Teriakan para siswi di pinggir lapangan basket bersahutan dengan bunyi angin yang bermain dengan dedaunan. Gadis berambut sebahu duduk sembari menenteng sebuah buku tebal yang sembilan puluh sembilan persen isinya tak ia pahami.
Gadis itu tersenyum kikuk saat tiga orang gadis mengangkat tangan ke arahnya sembari memberi kode. Ia mengangkat bahu cepat lalu memilih meninggalkan taman sekolah.
Gadis itu sedikit tersentak saat ketiga gadis yang tadi mengangkat tangan tiba-tiba merangkulnya. "Muka lu asem banget, deh."
"Sumpah, gue paling males belajar di laboratorium fisika. Dari lantai tiga ke bawah, jalan ke sini melewati pinggiran lapangan dan taman. Males tau, ah," ucapnya dengan wajah lesu.
Salah satu dari tiga gadis itu memutar mata malas. Bagaimana tidak, hampir setiap kali belajar di laboratorium fisika, temannya itu pasti mengeluhkan hal yang sama. "Panas telinga gue dengar lu bilang itu mulu. Itu pembelaan lu yang gak suka pelajaran jurusan. Kalau memang jauh, apa kabar dengan aula yang jauhnya itu juga luar biasa. Udah gitu katanya aula ada penunggunya, ya. Dan lu hampir tiap hari ke sana."
"Benar banget tuh, Mat. Btw, lu nggak takut gitu diganggu sama penunggu aula. Kalau gue mah amit-amit ngorbanin nyali gue demi organisasi."
Mendengar apa yang diucapkan sahabatnya tersebut, gadis yang bernama Mat itu langsung menempeleng kepala temannya. "Gue gak percaya gitu-gituan. Apa perlu gue ulangi ucapan gue sebelumnya? Gue ini tipe orang yang masih suka bertanya dimana kuntilanak dan tuyul mendapatkan pakaian."
"Emang susah bicara sama lu, Mat. Udah ah, buruan. Gue mah ogah terlambat."
Dengan langkah yang sama, mereka menyusuri koridor menuju laboratorium fisika. Sebenarnya, bukan hanya alasan jauhnya saja, Mat tak menyukai laboratorium fisika karena saat menuju ke sana, yang dilalui adalah daerah rawan godaan, terlebih ketiga temannya berwajah di atas rata-rata. Yang lebih parah, laboratorium fisika berhadapan dengan ruang ganti cowok.
Mat berdiri sejenak saat gerombolan siswa baru saja keluar dari ruang ganti. Hampir semua wajah itu dikenali Mat namun tak satupun yang ia ketahui namanya.
Salah satu dari gerombolan cowok itu berteriak dengan suara serak basahnya. "Woi, gila! Ada baju yang melayang." Mendengar itu, gerombolan siswa tersebut kompak tertawa. Ketiga sahabat Mat pun ikut tertawa mendengar komedi garing tersebut.
Mat melangkah maju, menghiraukan racauan demi racauan yang diakhiri dengan tawa.
Tepat saat di ambang pintu, ia mengangkat senyum sinisnya bersama dengan matanya yang menajam karena mendengar sebuah kalimat penenang yang nyatanya menusuk. "Mat memang begitu, gak terlalu suka bercanda."
Gerombolan siswa itu kompak mengangguk paham. "Tahu kok. Tuh cewek gak santuy amat jadi orang."
Salah satu dari mereka hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Kita masuk dulu, ya, keburu guru datang."
***
Jam pelajaran fisika berakhir. Mat bergegas meninggalkan laboratorium, menghiraukan sahabatnya yang sibuk mendiskusikan makanan apa yang akan ia makan di kantin.
Mat langsung dicekal saat ia mulai melangkah. "Makan dulu, yuk."
Desahan napas panjang dilepaskan Mat. "Gue mau nyerahin puisi gue dulu buat ditempel di mading."
Gadis yang bernama lengkap Naomi Alinda itu mendengus sebal. "Kasihanin lambung lu napa. Lu itu hampir setiap hari gak ke kantin dengan berbagai alasan sebagai penolakan."
"Sorry, ya, Naomi. Memang, gue punya alasan lain, tapi kembali ke alasan utama gue. Gue nggak punya uang buat makan di sana setiap hari. Gue harus irit. Lagian, gue bawa bekal," kata Mat sembari tersenyum tipis.
