Setelah melakukan ritual makannya, kini Mat tengah duduk di ruang tamu, bermain bersama Louis— majikannya. Majikan lama Louis tampak tersenyum menyaksikan Mat yang sesekali tertawa melihat tingkah menggemaskan makhluk berbulu itu. “Jujur, gue kasian sama Louis kalau ditinggal ke sekolah. Dia sendiri di rumah, kesepian gitu.”
“Louis selama hidupnya gitu, pasti kalau gue ke sekolah bakal sendiri di rumah. Jadi, nggak usah mikir dia kesepian orang Luois pinter main sendiri,” balas Albi.
“Tampaknya Louis bahagia bet dah semenjak bareng lu,” tambah Albi.
Mendengar itu, Mat tertawa lantas berkata, “kalau Louis bisa bicara pasti dia langsung teriak tidak. OrangLouis selalu pasrah dengarin curhatan gaje gue.”
Albi hanya tertawa sebagai bentuk respon dari kalimat Mat.
“Hm ... tumben Jingga jam segini belum pulang,” ucap Mat yang kini mengangkat wajahnya menatap Albi yang tengah memainkan ponselnya.
Sontak, Albi mengangkat wajah sembari mengertutkan keningnya.”Lu nggak tahu?”
Dengan cepat Mat menggeleng. “Maksud lu?”
“Dia masuk rumah sakit katanya dia kelelahan, nggak usah khawatir palingan besok udah keluar,” ucap Albi.
“Padahal tadi dia nganter gue pulang. Gila tuh anak,” celetuk Mat.
“Ya, begitulah Jingga, Mat. Dia itu hobi menyebunyikan lukanya persis seperti lu. Sejujurnya, gue dan dia itu pernah terlibat dalam kecelakaan. Kita jadi korban tabrak lari dua tahun yang lalu saat itu ulang tahun Abangnya Jingga dan gue dan dia dan satu orang cewek yang juga naik motor jadi korban. Tuhan masih ngasi kesempatan buat kita untuk hidup, katanya, cewek yang satu lagi meninggal. Namun mirisnya, gue dan Jingga dituduh sebagai penabrak kala itu. Karena keadan jalan yang tak memiliki cctv dan tak ada saksi, terpaksa orangtua kita menyelesaikannya pake uang karena keluarga Jinga menolak untuk membiarkan Jingga memberi saksi, mereka takut kalau Jingga semakin trauma dan merusak psikologinya. Dan sebenarnya, Jingga itu paling anti dibonceng pake motor setelah kejadin itu, dia semacam trauma gitu,” cerita Albi panjang lebar.
Mat diam, tak tahu lagi harus bagaiaman merespon ucapan lelaki itu.
“Sekarang lu udah terjawab bukan, kenapa Jingga memilih lu sebagai sahabatnya? Ya ... karena kalian sama. Sama-sama dingin ke orang yang nggak dekat, terlalu peduli dengan orang lain sampai lupa dengan diri sendiri dan ... sama-sama pemendam,” tambah Albi.
***
Biasanya selepas salat subuh, Mat akan kembali tertidur sampai alarmnya kembali berbunyi, namun kali ini, matanya tak ingin membawanya ke alam mimpi. Alhasil, ia memilih memasak di dapur untuk ia jadikan bekal ke sekolah karena memang, ia akan menambahkan kantin sebagai daftar tempat yang enggan ia kunjungi lagi.
Nasi goreng ditemani dengan telur orak-arik dan rumput laut kini terlihat rapi dalam sebuah kotak bekal berwarna hijau.
Ia tinggal memakai seragam mengingat sebelum memasak ia telah mandi terlebih dahulu. Tak butuh lama buatnya untuk memakai seragam khas Ganendra Jaya. Ketika jam masih menginjak angka setengah tujuh, ia sudah meninggalkan apartemen.
Sehari saja tampa Jingga membuat hari Mat tampak hambar mengingat biasanya ia berangkat ke sekolah bareng sahabatnya itu. Pagi-pagi mengadakan konser pribadi di dalam mobil, namun hari ini ia harus merelakan kulitnya terpapar dengan matahari pagi karena ia yang kini berangkat menggunakan ojek online.
Tak membutuhkan waktu lama buatnya untuk sampai di depan gerbang mewah Ganendra Jaya dan kini ia berjalan tanpa ragu dengan cibirian orang-orang mengingat sekolah yang masih dalam keadaan sepi.
Sebelum ke kelas, ia lebih dulu menuju loker untuk mengambil baju olahraganya mengingat jam pertama merupakan pelajaran olahraga. Pintu loker ia buka, namun matanya langsung tertuju pada sebuah kotak yang tampak memiliki noda berwarna merah.
Tanpa berpikir, Mat langsung membuka kotak itu, ia sontak menjerit dan melempar kotak tersebut saat melihat isinya. Dadanya terlihat naik turun, benar-benar kaget dengan apa yang ia lihat. Bagaimana tidak, seekor burung yang dalam keadaan mati masih dengan darah segar yang mengaliri foto dirinya di sana.
Dengan tangan bergetar, ia mengambil foto dan burung tersebut untuk ia buang. Setelah itu, ia mengambil baju olahraganya sebelum akhirnya ia singgah di toilet untuk mencuci tangannya. Bahkan saat sampai di toilet ia masih bergelut dengan pikirannya, siapa yang meletakkan kotak itu di lokernya? Ia sangat bingung mengingat hanya dia seorang yang memegang kunci loker tersebut. Ia juga amat penasaran sekaligus takut dengan itu.
Tak ingin berlama-lama di toilet, ia memilih ke kelasnya. Sekarang sekolah mulai ramai, alhasil ia berjalan dengan wajah ditekuk. Puluhan tatapan risih dilemparkan padanya, alhasil ia mempercepat langkah berharap ia cepat pula sampai di kelas.
Saat di kelas ia duduk juga dengan wajah ditekuk, ia terlihat men-scroll ponselnya dan berusaha mengabaikan pesan dan panggilan dari seseorang yang kemarin-kemarin menemani harinya. “Okelah, gue gak tahu salah gue apa sampai lu ngejahuin gue, intinya gue minta maaf. Tapi, lu jangan ngaitin masalah kita dengan masalah organisasi. Hari ini jadwal mading lu, lu belum ngumpulin puisinya, Mat.” Pesan itu dibaca oleh Mat dan membuat ia buru-buru menarik kertas dan mulai menulis puisi. Jujur, ia benar-benar lupa.
Namun beruntung, imajinasinya cukup lancar karena ia menggunakan otak pagi yang cukup segar meski telah dibuat shock.
Pesawat Kertas
Oleh: Matcha Adellina
Pesawat kertas tanpa awak
Ia dikemudikan angin, terbang bebas dibingkai pelangi
Baik-baik saja bermain bersama dedaunan
Sinkron pula dengan awan, ia gagah meliuk
Jatuh ... badai mempermainkan sang pesawat
Ia menyatuh dengan laut yang tidur
Ia beristirahat setelah perjalan panjang
Sang bingkai ikut pergi
Jutaan kawan datang menyerbu membuat laut bergemuruh
Pesawatpun berkawan meski ia perlahan menghilang
Pelangi sempat berkata, “di tempat paling tenang kita bersua.”
Bukannya tempat ini jauh lebih tenang?
Tidak ... di atas sana, melewati awan ada tempat indah
Bermain dengan hujan sejenak, pesawat kertas pergi
Ia meninggalkan pesan, “bermainlah hingga lelah agar kau tak lupa bersedih.”
Hujan mengucapkan selamat tinggal, dedaunan kian melambai
Laut memainkan gelombangnya, tak rela untuk ditinggal
Lihat, kawan mereka sepenuhnya pergi.
Mat merobek kertasnya. Ia masih punya waktu beberapa menit untuk ke aula. Dengan keberanian yang tersisa ia menuju tempat tersebut.
Butuh waktu beberapa menit untuk ia sampai di aula. Ia menyerahkan puisi tersebut kepada juniornya. Syukur, Kai tak ada di sana, ia tidak ingin bertemu dengan lelaki itu dalam keadaannya yang masih kacau.
Saat pulang dari aula, matanya menangkap sesuatu yang ganjal di mading. Karena terlalu asing di matanya, ia berjalan menuju mading dan melihat beberapa foto. Di sana, ada fotonya dengan Kai dan sisanya yang hampir menyentuh angka sepuluh. Foto itu adalah milik Jingga dengan mantan-mantannya. Ia tak perlu mencari tahu siapa pelakunya, sudah pasti Jingga. Entah siapa suruhan gadis itu sekarang namun begitu, Jingga dan Mat membuktikan bahwa tuduhan itu salah. Memang cukup memalukan melihat fotonya terpampang nyata di sana dan berpotensi dilihat satu sekolah, tapi apa boleh buat, ini merupakan ulah Jingga yang apabila dikacaukan akan membuat gadis itu berubah menjadi Thanos versi cewek.
Lagian tanpa menempel foto itu semua sudah tahu bahwa Mat berpacaran dengan Kai mengingat selama berpacaran hampir tiap hari mereka bertemu. Dan satu pertanyaan yang kembali muncul di kepala Mat, apa motif si penyebar hoax dan yang menaruh kotak di loker Mat? Entah, tak ada yang tahu namun yang pastinya, semua itu akan terungkap. Bukannya Mat memiliki Jingga? Jingga yang terlatih untuk tak gagal sudah pasti membuat berbagai macam rencana untuk mengungkap si pelaku.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Dla nastolatkówBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...