Masing-masing Menyimpan Luka

70 6 2
                                    

Suara riuh tawa beradu dengan suara perbincangan yang tiada henti telah berlangsung semenjak seorang gadis yang masih dengan seragam sekolahnya duduk dan menikmati sebotol soda.

Dia mendesah panjang saat melirik ponselnya dan melihat puluhan notifikasi yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. Perusak suasana hati. Itu yang ada dipikirannya.

Benda pipih itu dirampas dan diletakkan manis oleh seorang gadis yang juga menikmati sodanya. "Bukannya sudah selesai?"

Mendengar itu, ia mengangguk. Sebuah momen langka, bukan? Pekerjaan rumah gadis itu selesai sebelum dihimpit deadline karena memang, waktu senggang di sekolah dimanfaatkannya untuk mengerjakan tugas. Tolong diralat, maksudnya meminta sang sahabat mengerjakan tugasnya, meski saat sahabatnya itu mengerjakan tugas, omelannya seirama dengan laju pulpennya.

"Siapa, Mat?" tanya Albi.

Yang ditanya mendongak cepat, lantas menjawab, "Grup kelas."

"Aelah ... kirain pacar lu," celetuk Fikar yang sibuk mengunyah sate taichan.

"Orang pacar dia gak posesif kayak Si Nuna. Dikit-dikit minta pap, dikit-dikit minta vc," potong Ando.

Fikar yang risih dengan itu meletakkan sate taichannya lantas menatap Ando tajam. "Jangan ngadi-ngadi lu, Ndo. Dia begitu karena dia sayang sama gue. Daripada lu, belum pacaran udah diputusin."

Tak mau kalah, Ando balik menatap Fikar tajam. "Eh, Julpikar, sayang kata lu? Itu namanya posesif. Yakali, ada cewek iri sama ikan cupang. Asal lu tahu, gue masih gak terima ya ikan cupang gue, Si Alita dibuang. Lagian, gue udah nolak ngasi lu pas lu minta, lu masih aja merengek dan maksa. Endingnya Alita mati di tangan pacar lu."

Alita adalah nama ikan cupang Ando. Ia terinspirasi dari film Alita: Battle Angel. Karena terlalu kagum dengan sosok gadis yang bernama Alita di film itu, ia menamainya dengan nama gadis tersebut.

"Oh ... jadi kemarin lu bohong pas bilang ikhlas Si Alita mati, gitu? Yaudah, ayo ke penjual ikan, gue beliin lu ratusan pengganti Alita," kata Fikar.

"Eh Julpikar Ajis. Alita itu ikan cupang pilihan yang gue besarkan sepenuh hati seperti anak sendiri. Jangan seenak jidat lu main ganti-ganti. Gue sebenarnya gak mau ngungkit ini, tapi emang lu udah kelewat batas," balas Ando melebih-lebihkan.

"Dibesarkan sepenuh hati? Itu Alita atau Malika?" potong Albi yang dibalas pelototan oleh Ando.

Penonton yang sedari tadi tertawa dengan pertengkaran absurd itu sudah terpingkal-pingkal saat Albi memotong pertengkaran mereka.

"Kalian berdua emang ga ada otak, ya. Kalian jauh lebih aneh ketimbang Nuna tahu, gak. Kok ada orang yang bertengkar hanya karena ikan cupang," tambah Albi yang membuat Ando kian naik pitam.

Ando mensilangkan tangannya di depan dada. "Hanya? Hanya kata lu?"

Melihat kejadian itu, Jingga yang juga bagian dari penonton, maju. "Gue nggak rela ya, sahabat gue disambut di Xilion dengan adegan seperti ini."

Mereka bungkam. Ando dan Fikar kompak menyengir. "Eh ... gak kok, nggak. Fikar, tadi bercanda doang kok, yakali gue gak ikhlas. Orang itu cuma ikan cupang."

Fikar mengangguk cepat. "Iya, tahu kok. Udah semuanya, ayo lanjut makan. Mat ... barangkali lu mau sate taichan, nih punya gue makan aja."

Mat dengan cepat menggeleng. "Gak usah, gue udah kenyang banget."

Selanjutnya, Fikar dan Ando kembali saling bertatapan seolah bertengkar lewat tatapan. Jingga berdehem membuat mereka kompak gelagapan.

Beberapa menit yang lalu, Mat resmi menjadi bagian dari Xilion, setelah banyaknya cerita yang didengar langsung dari Jingga, gadis itu perlahan terenyuh, ia tertarik dengan Xilion dan berakhir menjadi bagian dari mereka. Dan benar, baru beberapa menit menjadi bagian dari mereka, semenjak duduk melingkar menikmati makanan, Mat sudah jelas mendapat berbagai macam kehangatan. Kehangatan sahabat, kakak, adik, dan keluarga pastinya. Ya, kembali Mat perjelas, dunianya perlahan berputar, dunianya berotasi.