Ekspresi Naomi lantas berubah dengan cepat. "Yaudah, deh."
Di antara ketiga sahabat Mat, Naomi lah yang paling perhatian padanya. Naomi berasal dari keluarga uang berkecukupan, ia juga sangat feminim terbukti dari dirinya yang sangat menyukai warna pink. Tak hanya itu, gadis bermata indah itu juga masuk dalam organisasi musik dan paduan suara karena modal suaranya yang bagus dan keterampilan memainkan musiknya yang di atas level rata-rata.
Meli menyenggol Naomi. "Udah yuk buruan. Laper nih. Kita duluan, ya, Mat."
Mat mengangguk cepat lantas tersenyum simpul pada Meli.
Melinda Cahya, gadis yang sedetik pun tak bisa diam. Ia cerdas terbukti dari dirinya yang masuk dalam tiga besar di kelas. Sama dengan Naomi, Meli juga berada di organisasi musik dan paduan suara. Bedanya, Meli lebih fokus ke musik ketimbang paduan suara mengingat suaranya yang masuk dalam kategori fals.
Yumi yang sedari tadi memainkan ponsel mengangkat wajahnya. Gadis berambut panjang dengan bulu mata lentik lengkap dengan hidup mancung dan mata bulatnya membuat gadis itu sering kali dikagumi oleh kaum adam. Tak hanya itu, gadis yang bernama lengkap Yumika Friscca itu sering sekali membuat kaum hawa iri dikarenakan keterampilannya dalam memainkan hampir semua alat musik. Ia juga memiliki suara emas. Kedua alasan itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa Yumi menjadi wakil di organisasi musik dan paduan suara.
Ya, ketiga sahabat Mat memasuki organisasi yang sama. Itulah mengapa, Mat seringkali merasa asing di saat bersama dengan sahabatnya itu.
Mat melanjutkan langkahnya. Tak butuh waktu lama, ia sudah sampai di aula dengan napas yang sedikit ngos-ngosan. Ia tersenyum hangat kepada seorang lelaki berkulit putih dan bermata bulat.
Lelaki itu membalas senyumnya, senyum yang membuat mata bulatnya mengecil.
Mat memberinya kertas yang berisi tulisan tangannya. Kertas yang tampak sederhana yang berisi sajak yang luar biasa.
Mata bulat lelaki itu bergerak-gerak saat membaca bait-bait puisi yang ditulis gadis yang ada di hadapannya. "Seperti biasanya, karya lu luar biasa. Organisasi ini beruntung banget punya lu sebagai anggotanya. Mungkin dari kita kelas sepuluh sampai sekarang lu yang paling aktif ngirim karya."
Mat kembali tersenyum simpul. "Gak usah melebih-lebihkan, deh, Kai."
Dengan cepat lelaki yang dipanggil Kai itu menggeleng. "Gue sama sekali tidak melebih-lebihkan. Lu tahu sendiri 'kan kalau kelas dua belas tak seharusnya terlalu aktif organisasi, lu malah over aktif."
"Siapa bilang gue over aktif? Orang gue paling jarang ikut kalau pertemuan."
"Jarang ikut pertemuan tapi aktif ngirim karya."
Mat akhirnya pasrah sendiri. Sebelum pergi, ia memerhatikan mata Kai yang terarah pada buku yang ia bawa. Detik berikutnya lelaki itu melepas tawa.
Mat yang mendengarnya hanya bisa mendengus sebal. "Setiap kali lu lihat gue pegang buku mata pelajaran jurusan, lu selalu ngetawain gue, deh."
Kai menghentikan tawanya sejenak lantas menepuk pelan pundak Mat. "Semenjak lu ceritain tentang keterpaksaan lu masuk IPA, gue selalu ngakak kalau lihat lu pegang bukunya. Gak tahu kenapa."
"Udah deh, males gue sama lu. Mentang-mentang anak IPS
Sontak ia menghentikan tawa dan berkata, "Maaf, maaf. Jangan baper dong."
Mat mengangguk pelan, memasang senyum simpul sebelum akhirnya melangkah pergi.
Dia, Kailan Anggana, lelaki yang nama depannya berasal dari tumbuhan yang bernama latin _brassisca oleracea var. albaglabra_. Satu-satunya lelaki yang menghargai keberadaan Mat sebagai seorang perempuan.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...