Sepanjang perjalanan, saat pulang sekolah, Kai mengantar Mat ke supermarket. Sepanjang perjalanan, Kai yang telah tahu bahwa pacarnya tertarik dengan EXO menggoda dia dengan mencap dirinya sebagai Kai Exo. "Sebenarnya, gue juga punya abs, lho, Mat kek Kai EXO. Tampang sama, abs juga sama-sama punya, mending lu jadiin gue bias lu deh, Mat."
"Wahai Kailan Anggana, bukannya mengemudi sambil tertidur itu sangat tidak dianjurkan? Sepertinya lu tidur deh, soalnya lu lagi mimpi," balas Mat.
"Ayolah Mat, ganti bias aja, gue lebih wow pastinya," ucap Kai yang kini melambatkan laju mobilnya.
Mobil berhenti, Mat dengan cepat menoleh. "Dibandingkan gue, lu jauh lebih halu wahai pacar gue yang mengaku sebagai Kai padahal gak sama sekali. Bahkan, jika lu dilihat dari sedotan lu tetap gak mirip. Mungkin ada baiknya lu dilihat dilihat dari pipa rucika, biar halunya mengalir sampai jauh."
Kai tertawa mendengar ucapan cewek itu. Cewek yang karakternya sangat berbeda saat berada di hadapannya. Ia mengulurkan tangan. "Yaudah, terserah lu, deh. Entar gue jemput, ya."
Mat mendengus mendengar penuturan itu. "Gue udah bilang berapa kali jangan repot-repot jemput gue. Gue pacaran sama lu bukan buat dijadiin sopir pribadi. Lagian, entar gue pulangnya cepat. Shift gue cuma sampai maghrib, mau fokus belajar."
Kai kembali tertawa. "Sebuah kabar baik. Setidaknya, lu punya banyak waktu buat istirahat, selama ini kapan, sih lu punya istirahat lebih? Oke, gue pulang dulu, ya, waktunya bener-bener dipake belajar bukan nge-fangirl. Bye ...."
Mobil yang dikendarai Kai melaju, meninggalkan Mat yang masih berdiri di pinggir jalan.
Setelah itu, di berbalik dan berjalan memasuki minimarket. Saat membuka pintu minimarket dengan sisa senyum yang sebelumnya ia lemparkan ke Kai, ia memberikan sebuah kalimat kepada orang yang ditangkap oleh netranya, "Ngapain lagi, sih, Ren?"
"Kebetulan aja gue lewat, kenapa, mau ngusir?" balas Jingga tak kalah juteknya.
Mat mendengus sebal lantas berjalan ke ruangan belakang bermaksud untuk menggangi seragamnya. Tak butuh waktu lama, Mat datang dengan tubuh yang ditempeli seragam khas tempatnya bekerja.
Pintu terbuka, Mat hendak menyapa namun tertahan saat melihat sosoknya. "Kalau mau nyari nasi kuning, kerak telor, getuk, tongkat sihir, atau perisai api maka sebaiknya lu keluar sebelum lu dihantam sama dia."
Jingga yang menyeruput kopinya menoleh cepat. "Ha ... gue?"
Mat memelototi Jingga dan gadis itu paham. "Jangan ngadi-ngadi lu ya, Cup. Lu makin hari makin gak jelas."
"Kalau emang gue makin hari makin gak jelas, maka lu di mata gue semakin hari makin mendekati kata sempurna, sangat pantas disandingkan dengan Yang Mulia Ucup," ujarnya panjang lebar.
Melihat itu, Mat bergumam, "Aduh kasian ... gak ada otak, mana masih muda."
Jingga berdehem lantas meletakkan kopinya yang nantinya akan berakhir di tempat sampah. Ia berdiri, berjalan mendekati cowok pawang lele yang membuat telinganya pengap. "Benar sekali, lu sebagai manusia itu memang mendekati kata sempurna, namun sayang lu punya dua kekurangan yakni muka dan akhlak lu," ucap Jingga.
Jangan tanyakan bagaimana keadaan Mat sekarang, di dadanya seolah terdapat pemandu sorak yang berteriak dan bergoyang penuh semangat mendengar ucapan Jingga.
"Benar-benar tak diayak," balas cowok itu terdengar pasrah.
"Mat, maksud hati gue datang ke sini seperti biasa, pakan ikan dan yang bersayap itu. Emak g—" ucapan Ucup terpotong saat Mat menghilang dari pandangannya.
"Jing—" Dan terjadi lagi, ucapannya kembali terpotong saat cewek yang hendak ia panggil mengambil gelas kopinya dan berjalan keluar hendak membuangnya.
