Skorsing tidaklah seburuk yang Mat bayangkan, skor memberinya nikmat tersendiri, membuatnya merasakan hal yang tak dirasakan remaja seusianya, salah satunya bermalas-malasan.
Semalam, matanya benar-benar tak mampu diajak berkompromi, ia baru tidur ketika matahari benar-benar menampakkan sinarnya. Jadi, tak perlu bertanya mengapa ia baru bangun ketika sang surya hendak berlabuh.
Mat bangkit dari tempat tidurnya, melirik ponsel yang sengaja ia silent agar tak menganggu hibernasinya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan ratusan pesan yang tak terbaca. Mat menyengir melihat itu, baru kali ini ponselnya begitu ramai.
Dia mendekatkan benda pipih itu di telinganya, menunggu beberapa detik hingga suara hangat menyapa di seberang sana. "Halo, Mat."
"Halo, Kai, maaf gue baru bangun. Sumpah, gue baru tidur pas jam tujuh," balasnya.
Terdengar tawa renyah. "Kebo."
Mat membalas dengan cepat. "Kebo gini tapi lu suka, 'kan?"
Kai masih tertawa, dia lantas berkata, "I like everything in yourself, Mat."
Mat diam, menyesal mengatakan kalimat sebelumnya karena balasan Kai membuat darahnya berdesir. "Hm ... udah dulu, ya, bye." Tak ada persetujuan dari lawan bicara, panggilan itu diakhiri sepihak oleh Mat.
Masih dengan wajah bersemu, Mat merapikan tempat tidur, cuci muka, mengambil hoodie, lantas berjalan keluar untuk sekedar menikmati udara tanpa beban. Sungguh, ini adalah nikmat yang sudah sangat lama hendak Mat rasakan.
Entah, apa ini masih bisa disebut joging, sebab kini Mat berlari kecil di trotoar menghirup udara yang bercampur dengan polusi ibu kota. Jika biasanya ia menyusuri jalanan ini ketika ia sedang kacau, maka berbanding terbalik dengan sekarang.
Sekitar 30 menit berlari kecil, ia memilih beristirahat di halte. Mat melirik jam yang sudah menginjak angka lima. Ia mengendarkan pandangan, hendak membahagiakan lambungnya.
Seolah lampu menyala di atas kepalanya, ia berdiri dan memilih memasuki sebuah gang. Sekitar lima menit berlari, ia melihat sebuah tempat yang sontak membuat bibirnya tertarik. "Ok, lambung, jangan iri lagi dengan hati yang sejak kemarin berbahagia, hari ini waktunya kamu ikut berbahagia, tak lagi disiksa dengan makanan kadaluwarsa. Nasi padang, lambungku datang!" ucap Mat pada dirinya sendiri.
Mat segera memasuki warung tersebut, benar-benar memuaskan perutnya. Saat hendak memakan potongan rendangnya, pekikan suara terdengar dari luar diikuti oleh puluhan motor. Mat bukanlah followers Lambe Turah, artinya dia bukan orang yang kepo dengan urusan orang lain. Perutnya yang merindukan belaian rendang jauh lebih prioritas sekarang.
Mat menoleh sekilas melihat puluhan motor yang berhenti. Dia yang berada di pasukan terdepan terlihat mengangkat sebuah bendera hitam yang ditengahnya memiliki lambang berlian dilengkapi dengan tulisan besar 'Xilion.'
"Mau tawuran kok kek orang mau promosi toko perhiasan," gumam Mat yang sibuk mengunyah rendangnya.
Seisi warung memekik dan memilih pergi saat gerombolan remaja di luar sana turun dan saling memukul dengan gerombolan sebelumnya. Bahkan, pemilik warung sudah sibuk menutup warungnya namun Mat sama sekali tak acuh, sudah dibilang, perutnya lebih penting.
Pemilik warung datang dengan wajah panik. "Neng, warungnya mau saya tutup, takut mereka masuk dan membuat kekacauan di sini."
Mat tak salah dengar, pemilik warung itu mengusirnya dengan halus. Jelas Mat menolak, bahkan tumis kangkungnya saja belum ia sentuh. "Tapi ini makanan saya belum habis," balas Mat.
"Udah Neng, udah ... mending pulang gak usah bayar," ucap si pemilik warung sembari mengambil piring Mat.
Mat keluar, ia jelas cukup bahagia karena perutnya telah ia isi dengan rendang, nasi, dan tentu dendeng balado tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.
Seolah tak terjadi apa-apa, Mat berjalan santai keluar. Dia tak memakai pakaian sekolah, jadi ia merasa aman karena itu cukup menjelaskan bahwa ia bukan bagian dari keduanya.
Aman? Tidak, Mat menarik pikirannya itu, ia sama sekali tak aman ketika suara pekikan terdengar dari jauh. Ia jelas mengenal suara itu, suara yang akhir-akhir membuatnya muak.
"Oren?!" Mat memekik tak percaya.
Di tengah peraduan para remaja, Jingga satu-satunya yang ganjil di sana, memakai jaket kulit dan sibuk memukul tiga wanita yang gantian menyerangnya. Ia kewalahan namun tak mendapat bantuan.
Mat benci situasi ini, ia sama sekali tak mau berurusan dengan hal semacam ini.
"SMA Tirta." Mat membaca sulaman nama sekolah yang jelas berada di bahu lawan.
Dengan modal keberanian, Mat berjalan mendekati kerumunan. Jelas, orang lain tak peduli dengan keberadaannya, pakaiannya tak menunjukkan identitas siapapun.
Tangannya menarik rambut seorang wanita yang baru saja melayangkan pukulan di wajah cantik seorang Jingga. Pipinya jelas lebam, karena itu, Jingga memekik. "Sialan, kenapa harus muka gue, nge-skincare itu ribet, bangs*t!" Jingga memberikan pukulan yang membabi buta kepada gadis tersebut. Jangan tanyakan bagaimana Mat sekarang, ia hanya menjadi penonton, yang kurang cuma popcorn.
Dua cewek sebelumnya hendak menyerang Jingga namun tulang keringnya segera ditendang oleh Mat dan yang satunya lagi segera ditarik rambutnya hingga terjengkang.
Mereka memekik dan melempari Mat berbagai macam sumpah serapah.
Cewek yang sebelumnya telah diserang Jingga berdiri lantas pergi dengan keadaan kacau.
"Lu kok bisa di sini?" tanya Jingga dengan napas tersengal-sengal.
"Habis makan nasi padang," jawabnya enteng.
"Buruan pulang, di sini bah—" ucapan Jingga terpotong saat Mat menarik tubuh Jingga dan berbalik.
Mat tertawa kecil melihat Jingga. "Eh, Ren, muka lu kok kek lengkuas rendang, sih? Eh ... lu kok mutar-mutar gitu?" tanya Mat dengan suara melemah hingga semuanya menggelap.
Emosi Jingga sudah di ubun-ubun, ia lantas menghampiri cewek yang baru saja memukul Mat dengan potongan besi. "Dia nggak tahu apa-apa, bitch."
Cewek tersebut membuang besinya sembarang, berlari mengikuti gerombolan yang telah kalah telak.
Anggota Xilion datang menghampiri Mat yang kini tergeletak di tanah. Wajah cewek tersebut terlihat pucat pasi.
"Dia nyelamatin gue, endingnya dia yang kena pukulan," ucap Jingga saat ditatap tajam oleh Albi.
Albi mengangguk dan mengangkat tubuh Mat.
Mat membuka matanya pelan saat kesadarannya mampir sesaat. "Mimpi macam apa ini? Kenapa si cacing ngegendong gue?" Hanya sepatah kata itu yang ia tanyakan sebelum matanya kembali terpejam.
Albi tak merubah raut wajahnya, masih sangat dingin. "Kalau lu sampai kenapa-napa gue orang yang paling merasa bersalah. Kumohon ... sadarlah."
Bersambung ....
Lapak ini sepi amat dah, kek hati authornya.
Dua tiga buah kedondong
Authornya mau digoda dongDua tiga buah kenari
Kalian pilih Albi atau Kai?
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Novela JuvenilBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...