Lagu milik Jeremy Zucker yang berjudul all kids are depressed memenuhi Selena. Jingga terlihat menggerakkan bibir, ikut menyanyikan lagu tersebut.
“Jingga,” panggil Mat yang sontak membuat Jingga memelankan laju mobilnya. Ia tahu, sahabatnya itu ingin berbicara serius karena ia memanggilnya dengan cara yang serius.
“Lu tahu kan, coretan itu bukan hanya berisi tentang apa yang kita ributkan tadi?” ucap Mat.
Jingga hanya berdehem, menanggapi ucapan itu.
“Lu nggak bertanya mengenai kebenarannya?” tanya Mat.
“Gue nggak punya hak atas itu, Mat. Itu privasi lu dan untuk hal yang bersangkutan dengan Si Jeje, gue yakin itu juga fitnah. Selama ini, bahkan lu mau makan sereal aja lu minta izin sama gue. Mana mungkin guepercaya. Kagak lah,” jawab Jingga.
Jingga si pemilik mulut tanpa saringan saat berbiacara serius dengan Mat benar-benar mampu menjaga ucapannya, ia bahkan tak menyebutkan secara terang-terangan isi coretan itu mengingat dengan demikian, Mat akan kembali mengingatnya dan bersedih lantas berlagak sok kuat. Sayangnya, yang selama ini tertipu bukan Jingga, melainkan Mat. Jingga tahu permasalahan Mat yang difitnah mencuri, ia tahu namun berlagak bodoh demi membuat gadis itu tak terlihat menyedihkan mengingat Mat berusaha membuat dirinya kelihatan sebagai gadis yang tak lagi lemah seperti dulu. Ya, dulu sebelum Jingga dan anak Xilion datang di hidupnya.
“Lu nggak malu temanan sama gue?” tanya Mat.
“Semua orang memiliki kacamata hidup. Terserah orang beranggapan apa mengenai lu, tapi lu di kacamata hidup gue sebaik-baiknya seorang sahabat. Buat apa gue malu, coba? Gue harusnya menyesal, Mat ... menyesal karena terlambat mengenal lu. Gue bangga malah punya sahabat kek lu, lu apa adanya dan jelas, sangat kuat karena bisa bertahan bahkan saat sampai di titik paling bawah,” tambah Jingga yang membuat Mat kesususahan menahan air mata harunya.
Selena berhenti. Mat buru-buru turun dan gadis itu melambaikan tangan sebelum akhirnya kembali melaju, membelah jalanan ramai kota metropolitan tersebut.
Setelah dirasa jauh, Mat meminggirkan mobilnya dan mengirim beberapa foto ke seseorang yang sebelumnya telah ia bicarakan secara diam-diam dengan Albi melalui telepon sebelum jam pulang.
Foto diterima, Jingga kembali mendekatkan ponselnya di telinganya. Ia menggerakkan bibir tipisnya yang kini memucat. “Bang, lu masih di Jakarta, ‘kan? Gue udah kirim alamatnya, kirim sopir atau siapapun itu. Gu—” Jingga tak melanjutkan ucapannya karena kini kesadarannya telah menghilang, bahkan ponselnya telah lepas begitu saja dari genggamannya membuat orang yang berada di seberang sana luar biasa paniknya.
***
“Dek, sadar, Dek, ini Abang.” Orion telah sampai hanya dalam beberapa menit. Ia tanpa ragu memukul pintu mobil berharap adiknya itu sadar.
Sudah sepuluh menit ia memukul-mukul mobil yang tak bersalah itu namun si empunya tak juga membuka mata.
“Pecahkan saja kacanya!” ucap Orion penuh penekanan.
Sang Sopir tampak mengambil sebuah alat dari dalam mobil Orion dan memukuk kaca mobil hingga membuat orang berkerumunan karena penasaran dengan apa yang terjadi.
Kaca mobil pecah, buru-buru Orion masuk, bodoh amat dengan tubuhnya yang kini tergores. Orion kini membuka pintu mobil dari dalam dan membopong tubuh adiknya tersebut untuk keluar dan dibawa ke rumah sakit.
“Pak, tolong bawa mobilnya ke rumah, jangan di apartemennya,” pinta Orion kepada sopirnya.
Lantas, Orion membaringkan Jingga dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Abang takut, Dek. Abang takut itu terulang. Abang benci mengantar kamu ke tempat yang bernama rumah sakit, Abang takut kamu terbaring di sana. Di sana kamu hampir ninggalin Abang. Dek, bangun,” ucap Orion frustasi.
***
Jingga pernah berjanji dua tahun lalu kepada Orion untuk tak menginjakkan kaki di rumah sakit sebagai pasien. Namun, kali ini Jingga ingkar, saat ia membukamata, tangannya sudah dipasangi dengan impus dan sebuah tangan wajah familier menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan.
“Akhirnya kamu sadar juga, Dek. Abang benar-benar khawatir sama kamu. Bagaimana keadaan kamu sekarang? Apanya yang sakit? Atau kamu mau makan sesuatu, bilang aja, Abang pasti beliin.”
Jingga menggeleng pelan. “Nggak, Bang, Jingga udah baik-baik saja kok. Kayaknya cuma kecepean. Abang gak usah khawatir.”
“Iya, kata dokter kamu kecapean. Kamu habis ngapain aja? Kamu begadang mulu, ya? Kumohon, jangan bikin Abang khawatir, Dek, kamu tahu sendiri, Abang paling benci tempat ini,” ucap Orion membuat Jingga mengangkat bibirnya.
“Udah deh, Bang, Abang balik aja, katanya Abang mau pulang hari ini. Udah mendingan kok, Bang, serius deh,” kata Jingga.
Orion sontak menggeleng. “Nggak ada acara pulang sekarang. Kamu jauh lebih penting dari perusahaan.”
Masih dengan bibir pucatnya, Jingga mengangkat senyum yang amat manis. “Bagaimana mau nikah kalau adeknya pingsan aja paniknya udah kayak orang yang bininya mau lahiran.”
“Jingga ...,” tegur Orion.
“Iya, iya, maaf. Tapi, serius deh, Bang, Abang kapan nikahnya? Jingga mau punya ponakan tau,” ucap Jingga yang membuat Orion langsung gelagapan.
“Gak ada acara nikah-nikah sekarang selama kamu belum kuliah.”
“Ya ... kasian Mbak Bulenya digantung kek jemuran,” goda Jingga.
“Jing—”
“Aw, entar ponakanku blasteran Indonesia Kanada, dong,” tambah Jingga yang membuat Orion pasrah.
“Jingga ... udah, istirahat dulu. Orang baru siuman kok banyak bacot,” balas Orion yang tak mampu lagi mengelak.
Jingga perlahan menutup matanya, menuruti permintaan abangnya tersebut. Orion mendekatkan bibirnya di dahi adik satu-satunya itu, membiarkan bibirnya bersentuhan dengan dahi Jingga. “Abang pulang dulu, mau ganti baju, bentar lagi mami sama papi datang,” ucap Orion yang dibalas deheman.
***
Setelah mengetik kode, pintu apartemen terbuka. Mat langsung disambut makhluk berbulu berkaki empat yang menggemaskan. Bukan hanya itu, aroma harum dari arah dapur juga ikut menyambut seolah memberi salam manis untuk hari panjang Mat yang pahit.
Kakinya melangkah mengikuti aroma tersebut dan kini netranya menangkap sebuah punggung lebar.
“Udah datang?” Ia melemparkan pertanyaan bodoh kepada Mat tanpa menatapnya.
“Lu ngapain?” Mat membalas pertanyaan bodoh juga dengan pertanyaan yang sama bodohnya. Jelas sudah lelaki itu sedang sibuk memasak namun ia malah bertanya.
“Lagi sikap lilin,” jawabnya asal.
Mat terkekeh pelan lantas mendekati lelaki tersebut yang memasak bak koki profesional. “Masak apa kalau begitu?” tanya Mat kembali.
“Tteobokki,” jawabnya singkat namun penuh dengan semangat.
Ia mematikan api, lantas memindahkan makanan tersebut ke dalam sebuah mangkuk besar. “Udah, makan dulu. Ini masakan seorang Albi yang baik hati dan tidak sombong, dijamin enak.”
Mat duduk dan mulai memakan masakan Albi yang sebenarnya makanan khas dari negeri gingseng. Kini, air mata Mat meluruh ketika mulutnya juga sibuk mengunyah. Lelaki di hadapannya ini selalu datang di waktu yang tepat, menjadi penenang dan pemasok energi baru. Jelas lelaki di hadapannya ini tahu mengenai harinya, namun alih-alih bertanya mengenai keadaannya yang jelas jawabannya adalah ‘melelahkan’ ia malah langsung mengambil tindakan untuk menambah asupan semangat dan mengembalikan mood dengan memasakkannya.
Albi yang menyadari bahwa Mat menangis mendekatkan kotak tisu. “Makanan gue seenak itu ya, sampai-sampai lu nangis?”
Mat menangguk dan berkata, “benar-benar enak.”
“Nggak apa-apa, Mat, gue senang lu menangis karena makanan, bukan karena hal lain. Menangis saja sepuasnya biar masalah lu nggak mendapatkan stok air mata buat lu tangisi,” ucap Albi yang kini menepuk-nepuk pundak Mat.
Mat mengangguk lagi lantas kembali menyumpit makanan itu untuk ia masukkan ke mulutnya. Ponselnya berdering menampilkan nama yang entah sudah berapa kali menghubungi Mat namun selalu ia tolak. Ya, siapa lagi kalau bukan Kai, pacarnya yang akan ia jahui karena ia tak ingin menjadi parasit di hidup lelaki itu sama seperti ia mejadi parasit dalam hidup Jingga.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Novela JuvenilBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...