Kai telah kembali ke kelasnya setelah ponselnya berdering, ia memiliki tanggung jawab di kelasnya, entah apa itu, Mat tak menanyakannya. Mat tak seegois itu untuk memaksa Kai menemaninya. Ia melirik jam di penselnya dan sadar, jam istirahat sebentar lagi. Ia memilih berjalan keluar setelah mengirimi pesan untuk seseorang di ponselnya. Saat sampai di kelas, gadis itu pasti sudah keluar dari kelasnya.
Benar saja, saat Mat tiba di depan sebuah kelas yang banyak diisi siswa berkacamata tebal, seorang gadis keluar masih dengan senyum manisnya, senyum yang Mat lihat setiap hari. “Kajaaa!” ucapnya yang jelas dipahami oleh Mat.
Mat mengangguk semangat dan tangannya telah terkait dengan tangan gadis itu. Mereka melangkah bersama dengan semangat. Tolong rekrut Mat menjadi aktor. Bagaimana bisa gadis itu memberikan ekspresi seolah ia baik-baik saja, semua bisa tertipu akan ekspresi itu, termasuk Jingga.
Berjalan menyusuri koridor dan untuk ke kantin cukup membuat mereka menjadi pusat perhatian. Dulu, mereka sering mendapat tatapan itu namun setelah cukup lama bersahabat dan orang sudah terbiasa dengan kedekatan mereka, tatapan itu tak pernah lagi ia dapatkan, namun entah mengapa tatapan itu kembali. Jinggalah yang kini bertanya-tanya, Mat dengan permainan perannya hanya bisa pura-pura bingung dan merangkai alasan jika sewaktu-waktu Jingga bertanya mengapa mereka kembali mendapatkan tatapan itu.
Sampai di kantin, tatapan itu sesekali dilemparkan oleh beberapa gerombolan.
“Apa lu lihat-lihat?” ucap Jingga yang sudah kehilangan kesabaran.
“Ren,” tegur Mat yang langsung menyenggol Jingga.
“Lagian ngelihatnya kek orang dari dimensi lain,” balas Jingga dengan wajah dongkolnya.
“Ah, udah sana berhubung masih banyak kursi yang kosong, biar gue yang pesan. Mi ayam sama es teh, ‘kan? Udah udah, jangan cemberut gitu.” Mendengar itu, Jingga langsung meninggalkan Mat menuju sebuah kursi yang tak berpenghuni.
Cukup lama Jingga menunggu, Mat datang dengan nampan yang di atasnya terdapat dua mangkuk mi ayam dan dua es teh manis. Cacing di perut mereka sudah sedari tadi demo dan telah melakukan tindakan radikal seperti lempar batu dan bakar-bakar ban. Jingga dan Mat perlu menenangkan para cacing demonstran dengan memberikannya asupan makan berupa mi ayam dan es teh.
“Mat, serius deh, orang-orang kok pada aneh gitu ngelihatnya.” Pertanyaan yang ditunggu-tunggu Mat akhirnya dilontarkan oleh Jingga, tentu Mat sudah mendapatkan jawaban konyol atas pertanyaan itu.
“Udah gue bilang jangan sok-sokan berponi masih aja pake poni, itu bukan cuma gue doang yang mikir lu aneh pake poni tapi orang lain juga sampe ngelihatnya gitu banget,” jawab Mat.
Mendengar itu, Jingga seketika berhenti mengunyah minya. “Dih, iri bilang, bos!” ucapnya membuat Mat terkekeh.
“Udah ah, makan aja dulu, ngedumelnya entar,”
“Tumben lu ngajak gue ke kantin. Kemarin-kemarin lu ngebucin mulu sama Si Kiu sampe lupa sama gue,” kata Jingga.
“Heh, namanya Kai bukan Kiu, woi,” balas Mat.
“Gak sudih gue namanya Kai kek bias gue. Kagak pokoknya.”
Mendengar itu, Mat memutar matanya kesal. “Your bias not your mine.”
Sontak, Jingga memelototi Mat. “Mat—”
“Gue bilang makan aja dulu!”