Ponsel Jingga berbunyi membuat seisi ruangan kompak menatap Jingga. Mereka jelas mengenali notifikasi itu, jenis notifikasi khusus yang hanya berasal dari anggota keluarga Jingga.

Dengan cepat, Jingga melirik ponselnya. Ia terlihat mengerutkan dahi saat melihat lokasi yang dikirim oleh seseorang. Matanya langsung terbelalak dan dengan cepat ia menghubungi si pengirim lokasi.

"Ini maksudnya apa?" tanya Jingga tanpa basa-basi.

"Apa lokasi yang Abang kirim, kurang jelas? Ini Abang dari bandara mau langsung ke apartemen kamu. Niatnya sih mau ngasi surprise, tapi Abang malas nunggu karena takutnya kamu tidur, jadi mending nanyain kamu lebih dulu," jawab seorang lelaki dari seberang telepon.

"Kok Abang nggak bilang kalau mau balik ke Indonesia," ucap Jingga.

Kembali, lelaki di seberang sana menjawab, "Kan Abang bilang, mau ngasi kamu surprise."

Mendengar itu, Jingga menjauhkan ponselnya lantas menarik napas panjang. "Tapi, Abang gak bareng mami, 'kan?"

Terdengar jelas, suara wanita menggema di sana. "Kamu gak mau ketemu mami? Ini juga ada papi, lho, Jingga. Udah, Abang kamu mau fokus nyetir, sampai jumpa, sayang."

Sambungan telepon terputus. Seisi ruangan sibuk mengambil sampah bekas makanan dan minuman yang tercecer dimana-mana. Mat tentu tak tinggal diam, ia ikut membersihkan meski bingung mengapa mereka begitu panik.

Sekitar lima menit dilanda kepanikan, mereka buru-buru keluar, hendak pergi.

"Eh, Mat gimana?" tanya Jingga yang membuat langka mereka terhenti.

Albi buru-buru mengambil helm lantas menarik tangan Mat. "Gue yang antar dia pulang."

Entah mengapa, Mat pasrah ketika tangannya ditarik oleh lelaki itu. Matanya bahkan tak berkutik saat kakinya mengikuti kecepatan langkah kaki lelaki yang bernama lengkap Althair Bimaksara.

Hingga di parkiran, tarikan itu lepas. Kini, matanya menangkap sosok yang jelas tak asing buatnya. "Pak Angkasa?"

Albi dengan cepat membungkam mulut Mat. "Dia bokapnya Jingga. Berusahalah terlihat biasa-biasa saja seolah lu gak mengenal dia."

"Udah, buruan naik ke boncengan, gue anterin lu pulang," perintah Albi yang kini berada di atas motornya.

Mat mengangguk dan segera menuruti perintah Albi.

Keluarga Jingga sudah hilang dari pandangan. Gerombolan anak Xilion meninggalkan parkiran, termasuk Albi.

Dikala membela jalanan Kota Jakarta yang tak terlalu ramai kala itu, Albi memulai perbincangan meski terkesan berteriak. "Lu kenal bokapnya Jingga?"

"Sudah pasti. Dia itu pemilik yayasan sekolah gue. Bukan cuma Pak Angkasa, gue juga kenal Abang Jingga, Pak Orion. Perusahaan Pak Orionlah yang membuat gue bisa sekolah di Ganendra, dia nyediain beasiswa personal kepada orang kurang mampu kek gue. Uh ... kok bisa dunia sesempit ini," ujar Mat yang membuat Albi tertawa kecil.

"Jadi, selama ini dia gak pernah bilang ke lu tentang keluarganya?" tanya Albi.

Mat mengangguk, anggukan itu dilihat oleh Albi dari kaca spion.

"Btw, orangtua Jingga marah, ya kalau kita ngumpul di apartemennya?" tanya Mat.

"Nggak. Tapi, kalau ngumpul di jam segini udah pasti marah," jawab Albi.

"Beruntung banget ya, Jingga punya keluarga kayak dia. Selain itu, dia juga beruntung punya sahabat kayak kalian semua. Udah gitu, dia cantik, pintar, dia memiliki semuanya. Gue jadi penasaran siapa cowok beruntung yang bisa dapetin cewek sesempurna dia," ujar Mat.

Albi tersenyum tipis. "Lu belum mengenal Jingga sepenuhnya, Mat."

Mat diam, berusaha mencerna penuturan Albi. "Maksud lu apa? Jujur, gue gak paham."

"Jangan sakitin dia, Mat. Lu orang pertama di Ganendra yang dia anggap sahabat. Jangan sia-siakan dia. Lambat laun, lu bakal mengerti kenapa gue bilang begini." Albi tersenyum tipis saat mengatakan hal itu. Matanya lurus ke depan, ditarik oleh cerita lama yang membekas di kepalanya.

Bersambung ....

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang