Entah bagaimana ceritanya Mat berakhir di tempat terkenal Ganendra Jaya. Tak habis pikir, bagaimana bisa seorang cewek normal memilih tempat menyeramkan untuk membicarakan sesuatu yang katanya private.
Jingga meneguk ludahnya kasar. Bulu kuduknya mendadak meremang di siang bolong ini.
"Kenapa harus di sini? Kita memang mau membicarakan sesuatu private, tapi kenapa harus di daerah kekeasaan Mbak Nining?"
Mat menyengir, entah apa maksud cengiran itu, apa dia ingin menyaingi pesona Mbak Nining?
"Kok lu senyum gitu, Mat. Gue merinding, ih."
Mat tak menjawab, ia malah tertawa kecil.
Jingga menyebar pandangan, takut apabila si penguasa daerah sini turut menguping pembicaraan mereka. 'Kan tidak lucu apabila pembicaraan mereka jadi bahan gosip di dimensi mereka.
"Katanya Mbak Nining suka iri sama cewek, gue sadar akan kecantikan gue, Mat. Gue takut Mbak Nining iri mengingat bodi gue bak mod—" ucapan Jingga mendadak terpotong ketika Mat memukul pundaknya.
"Jangan body shaming."
"Lagian dia hantu, Mat. Mana paham dia mengenai body shaming," jawab Jingga.
Hanya beberapa detik setelah mengucapkan itu, angin bertiup hingga rambut mereka berantakan. Jingga terlonjak kaget. "Pokoknya gue nggak mau di sini, Mat. Dia udah nunjukin keberadaannya."
Mat tertawa melihat reaksi temannya itu. "Udah, duduk aja. Selama lu gak gangguin dia, dia juga nggak bakal gangguin lu."
Jingga menarik napas panjang lantas mulai duduk dengan tenang. "Nggak usah nanya, gue bakal ceritain semuanya."
"Lu pasti nggak asing dengan nama Xilion. Geng yang udah punya banyak generasi. Kami generasi ke-4," kata Jingga memulai ceritanya.
"Bang Topan itu ibaratnya kakak kami, dia anak generasi ke-3, dia ketua Xilion di tahun kemarin, menyentuh Bang Topan sama saja dengan menyulut api. Xilion bukan geng yang hobi mengacau, kita hanya sebatas geng yang awalnya hanya perkumpulan biasa, karena anak Xilion generasi awal sangat gemar mengulurkan tangan kepada orang lain, alhasil Xilion menjadi besar. Bahkan, ada salah satu Abang gue yang rumahnya berisi tujuh orang rantau, ke sini alasannya ngekos malah tinggal di rumah Abang gue. Tanpa dipaksa, mereka akhirnya masuk di geng kami. Bukan bermaksud pamer, kita punya program rutin, baksos mingguan dan bagi makanan tiap jumat."
Mat diam, mencerna cerita Jingga.
"Pasti lu sering banget tawuran," celetuk Mat.
Jingga tertawa kecil mendengar celetukan Mat. "Yang namanya kita geng besar, pasti ada yang iri atau nggak ada orang yang biasa bawa permasalah pribadi ke gengnya dan nyerang. Ya ... minimal gue tawuran satu kali dalam sebulan."
Tak ada beban saat mengucapkan kalimat itu, tentu Mat sedikit ngeri.
"Karena Xilion, gue pernah ikut kelas bela diri di luar sekolah."
"Secinta itu ya, lu sama Xilion?" tanya Mat.
"Ya jelas. Xilion itu keluarga gue yang sebenarnya. Nyokap, bokap mah sibuk, tapi berkat Xilion gue ngerasain kehangatan keluarga. Nah ... makanya gue minta tinggal di apartemen, ya biar bebas sama anak Xilion, kalau di rumah mah boro-boro," jawab Jingga.
Mat menunduk lesuh lantas menunduk pelan. "Lu enak, punya orang tua. Gua mah boro-boro, Ren," ucap Mat yang diakhiri tawa pedih.
Jingga menoleh cepat lantas menatap Mat dengan tatapan bingung. "Mm-maaf, Mat, maksud lu, orang tua lu udah meninggal?"
Bukannya menjawab Mat kembali tertawa. "Apanya yang meninggal? Gue nggak punya orang tua. Gue hanya sempat mengenal mereka, semenjak mereka hidup dengan keluarga mereka masing-masing, gue sudah nggak punya orang tua."
Jingga termenung beberapa detik hingga matanya terasa pedih. Detik berikutnya, ia mengulurkan tangan dan memeluk erat tubuh kurus seorang Mat. "Selama ini berat, ya, Mat? Hari ini dan seterusnya lu punya gue. Jangan menanggung semuanya sendiri."
Pertahanan Mat pecah. Tangisnya meledak dalam pelukan seorang gadis yang dikenalnya belum lama ini. "Jangan kasihani gue, Ren. Gue benci dikasihani," ucapnya dalam tangis.
"Untuk apa kasihan sama orang model lu yang buat gue iri? Lu cewek kuat yang nggak pantas dikasihani. Sekarang, gue hanya melaksanakan peran gue sebagai sahabat lu, Mat," ujar Jingga yang suaranya ikut parau.
Setelah sempat lupa akan hangatnya pelukan, Mat kembali merasakan tempat nyaman itu. Untuk kali pertama, Mat mampu menyematkan kata sahabat ke seseorang. Hari ini, dapat ia catat, hidupnya membuat sejarah baru, dunianya perlahan berotasi.
***
Kantin gedung IPA
Pesan tersebut baru saja masuk di ponsel Mat. Ia sebenarnya dongkol untuk bertemu seseorang dengan keadaan seperti ini.
Mata sembab? Ah, rasanya itu bukan seorang Mat, bahkan saat orang tuanya pergi dulu, ia hanya menangis dalam diam.
Mat memutuskan untuk ke toilet terlebih dahulu dan mencuci matanya berharap sembabnya sedikit menghilang.
Ah, usahanya gagal.
Dengan langkah lesu, ia berjalan menuju kantin. Ia berusaha terlihat biasa saja dengan memasang ekspresi ceria— ya, tahu, bukan Mat sama sekali.
Dari jauh, terlihat Kai duduk dengan dua minuman di depannya. Saat matanya menangkap objek yang ia tunggu, ia mengangkat tangan sembari tersenyum penuh semangat.
Mat ikut mengangkat tangan sembari membalas senyum Kai.
"Dari tadi, ya, nunggunya?" tanya Mat sebagai basa-basi.
Kai dengan cepat menggeleng. "Duduk dulu. Ini gue udah pesan es teh."
Mat mengangguk lantas duduk.
"Hm ... gue udah baca puisi balasannya. Gapapa, kok, gue pasti nunggu. Ya ... tapi jangan lama-lama," ucap Kai tanpa basa-basi.
Mat mengangguk dengan senyum yang tetap terukir.
"Lu baik-baik saja, kan, Mat?" tanya Kai kembali.
Mat dengan cepat mengangguk. "Emang kenapa?"
"Mata lu bengkak. Habis nangis, ya?"
"Nggak kok, gue nggak habis nangis."
Kai tertawa. "Tau kok. Yakali seorang Mat nangis."
Mat ikut tertawa.
Mereka menghabiskan waktu istirahat dengan mengobrol.
Sekarang, Mat sudah berada di kelasnya duduk dengan perasaan yang jauh lebih baik dari hari kemarin. Ia membuka bagian belakang bukunya sembari menunggu guru mata pelajaran.
Senyumnya mengembang saat imajinasi liarnya berkelana dengan cepat.
Tangannya ikut bereaksi saat ia mengambil pena dan mulai menulis.
Kering Kerontang
Matcha AdellinaDunia itu sempat berhenti
Ketika sakit menyerang bertubi-tubi
Cinta, sahabat, keluarga, semua sebatas fiksi
Semuanya dulu hingga ia datang
Ia datang merombak semuanyaDunia itu perlahan berputar
Sakit perlahan reda
Cinta, sahabat, perlahan nyata
Meski belum kembali merasakan ikatan keluarga,
ia membawa hawa lebih hangat dari ituHadirnya membawa hujan
Membasahi tanah yang kering kerontang
Hadirnya membawa hidup
Menebar bibit untuk tanah yang terbasahi
Tanah itu akhirnya ditumbuhi bahagia, sangat lebat.Mat tersenyum hingga matanya kelihatan menghilang. Untuk pertama kalinya ia berani menulis namanya di bawah judul puisi yang ia buat. Dalam hati, ia berterimakasih kepada dua sosok yang menjadi inspirasi ia bersajak hari ini.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...