Kawan Sepi

57 5 0
                                    

Detak jantung terasa, detakan yang lebih cepat dari pelukan tadi siang, detak yang membuatnya tenang karena dibarengi dengan tepukan di punggungnya.

Aroma tubuh yang tercampur dengan parfum maskulin lelaki itu begitu pas memasuki rongga hidungnya. Sangat menenangkan, lebih menenangkan daripada tepukan di punggungnya.

Mundur dengan cepat, gadis itu tersentak, sadar akan posisinya. Tangisnya sepenuhnya reda.

"Mm-aaf," ucapnya refleks.

Lelaki itu melempar senyum. Lagi-lagi, sangat menenangkan, dan tentu menipu. Pemilik senyum itu seolah adalah makhluk paling polos, pembawa kehangatan, namun nyatanya, gadis itu paham, ia lelaki yang bobrok dan tempramen.

Ia menyebarkan pandangan lantas menarik tangan lelaki itu, membawa dia masuk ke indekosnya.

Beberapa menit, diam melanda. Benar-benar sunyi, hingga suara sesenggukan gadis itu terdengar jelas di telinga lelaki tersebut.

Flashback On

Lelaki berjaket kulit menyalakan motornya dan meninggalkan gadis yang baru saja ia antar.

Bibirnya bergerak, sibuk menyanyikan lagu Zimzalabim milik Red Velvet. Dikala sibuk bernyanyi, ia tersentak saat menyadari bensinnya dalam keadaan sekarat.

Lagu Zimzalabim melayang dari kepalanya. Kini, ia sibuk mengumpat karena keadaan buruk yang kembali menimpanya, masih lekas di pikirannya saat ia menceritakan kepada gadis yang sebelumnya ia bonceng bahwa dompetnya ketinggalan. Memang, itu benar. Keadaan menghimpitnya. Satu-satunya jalan aman yakni berbalik arah, kembali ke rumah gadis tadi.

Sungguh, Dewi Fortuna benar-benar tak berpihak padanya. Belum sampai di tujuan, bensinnya telah habis. Kembali, ia mengumpat.

Dengan tergopoh-gopoh ia mendorong motornya hingga tiba di depan pagar indekos dan mendengar perdebatan ibu dan anak. Jelas, keberadaan lelaki itu tak disadari mengingat mereka terlalu sibuk beradu tatap dan argumen.

Tak sedetikpun ia lewatkan, semuanya masuk di telinganya, terekam jelas di kepalanya.

Flashback Off

"Gue menyedihkan, 'kan, Albi?" tanya Mat setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar seorang Albi.

Albi dengan cepat menggeleng. "Sama sekali tidak. Setidaknya, lu berani mengungkapkan apa yang ada di kepala lu."

Meski matanya benar-benar sembab, Mat terlihat melempar senyum hingga mata itu ikut melengkung. "Lu penuh teka-teki. Pendiam, ceroboh, dingin, penuh kehangatan. Lu membingungkan. Di antara itu, yang mana lu sebenarnya?" tanya Mat mengalihkan pembicaraan.

"Sifat gue yang sebenarnya semua tergantung bagaimana orang memperlakukannya gue," balas Albi.

Mat berusaha membalas senyum yang sedari tadi tercipta di wajah Albi. Pernah melihat hujan di saat matahari sedang terik-teriknya? Begitulah Mat di mata Albi saat ia tersenyum.

"Tentang yang tadi, cukup lu yang tahu, ya, Bi," pinta Mat yang langsung dibalas anggukan oleh Albi.

Mat berdiri, mengambil selimut dan bantal di atas kasur minimalisnya. "Mending lu nginep aja, besok lu nelpon anak-anak buat jemput lu."

Kembali, lelaki itu hanya mengangguk.

"Yaudah, sana tidur di kasur gue," perintah Mat.

Refleks, Albi membuka mulutnya lebar-lebar. "Jangan ngaco lu. Gue aja yang melantai."

"Gue nggak enak, Bi."

"Yang ada gue yang lebih nggak enak. Mana ada cowok biarin cewek ngelantai. Udah, sana tidur." Albi mengambil bantal dan selimut yang ada di tangan Mat.

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang