Xilion, Welcome to Ganendra Jaya

27 3 0
                                    

Diseret oleh seorang wanita bermasker dengan hoodie yang ia tarik hingga menutupi kepalanya membuat Mat memekik karena terkejut dengan sangat luar biasa. Mereka sama sekali tak bersuara hingga pekikan Mat dominan. Sungguh, ia menyesal datang sepagi ini, niat hati buatnya menyendiri di rooftop hingga jam pelajaran dimulai ia malah mendapatkan kesialan.

Dada Mat rasanya ingin meledak dikarenakan ketakutannya sekarang, bagaimana tidak, tubuhnya seolah dianggap barang rongsokan, diseret begitu saja. Dia dibiarkan berlutut, dagunya digenggam oleh sebuah tangan besar. Wajahnya diangkat hingga mata mereka bertemu. Mata itu tak ia kenal. Dengan bibir yang masih bergetar, Mat berkata, “salah gue apa?”

Pertanyaan itu tak dijawab, ia malah menerima sebuah pukulan di pipinya hingga membuat telinganya berdenging dan ujung bibirnya berdarah. Kemudian, sebuah tangan tampak mencari-cari sesuatu di kantongnya hingga ia menemukan benda pipih miliknya. Semenjak memiliki ponsel itu, ia tidak pernah memberikan semacam kode pengaman, alhasil ia bisa membuka ponsel itu dengan muda.

Entah apa yang ia perbuat, Mat cuma bisa diam hingga sebuah suara terdengar di ponsel itu. “Apa, Mat? Gue terlambat nih.”

Bagaimana bisa lelaki itu merespon demikian ketika Mat sudah dalam keadaan kacau seperti ini. “This is the gift for you, Althair Bimaksara. How beautiful this girl.” Rambut Mat seketika dijambak hingga ia memekik keras.

Orang yang di seberang sana baru berteriak saat melihat Mat dijambak. “LU SENTUH DIA, GUE NGGAK AKAN PERNAH RAGU HABISIN LU, CUPU! You’re so confident with your mask. Fuck off. Lu lemah.”

Telepon diakhiri sepihak dan beberapa menit lagi insiden besar akan terjadi di Ganendra Jaya.

Si penelepon tampak mendekat dan menatap Mat dengan intens. “Matcha Adellina, ini sama sekali bukan salah lu, tapi salah mereka, jadi salahkan mereka. Kenapa lu harus terlahir sial? Lahir dari orangtua yang ngebuang lu dan sekarang bersama seseorang yang membuat lu berada di posisi ini. Lu berharga di mata mereka, jadi lu itu objek yang pas sebagai pancingan dan korek api. Dengarkan gue, dunia ini tidak adil untuk kita yang belum dewasa, mereka yang mengaku dewasa bertindak seenaknya. Jangan mudah goyah untuk menyebut dunia berputar, cantik. Kita ini sampah yang seharusnya binasa, yang membedakan kita hanya dari jenisnya, gue bisa diolah hingga menjadi manusia yang sekarang dan lu memang pantas binasa dan sekarang sementara digiling dalam sebuauh pabrik yang bernama dunia. Gue ulangi, lu masih mau menyebut dunia itu berputar?” Suara itu sangat familier dan sekilas mata itu ia kenal namun karena dibakar emosi, mata itu tampak menakutkan. Karena dalam keadaan takut, pikirannya jadi tersendat dan susah mengingat.

“Kita? Kita nggak sama, gue manusia dan lu memang sampah. Binasa kata lu? Gue punya jutaan mimpi dan itu membuktikan kalau gue manusia dan gue pantas hidup!” balas Mat memekik.

Dia berjalan mundur, mengambil sebuah kursi rusak dan ia menyeretnya dengan kasar. Empat manusia bertopeng itu mendekat, berusaha menenangkan lelaki itu.

“Ini bukan bagian dari rencana kita!” ucap salah satu di antara mereka.

Namun dengan mudah lelaki itu menepis tangan mereka. “Bahkan jika dia mati di tangan gue itu belum sebanding,” ucapnya lalu mengangkat kursi dan menghantam Mat. Beruntung Mat yang dalam keadaan berlutut masih sempat membalikkan tubuhnya meski oleng hingga yang terkena hantaman adalah tulang belakangnya.

Tampaknya ia tak puas, namun saat mendengar bel ia membuang kursi begitu saja lantas meninggalkan Mat yang tergelatak mengenaskan dalam keadaan terikat ikat pinggang yang bahkan masih memiliki lambang Ganendra Jaya.

Mat meringis dan beberapa kali pula ia menggeleng keras, berusaha menghilangkan kantuknya yang tiba-tiba menyerang.

Di sisi lain, sekitar 50 motor sibuk berteriak untuk dibukakan gerbang. Sang satpam terlihat pucat pasih tatkala ia melihat mereka yang berteriak frontal. Salah satu dari mereka turun lantas berbicara dengan satpam. “Ini tentang nyawa, di dalam sekolah ini ada nyawa yang sedang berada di ujung tanduk. Selama kami bertindak baik, mohon buka gerbangnya juga dengan baik sebelum kami bertindak radikal dan merusak gerbang sekolah ini.”

Sang Satpam terlihat menelepon hingga beberapa menit kemudian datanglah beberapa guru dan berdebat dengan salah satu dari mereka— dia si pemilik mata tajam nan dingin yang tengah berbicara dengan nada dingin nan menusuk sama seperti matanya.
Setelah dilakukan perdebatan panjang,  gerbang terbuka. Mereka kompak masuk dan memarkirkan motornya sembarang.

“Ibu dan bapak jangan tinggal diam, siswi ibu dan bapak nyawanya tengah terancam di dalam lingkungan sekolah ini. Bagaimana bisa sekolah mahal seperti ini masih lalai,” ucap dia— Althair Bimaksari— dengan penuh penekanan.

“Menyebar, cari Mat terlebih dahulu, mengenai pelaku itu urusan belakang, yang terpenting sekarang adalah nyawa gadis itu!” teriaknya.

Sekarang tak ada lagi kegiatan belajar. Seisi sekolah memilih keluar dan bertumpuk di koridor menjadikan mereka tontonan. “Ando, Fikar, kita ke rooftop.”

“Gue tahu lu takut, Bi, tapi pelaku macam mana yang mau membawa korbannya ke rooftop? Mending kita ke tempat-tempat lain—” ucapan Fikar terpotong dengan cepat tatkala Albi berlari menuju rooftop gedung IPA.

Melihat apa yang dilakukan oleh gerombolan Geng Xilion, Cakrawala dan anak Tohpati yang lain diam tak berkutik, menjadi bagian dari penonton.

Salah satu dari pentonton berdecak. “Mimpi apa gue semalam sekolah kita didatengin salah satu geng besar anak Jakarta. Dan ini kejutan banget, ternyata di sekolah ini ada salah satu anggotanya. Keknya anggota penting sampe segitunya dia dicari.”

Di sisi lain, Mat masih bergulat dengan dirinya sendiri karena matanya yang benar-benar memaksa ditutup. “Lu nggak lemah, Mat, lu nggak pantas binasa. Lu manusia,” ucapnya berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Kini, Mat mendengar langkah kaki yang bisa saja hanya bagian dari delusi. “Ah, gue kalah, tampaknya gue bakal benar-benar pergi. Mengapa gue menyesal setelah berdoa untuk pergi selama-lamanya kemarin? Mungkin memang sudah waktunya, Mat,” racaunya.

“MAT!” Seseorang memekik memanggil namanya hingga ia menatapnya.

Mat tersenyum tipis. “Tampaknya gue udah di alam yang berbeda, namun kenapa lu di sini, Albi?”

Albi langsung berlutut menatap wajah Mat dengan mata yang berkaca-kaca. “Siapa yang ngebuat lu seperti ini?” tanyanya dengan tegas.

Mat diam beberapa saat lantas berkata, “gue masih hidup?”

Dengan cepat Mat mengangguk. “Iya, lu masih hidup, Mat. Maaf, gue terlambat.”

Selanjutnya tangis Mat pecah. Dengan cepat, Albi memeluk tubuh kurus itu. Lagi-lagi, Mat menangis dalam pelukan hangat itu. Hanya beberapa detik tangis itu tercipta hingga ia melemah dan roboh.

Buru-buru, Albi membopong tubuh itu, membawanya turun. “Lu sudah telepon ambulance?” tanya Albi pada Ando yang langsung dibalas anggukan.

Setelah menyaksikan gerembolan geng motor, tontonan anak Ganendra Jaya yang selanjutnya adalah ambulance yang baru saja memasuki pekarangan sekolah. Bersamaan dengan itu, Albi yang membawa Mat kini tiba di bawah dan mereka jelas luar biasa terkejutnya. Bagaimana tidak, gadis yang kini bertubu-tubi terkena isu dibawa oleh seorang lelaki yang notabenenya adalah salah satu anggota Xilion dan demikian, sudah pasti gadis itu juga bagian dari Xilion.”

“Lu boncengan, kan, sama Fikar? Bawa motor gue terus infoin ke Jingga,” perintah  Albi kepada Ando yang lagi-lagi dibalas anggukan.

Kini, Mat sudah berada di dalam ambulance dan Albi bersiap memasuki ambulance namun seseorang datang dengan sangat panik menghampiri ambulance. “Mat kenapa. Albi?!”

“Kalau lu nggak bisa jagain cewek lu, lebih baik lu putus, lu sangat tidak becus jagain dia. Kemana saja lu beberapa hari ini? Dia difitnah sana-sini dan lu hanya diam!” ucap Albi yang kini menarik kerah baju Kai.

“SEHARUSNYA LU NGACA. MAT NGGAK PERNAH SEPERTI INI SEBELUMNYA. INI SEMUA TERJADI SEMENJAK KALIAN SEMUA MASUK KEHIDUPNYA!” balas Albi tak kalah emosinya.

“Kalau kalian mau lihat Mat mati konyol silahkan berdebat sampai mampus,” celetuk Fikar yang amat pedas.

Albi membuang napas kasar lantas menaiki ambulance. Di dalam sana, ia mengenggam erat tangan gadis itu, mengalirkan kehangatan buatnya. “Gue nggak bakal diam. Bukannya gue sudah bilang ke mereka, sekali dia nyentuh lu, hidupnya nggak bakal tenang, apalagi dia ngebuat lu seperti ini? Untuk kali ini, nggak ada yang bisa menghentikan gue, Mat.”

Bersambung ....

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang