Kelas sepi, artinya sang guru biologi tak masuk. Seisi kelas sudah pasti memilih keluar atau lebih tepatnya lebih dulu ke kantin.
Dengan senyum sinisnya yang masih terpahat sempurna, ia menatap satu persatu mantan sahabatnya yang baru saja memasuki kelas. "Gue yang pindah tempat duduk atau lu?"
"Please, Mat ... nggak usah diperpanjang," ucap Naomi berusaha mendinginkan suasana.
"Apa yang tak perlu diperpanjang, Naomi? Mungkin kalimat sebelumnya bisa gue maafkan, tapi kalimat terakhir lu itu benar-benar gak pantas mendapatkan maaf. Gue benci diberi hati hanya karena dikasihani. Menjijikkan," ucap Mat setengah berteriak.
"Benar kata kalian, biar dilihat dari segi manapun kita ini nggak pantas bersahabat. Gue yang paling ganjil di sini, gue beda dari kalian. Kalau gitu biarin gue yang menjauh agar nama kalian selalu suci. Silahkan bercerita mengenai gue yang memilih menjauh, terus saja sucikan nama kalian. Bahkan ketika gue berkoar-koar menyatakan kalian nusuk gue, nggak ada yang bakalan percaya. Si cantik dan yang beruang bakalan selalu dibenarkan. Si buruk rupa nan miskin ini akan tetap salah." Mat mengambil tasnya dengan emosi menggebu lantas berjalan ke bangku belakang sembari melempar sembarang tas tersebut.
Mat paham ia sedang mengambil resiko besar dengan memilih ke bangku belakang. Artinya, kaum pem-bully semakin bebas mengganggunya.
"Oh, ya. Bukannya dengan kita saling menjauh menjadi simbiosis mutualisme. Gue diuntungkan karena tak dikelilingi sahabat munafik dan lu juga diuntungkan karena tak mendapatkan parasit dalam komplotan kalian. Bagaimana?" ucap Mat masih dengan pandangan meremehkannya.
"Mat, lu dari tadi ngoceh mulu. Ngejauh ya, ngejauh aja, nggak usah banyak bacot," balas Yumi.
"Gue ngoceh dan ini fakta, gue ngoceh di depan kalian karena gue nggak suka ngomong belakang kayak kalian. Komplotan lemah."
Hampir tiga tahun bersama, akhirnya mereka mampu melihat sisi lain dari seorang Matcha Adellina ketika marah. Mulutnya penuh bisa yang mampu melumpuhkan lawannya hingga bungkam, tak berkutik.
***
Hari kamis selalu menjadi neraka bagi Mat. Bagaimana tidak, matematika, fisika, biologi, dan kimia bersatu dalam sehari. Bisa bayangkan bagaimana raungan otak Mat yang minta didinginkan setiap hari kamis?
Jam pelajaran terakhir, dimana ia tengah belajar kimia. Pelajaran yang menurutnya menjadi bagian dari neraka di hidup Mat. Yang menjadi Dewi Fortuna bagi Mat di pelajaran kimia hanya satu, yakni gurunya sangat telaten mengajar dan tentu tak killer. Tak heran jika ia sesekali memilih tidur di pelajaran kimia atau main hp ketimbang memerhatikan sang guru menjelaskan. Memperhatikannya hanya membuat kepalanya serasa dipasangi bom atom. Ia sama sekali tak paham, mencoba paham malah membuat otaknya juga mencoba meledak.
Sang guru sibuk menjelaskan sembari menunjuk sebuah gambar atom di dalam slide power point. Meski bodoh dalam hal ini, Mat masih tahu yang ditunjuk itu adalah gambar atom.
Jam pelajaran berakhir, sang guru mengemasi barangnya. "Pelajari materinya kembali, ppt-nya akan saya kirim ke ketua kelas dan akan dikirim ke kalian. Pertemuan selanjutnya akan saya tanya satu persatu. Sebut saja quiz."
Mat yang awalnya excited karena pelajaran berakhir mendadak lesu. Mustahil ia mampu menjawab quiz yang akan diberi sang guru. Otaknya menolak mentah-mentah yang namanya perhitungan dan jenis-jenisnya yang lain. Bahkan jika para ilmuwan kimia menjelaskan materi tersebut dapat ia pastikan bahwa ia tetap tak paham. Sampai sini bisa bayangkan bagaimana lalotnya otak seorang Mat dalam perhitungan?
Sebenarnya sejak tadi Mat risih karena ditatap oleh teman sekelasnya hingga seorang gadis yang bernama Setan menghampirinya. Ya, namanya memang Setan, singkatan dari Selvi Tanqia. Ia bertanya, "Ada masalah, ya, sama mereka?"
Mat paham siapa yang ia maksud mereka. Dengan entengnya Mat hanya mengangkat bahu lantas berkata, "Nggak tahu." Ia berlalu meninggalkan kelas yang hampir kosong.
Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Saat ia mengangkat kepala, ia hampir terjengkang melihat seorang wanita tinggi yang menatapnya dengan senyum lebar. Untung reaksi refleksnya tak membuat kepala gadis itu gepeng karena tamparan. "Maaf," ucap Mat saat menyadari tangannya sudah mendarat sempurna di kepala gadis tersebut.
Dia terkekeh pelan. Mat yang melihat itu sontak menatapnya bingung, takut jika otaknya geser akibat tamparan.
Sungguh, ia membuat pertanyaan konyol, "Otaknya geser, ya?"
Mungkin gadis tersebut menganggap Mat membuat guyonan hingga ia tertawa lepas. "Humor lu bisa juga buat gue yang humornya dolaran."
"Yang ngelucu siapa?" tanya Mat dengan tampang lugunya.
Gadis tersebut menghentikan tawanya. "Ikut gue."
"Gue nggak punya waktu. Gue mau kerja," balas Mat cepat.
"Bukannya udah gue bilang, gue nggak suka ditolak."
"Bodoh amat. Pokoknya gue mau kerja. Minggir." Mat mulai melangkah.
Tangannya ditahan oleh gadis tersebut membuat langkah Mat tertahan. "Apaan sih. Lepasin gue, Oren."
"Oren?"
"Iya, Oren. Nama lu terlalu melankolis buat gue. Lagian Oren lebih cocok mengingat lu barbar kayak kucing oren," ucap Mat segera menepis tangan Jingga.
Jingga tertawa mendengar penuturan Mat. "Tampaknya omongan teman lu salah mengenai lu. Katanya lu rada malas ngomong kalau nggak penting. Nyatanya salah besar."
"Siapa yang bilang?" tanya Mat cepat.
"Nggak tau, pokoknya teman lu."
Mat menarik napas panjang lantas memegang pundak Jingga meski ia kesusahan karena postur tubuh Jingga yang tinggi. "Gue sibuk, jadi gue nggak bisa ikut lu. Gue kerja part-time dan lagian gue nggak ada perlu sama lu. Barangkali kalau kita ketemu cuek aja sama gue, jangan sapa gue. Ini kali terakhir gue berinteraksi dengan lu. Oke?"
"Kenapa harus begitu. Kita bisa jadi teman, Mat," balas Jingga.
"Gue bodoh amat dengan kalimat sampah itu, Oren."
"Kalau gitu, kita bisa jadi sahabat."
"Lebih-lebih itu. Gue nggak percaya dengan kata sahabat. Sahabat tak lebih dari kata penuh kotoran yang sulit disucikan," ucap Mat dengan ekspresi datarnya yang khas.
"Makin lu ngoceh, gue makin tertarik sama lu, Mat. Tipe semacam lu yang nggak bakalan ninggalin temannya apapun yang terjadi, lu benar-benar apa adanya," ucap Jingga dengan senyumnya yang tulus.
"Bukannya tersentuh dengan ucapan lu, lu malah bikin gue ambigu. Merinding gue dengernya."
Lagi-lagi, Jingga tertawa mendengar penuturan Mat. Nyatanya ia berbohong megenai humornya yang dolaran, humornya hanya sebatas kaleng-kaleng, Mat tidak melawak, ia malah tertawa.
Mat mengumpat saat melirik jamnya. "Gue terlambat gara-gara lu."
"Kalau gitu, gue anter ke tempat kerja lu."
Jika boleh jujur, Mat hendak menolak mentah-mentah tawaran Si Oren. Namun, jika dalam situasi terhimpit semacam ini, ia lupa cara menolak. Dengan ragu ia menaik turunkan kepalanya.
"Yaudah, buruan."
Lagi-lagi Jingga tertawa sebagai bentuk balasan dari ucapan Mat.
Dalam hati Mat mengumpat Jingga. Ia cantik, tapi karena terlalu sering tertawa ia jadi lebih mirip kuntilanak. "Unik juga. Kucing oren mah udah biasa, kunti oren baru luar biasa," batin Mat.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...