Flashback On
Jika disuruh memilih, mendapatkan uang dengan tujuh angka nol atau meninggalkan pelajaran satu hari jelas lelaki itu memilih meninggalkan pelajaran. Mengenai Bu Siregar yang hobi patroli sekolah, sudah menjadi santapan biasa bagi lelaki itu, ia dengan sangat mudah bersembunyi.
Dan sekarang, ia berada di dalam sebuah toilet cewek, mengamati sebuah coretan dan menyamakannya dengan apa yang ada di layar ponselnya. Cukup lama ia mengamati coretan tersebut, ia mengangkat senyum tipis lantas menjentikkan jarinya.
"Jam istirahat, di danau buatan." Lelaki itu mengirimi sebuah pesan sebelum akhirnya menyandingkan ponselnya dengan coretan lalu mengambil gambar dengan ponselnya yang satu lagi.
Ia berjalan keluar dengan santai meninggalkan toilet cewek. Sungguh, ia ahli di bidang ini, persentase ketahuannya di bawah lima persen.
Sekarang, ia duduk di pinggir danau buatan, menikmati angin sepoi-sepoi yang jarang sekali menyapa Kota Jakarta. Hanya kisaran 15 menit ia menunggu, seorang gadis datang dengan ngos-ngosan. Beberapa detik ia habiskan untuk menetralkan pernapasannya sebelum akhirnya ia memulai pembicaraan. "Gimana?" tanyanya.
"Sini, lihat, tulisannya sengaja dia jelek-jelekkan, huruf a di sini berbeda dengan di sini, namun yang di sini, sama dengan tulisan aslinya dan perhatikan huruf yang sama di kalimat ini, pasti berbeda-beda, artinya ia sengaja dan ini adalah orang yang kalian ketahui. Di tulisan ini banyak kesamaan huruf dengan yang di sini." Lelaki itu menunjuk gambar di ponselnya sembari menggesernya bergantian.
Jingga menghela napas berat. "Awalnya gue pikir pelakunya teman sekelas Mat dan menjurus ke mantan sahabat-sahabatnya, karena jelas Mat mengenal tulisan mereka alhasil mereka berusaha merubah tulisannya untuk tak diketahui. Tapi di sini Mat bilang yang mukul dia itu cowok, jadi bisa saja itu menjurus ke Given. Tapi siapa sangka, berkat tulisan yang dicuri itu lu bisa menyamakannya dan semakin menguatkan kalau pelakunya dia. Sumpah, emosi gue sama bajingan gila itu."
"Mengenai yang gue kirim ke lu semalam, udah lu tanyain ke Mat?" tanyanya.
Jingga dengan cepat menggeleng lantas berkata, "ia masih menolak untuk berbicara banyak semenjak insiden itu terlebih dia masih menerima teror kotak misterius di lokernya setiap hari."
"Tapi kunci lokernya ada, 'kan?" tanyanya.
"Aman, Martin." Jingga mengeluarkan tangannya dari sakunya dan menampakkan sebuah kunci.
Martin ikut merogoh kantongnya. "Kalau urusan yang ini bisa, kan, lu yang handle?"
Dengan cepat Jingga mengangguk dan kini ia diberikan sebuah benda kecil. "Kamera mikro, lu simpan di loker Mat dan pastikan tersembunyi dengan baik. Gue bisa melihat rekamannya dan mengontrolnya di ponsel gue."
Jingga mengangguk lantas melirik jam tangannya. "Gue pergi dulu, pasti anak itu nggak ke kantin kalau gak dipaksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...