Mendadak mulut Jingga terkatup. “Iya.”
****
Tak butuh banyak orang untuk sekedar menanyakan pertanyaan konyol, “Apa lu baik-baik saja?” Atau yang menepuk pundaknya tanpa sepatah kata. Satu orang saja sudah cukup, namun Mat harus bersyukur karena telah memiliki banyak orang yang peduli dengannya. Yang sekedar mengirimkannya playtlist lagu penyemangat atau beberapa puisi yang membuat ia yakin bahwa dirinya tak sendiri. Namun, kali ini, Mat diam, ia tak ingin berbagi beban untuk banyak orang. Selama ini Mat merasa sudah banyak beban yang ia bagi.
Dulu, kecuali dirinya sendiri, tak ada alasan untuk ia bertahan, namun sekarang, ia memiliki banyak orang yang harus ia bahagiakan demi untuk membalas jasanya, mereka semua kini masuk dalam daftar alasan mengapa Mat masih bertahan dan memilih hidup.
Seisi kelas sudah terang-terangan membicarakannya, meski terdengar mustahil tapi Mat sangat berharap cerita itu hanya berputar di kelasnya, tak lompat ke kelas lain. Ia hanya tak ingin pacar dan sahabatnya tahu masalah ini.
Untuk pertama kalinya Mat membenci kelas selesai terlalu cepat. Waktu benar-benar mendukung para teman sekelas Mat untuk bergosip ria. Hanya ingin mengistirahatkan telinganya dari kalimat menyayat hati itu, Mat memilih berjalan ke toilet, ia tak memiliki tujuan sekarang.
Memasuki kelas, Mat yang berniat menenangkan diri malah terpaku pada coretan di pintu toilet. Semua itu senjata mematikan yang mampu membunuh tanpa menyentuh. “Matcha Adellina? Oh, si pencuri, parasit, dan ternyata anak mucikari. Bukannya pepatah bilang, buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya?” Coretan itu yang pertama ditagkap oleh netra Mat.
“Pembawa aib kelas dan berlindung di belakang orang lain? Pencuri apa tidak berniat mati?” Coretan itu masih terlihat sangat baru.
Mat menutup mata, berusaha menetralkan napasnya yang bergemuruh. Ia tak sanggup lagi membuka mata, takut jika netranya bertemu dengan coretan yang lain.
“Apa kamu tidak bosan menjadi beban? Jangan sok kuat, dunia tak berpihak pada kamu. Pergi dari bumi merupakan cara terbaik.” Mat terkejut mendengar suara dari bilik sebelah, suara itu sangat asing di telinganya. Buru-buru, ia keluar dan mengetuk pintu toilet tersebut.
“Berlindung di balik orang lain? Baiklah jika itu yang lu katakan, tapi bukannya itu jauh lebih baik ketimbang berlindung di balik toilet. Lu pikir gue bakal nurutin kata sampah lu itu? Tinggallah di situ, tak perlu keluar, itu memang tempat yang pas buat orang kayak lu yang lebih pantas disebut kotoran ketimbang manusia!” pekik Mat dengan dada yang kini bergerak naik turun.
Mat memilih pergi, muak dengan sosok di balik toilet tersebut. Air matanya tak mampu lagi ia tahan, air matanya meluruh. Ketika ia berjuang memberikan semangat ke dirinya sendiri untuk tak menyerah, mengapa hadir manusia tak berakhlak yang seenak jidat menyuruhnya untuk mati? Mengapa manusia sangat egois? Bukan dalam hal makanan saja, melainkan dalam hal sifat, contohnya manusia itu, apa sulit bersifat manusia hingga sifat hewan saja diembat?
“Kamu berharga, kamu tak memiliki hak untuk mengkhiri hidup lu, itu menjadi hak Tuhan, jangan egosi, Mat, ayo semangat.” Terdengar sangat bodoh namun entah sejak kapan Mat suka melakukan hal itu ketika ia tertekan. Menyemangati dirinya dan membiasakan diri berdiri di atas kaki sendiri.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...