Bintang Laut Berotak Udang

87 8 1
                                    

Hanya satu hari Mat menikmati skorsing dari Bu Siregar, sisanya, ia habiskan di rumah sakit.

Hari ini adalah hari kedelapan ia beristirahat setelah tiga hari di rumah sakit. Artinya, ia melampaui masa skorsing dan hari ini pula, Jingga sudah kembali ke sekolah.

Konon kata dokter ia harus beristirahat selama dua minggu namun Mat pemegang prinsip, 'selama masih bisa ngesot, artinya ia masih sehat.' Kini, ia sudah memakai seragam kebanggaan Ganendra Jaya, bersiap berangkat ke sekolah.

Dia melirik jam yang hendak menginjak angka tujuh. Ia tidak mau cari mati dengan memilih berjalan ke sekolah karena pingsan di jalan setapak sama sekali tak lucu. Memesan ojek online yang merogoh uang jajannya ia lakukan untuk pertama kalinya selama ia sekolah di Ganendra Jaya.

Seseorang berjaket hijau tampak melirik Mat yang baru saja keluar dari gerbangnya. "Mbak Dyah Pitaloka?"

Mat mengangguk lantas mendekati lelaki tersebut dan tanpa basa-basi menaiki motor. Mat menggigit lidahnya, berusaha menahan tawa melihat ekspresi konyol lelaki tersebut saat menyebut namanya di aplikasi. Lelaki tersebut kurang lebih lima tahun di atasnya dan jelas, ia tahu siapa Dyah Pitaloka. Wanita yang diminta untuk dijadikan upeti oleh Hayam Wuruk dan membuat perang bubat pecah.

Khas seorang ojek _online_, yakni basa-basi. "Mbak Dyah, anak Ganendra, ya, Mbak?"

"Sudah jelas di aplikasinya kalau tujuan saya Ganendra, artinya saya sekolah di sana bukan mau jadi Kang Parkir," balas Mat menolak basa-basi.

"Jangan marah-marah, Mbak Dyah," ucap si ojek.

Mat diam hingga ia tiba di depan gerbang mewah Ganendra Jaya.

"Jangan lupa bintang limanya, Mbak," kata si ojek setelah menerima bayaran dan uang dari Mat.

Mat tersenyum. "Tak diragukan lagi, ini jelas reinkarnasi Dyah Pitaloka. Manisnya bikin diabetes."

Tanpa membalas ucapan si ojek, Mat berbalik dan memasuki Ganendra Jaya sembari memainkan ponselnya.

"Mat!" Seseorang memanggilnya dan jelas, Mat mengenal suara itu.

"Kok lu ke sekolah? Bukannya lu diwajibkan istirahat selama dua minggu?" kata cowok tersebut sembari menyamakan langkahnya dengan Mat.

"Gue udah sehat, Kai," balas Mat tanpa menatap wajah lelaki tersebut.

Kai berhenti lantas menarik tas Mat. "Biar gue yang bawa."

Mat terbelalak. "Kai, gue udah sehat. Gak usah lebay, deh."

"Udah ah ... jangan ngomel kalau gak mau bikin gue makin cinta."

Akhirnya Mat sadar, Kai romantis dalam porsi berbeda. Dia kadang cuek namun sering memberikan kejutan, bahkan gombalannya juga sering mendadak membuat Mat kian menyukainya.

"Buah yang gue bawa kemarin dihabisin, 'kan?" tanya Kai.

Mat mengangguk. "Gue bawa ke supermarket kemarin, gue makan bareng Fidella."

Dengan cepat, Kai menghentikan langkahnya. "Lu udah masuk kerja?"

Mendengar itu, Mat tertawa kecil lantas menarik dasi Kai hingga cowok itu melanjutkan langkahnya. "Kemarin gue udah masuk. Kalau gue ngabisin waktu buat istirahat, gua mau bayar kos gue pake apa?"

Kai menarik napas panjang. "Sekarang, lu ke sekolah, artinya pas pulang sekolah lu langsung ke supermarket. Lu gak dapat waktu istirahat sama sekali."

"Kalau ngeliat lu khawatir begini, feel pacarannya benar-benar dapet." Kaki Mat melangkah, menaiki eskalator.

"Ya ... emang gue pacar lu, Mat. Astaga, Mbak Pacar belum sadar-sadar kalau orang ganteng ini pacarnya."

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang