Jingga Xalangit

151 10 1
                                    

Hari yang benar-benar suntuk, gara-gara tragedi semalam, ia melupakan pr-nya, alhasil ia tak dibolehkan ikut dipelajaran yang ia sebut sebagai neraka. Ya, apalagi kalau bukan fisika.

Ia duduk di pojokan perpustakaan. Sendiri dan menikmati perih yang tertinggal semalam. Selama ini Mat berpikir bahwa semakin sepi seseorang, maka semakin perih sakit yang ia rasa, maka berusahalah menyibukkan diri agar rasa sakit itu teralihkan. Namun sayang, satu-satunya cara yang mampu Mat lakukan untuk mengalihkan sakitnya adalah tidur.

Ia tahu saat ketahuan tidur di sini, ibu penjaga perpustakaan akan mengomelinya dengan kalimat pedas.

Penjaga perpustakaan yang akrab dipanggil Ibu Sabil itu hobinya mengomel. Omelannyapun selalu disisipkan dengan kalimat menusuk hati. Tak heran jika member geng terkenal sekolah pernah menyanyikan lagu sambalado di depan penjaga perpustakaan tersebut. Kurang lebih liriknya seperti ini, "Di dalam lidahmu itu mengandung bara api yang membakar hati, di dalam lidahmu itu mengandung racun tikus yang mematikannya. Sambalado, eh-eh sambalado, oh itu sambalado, Bu Sabil sambalado."

Kala itu, Mat sendiri yang menyaksikan bagaiamana lelaki yang ia namai u-cangkir menyanyikan lagu tersebut sampai Bu Sabil hendak mencekiknya dan melemparnya ke Antartika.

Masih tentang Bu Sabil, ia memang pemarah tapi giliran dengan cogan, harap minggir, dia berada di barisan terdepan. Ya, dia akan sangat soft kepada para pemilik wajah di atas rata-rata. Jadi yang merasa dibawa standar, siap-siap disembur dengan bara api.

Lenguhan panjang Mat lepaskan saat matanya sudah ia pejamkan namun dirinya sama sekali tak bisa tidur. Kejadian semalam terus berputar di kepalanya membuatnya memukul meja karena dibakar emosi.

Bu Sabil sontak berdiri dan mulai berjalan mencari sumber dari suara pukulan yang dengar.

Sadar dengan apa yang ia perbuat, Mat yang sudah menyabet gelar S3 jurusan kabur sudah mulai berjalan dengan sangat pelan dan berhasil keluar dari perpustakaan.

Beruntung tak kedapatan, seandainya kedapatan tunggu Antartika menjadi daratan hijau baru omelannya selesai.

Ia hendak memutuskan untuk berkeliling meski terkesan nekat. Namun, bukan Mat namanya jika tak berhasil mengelabui. Baru saja ingin berkeliling tak sengaja ia melihat satu objek yang sontak membuat senyumnya terbentuk.

Gedung sekolah. Ia memasuki gedung yang katanya memiliki penunggu. Namun bagi Mat, hal-hal semacam itu tak ada di dunia. Ia tipe orang yang masih suka mempertanyakan dimana para hantu mendapatkan pakaian.

Bukan gedung namanya jika tak penuh dengan tumpukan barang, mulai dari yang tak terpakai sampai yang masih terpakai. Ia memutuskan untuk duduk di sebuah kursi lapuk dekat jendela melihat objek manusia yang tampak mengecil karena ia lihat dari lantai tiga.

Tepat di bawahnya adalah lapangan futsal dan ia tahu salah satu di antara mereka yang bermain futsal adalah lelaki yang berusaha mencairkan hatinya. Satu-satunya lelaki yang memandangnya sebagai manusia seutuhnya.

"Gue berusaha menjauh namun kenapa lu lekat dari pandangan gue? Skenario apa lagi yang tersusun dan hendak diperankan?"

***

Jam pelajaran telah berganti, Mat memutuskan untuk kembali ke kelas. Namun diperjalanan menuju kelas ia merasakan hal ganjal di bagian bawahnya. Ia melenguh panjang ketika sadar bahwa hari ini merupakan jadwal bulanannya sebagaimana wanita normal pada umumnya. Pantas saja ia sulit mengontrol emosinya di perpustakaan tadi.

Ia hendak menuju kelas, ingin mengambil pembalut yang memang tak pernah absen dari tasnya. Hanya butuh beberapa menit ke kelas, ia sudah berada di toilet wanita dan ia telah memasang alat bantu super itu.

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang