh, 'kan? Boleh dong. Gue lebih keren, kan daripada babu lu sebelumnya? Iya dong. Babu yang ini lebih baik pastinya. Udah, gue mau tidur, lu tidur juga ya, di sini gak ada kucing lain, apalagi tikus, jadi jangan keluyuran. Good night and have a nice dream."
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...