Mat datang dengan membawa sesuatu yang diminta oleh Ucup. Ia menyerahkannya kepada Fidella, gadis yang memiliki pita suara namun jarang ia gunakan terbukti saat ia mendapatkan tontonan manis, ia masih diam membisu seolah tontonan itu tak menyenangkan.
"Semuanya 97 ribu, Kak," ucap Fidella sembari memasukkan barang Ucup di keresek.
Ucup menyerahkan uang dengan nominal yang pas. Ia lantas mengambil keresek tersebut lantas berjalan meninggalkan supermarket.
Tepat di ambang pintu, ia berbalik dan berteriak, "Ikan lele di atas perahu, I can't stop thinking about you." Ia tertawa melihat Mat yang bergidik ngeri. "Pelanggan setia lu pulang dulu, ya, teh ijo. Dada ...."
Ucup melenggang pergi meninggalkan Mat, Fidella, dan Jingga. Jingga mendengus dengan kasar. "Seandainya ada voting untuk menghilangkan manusia dari galaksi ini, gue orang paling pertama yang bakal voting, manusia cangkir itu," ucap Jingga yang jauh lebih emosi daripada Mat.
Mat mendekat lalu menepuk pundak Jingga. "Kalau begitu kali ini gue mengalah, nggak apa-apa gue diurutan kedua."
"Kok bisa ada manusia pecicilan modelan dia, ya?" celetuk Jingga.
Jingga menggeleng pelan, membalas tepukan Mat. "Kalau dia nggak ada di hidup kita mungkin kita masih bisa hidup 100 tahun ke depan karena manusia kek dialah yang memperpendek umur, setiap bertemu dia ada aja saraf yang pecah."
Di meja kasir, Fidella terkekeh mendengar penuturan Jingga.
"Gue tunggu, ya, Mat," putus Jingga sepihak.
"Lu sudah tahu jawabannya," balas Mat.
"Pokoknya gue tungguin." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang diucapkan oleh Jingga sebelum ia memakan sebuah biskuit dan menyumpal telinganya dengan airpods.
Jingga hanya sekedar mendengarkan lagu sembari memakan biskuit, berselancar di sosial media, dan sesekali berbicang dengan Mat hingga tak terasa jam sudah menginjak angka enam. Mat menghampiri Jingga dan mengajaknya untuk pulang.
Mereka berjalan keluar, menaiki Selena, lantas Jingga mengemudikannya.
Waktu tempuh dua kali lipat dari biasanya mengingat sekarang jam pulang kantor. Hingga jam menginjak angka 6:35 Selena tiba di parkiran apartemen. Buru-buru mereka berjalan menuju apartemennya, mengejar waktu salat maghrib yang hampir habis.
Barulah setelah mereka melaksanakan kewajibannya, mereka mandi. Apartemen Jingga memiliki dua kamar, kamar yang satu tergolong sangat luas milik Jingga dan yang satu lagi adalah milik Mat.
Dan sekarang, Mat tengah berendam sembari memainkan ponselnya, membaca thread yang berkaitan dengan sejarah ditemani dengan musik dari negeri ginseng. Sebutlah Mat tipe manusia yang amat mencintai sejarah dan budayanya namun juga oleng ke budaya negara sana dengan menikmati musiknya.
Belum lama ia berendam, kamar mandinya diketuk atau lebih tepatnya dipukul oleh seorang yang sudah jelas ia ketahui.
"Jangan lama-lama, soalnya malam ini ada acara," katanya dengan setengah berteriak.
Mat mendengus pelan mendengar penuturan cewek itu. Percuma ia menolak karena bagi Jingga tak ada penolakan dalam kamus hidupnya.
"Sepuluh menit gak keluar gue dobrak pintunya," katanya.
Jangan lupakan, jika berada di areanya seorang Jingga tidak sekedar mengancam namun berani merealisasikan ancamannya. Pernah sekali cewek itu kehabisan stok pembalut dan menyuruh Mat membelikannya, namun, cewek itu menolak karena maskernya belum kering saat itu. Sudah menjadi rahasia publik bahwa cewek PMS akan bertransformasi menjadi singa betina dengan kekuatan ganda. Jingga marah dan menggoyangkan ranjang Mat hingga salah satu bautnya terlepas. Terdengar sangat tidak wajar namun benar-benar terjadi.
Dari dalam kamar mandi Mat berteriak. "Gak lucu kalau lu dobrak pintunya, Ren."
Tak ada balasan, artinya, sahabatnya itu telah menghilang dari depan pintu kamar mandi.
Kurang afdol ketika mandi tak melakukan konser pribadi. Gadis itu kini mandi dengan menyanyikan lagu yang terputar di ponselnya. Jingga yang sebenarnya sedang mengeringkan rambut di kamar Mat, berteriak, "Bekantan in my area!"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...