Lift berdenting, gadis tinggi dengan rambut panjang yang terurai keluar dari lift dengan wajah suntuknya. Bagaimana tidak, ia sudah buru-buru turun demi menemui lelaki yang telah dihubunginya, sosok itu malah tak kunjung datang bahkan ketika ia sudah menunggu lebih dari satu jam. Padahal sudah tertulis jelas di kamus cewek, menunggu satu jam terasa se-abad.
Ia mendorong pintu apartemennya setelah memasukkan kode. Ia cukup kesusahan mengingat sekarang ia tengah menenteng sebuah goodie bag yang berisi makanan. “Mat, ayo makan,” pekiknya saat memasuki apartemennya.
Gadis kini membiarkan tubuhnya berselonjor di sofa sembari memakan potongan piza. “Mat, buruan keluar, mumpung lagi anget nih,” pekiknya kembali namun tetap saja tak mendapatkan respon.
Ia sudah menghabiskan dua potong piza namun Mat tak kunjung keluar dari kamarnya. Di detik berikutnya, ia mendengar suara dari dalam kamar Mat, jelas itu suara Louis yang terdengar ketakutan. Jingga mengernyitkan dahinya, ia berjalan pelan menuju kamar Mat.
Tepat saat ia membuka pintu kamar berwarna putih itu, ia membelalakkan mata sembari berteriak dan refleks terjatuh. Sungguh, tubuhnya bergetar hebat sekarang, sendinya seolah kehilangan fungsinya, namun ia memberanikan diri, gadis itu berlari lantas mengangkat tubuh sahabatnya itu. “Mat, turun, Mat, turun. Kumohon ....” Dada Jingga terlihat naik turun dengan wajahnya yang kini pucat pasih.
Namun, saat mengangkat tubuh itu jelas tangannya bersentuhan dengan kaki Mat, alhasil ia mampu merasakan tubuh dingin sahabatnya itu. Sungguh, IQ tingginya tak berguna sekarang, ia benar-benar panik. Gadis tinggi itu hanya mampu meraung dan menjambak rambutnya, memaksa otaknya berpikir. Dengan tangan yang masih bergetar hebat, ia mengambil gunting. Ia hanya cukup berjinjit untuk memotong tali yang mengikat leher sahabatnya. Tali itu putus dan Mat terjatuh dan langsung menyentuh lantai dingin yang sedingin tubuhnya.
Buru-buru, Jingga menempelkan telinganya di dada Mat berharap ia mendapatkan detakan di sana. Tak mendapatkan detakan, tubuhnya melemah, ia mendekatkan jarinya di hidung gadis itu, berharap ia masih bisa merasakan hembusan sekalipun itu hanya hembusan yang lemah. Tak ada, hembusan itu telah tiada, entah kapan terakhir kali hembusan itu dilepaskan.
“Mat, Matcha, Matcha Adellina. Ini nggak lucu, Mat. Mat bangun, gue bilang bangun!” Dengan sisa tenaga, Jingga menguncang tubuh Mat, berharap sosok itu terbangun.
“Mat, kalau lu ninggalin gue siapa yang bakal nemanin gue di sini, siapa yang bakal ngasi makan Si Louis, siapa yang bakal gue ajak ke kantin. Mat, gue nggak terima lu pergi begitu saja, bukannya lu tahu gue ini tipe orang yang nggak suka kalau keinginan gue nggak terpenuhi. Dengerin gue sekarang, bangun!” pekiknya sembari menangis tersedu-sedu.
“Siapa yang ngebuat lu begini, Mat, siapa? Kenapa lu nggak cerita sama gue? Mat, bangun, gue mohon, bangun.”
“Lu pergi tanpa mewujudkan mimpi lu? Hei, sejak kapan lu sepengecut ini? Bukannya lu mau sukses biar bisa balas jasa-jas orang yang sudah bantu lu? Mana buktinya? Lu bahkan pergi tanpa izin, bukan lu banget, jahat banget lu sumpah. Jadi bangun yuk Mat, kita bareng mewujudkan mimpi lu itu.” Tetap saja, tak ada respon.
Tangannya yang masih bergetar beralih menutupi wajahnya dan perlahan turun memukul lantai, meluapkan emosi karena ketidakterimaannya dengan kepergian sahabat perempuan satu-satunya itu.
“Jingga, Jingga, bangun!” Tubuh Jingga diguncang perlahan membuat gadis itu membuka mata dan ditarik ke alamnya.
Dengan wajah dipenuhi peluh dan dengan napas yang berat, Jingga menatap sosok yang telah mengguncang tubuhnya dengan tatapan penuh ketakutan.
“Kok bisa lu ket—” Kalimat lelaki itu terpotong bersamaan dengan Jingga yang berlari meninggalkan kafe tersebut.
“Mbak, minumnya belum dibayar?” pekik seorang pelayan kafe.
Lelaki itu mengeluarkan uang pecahan 100 ribu dari dompetnya dan buru-buru mengikuti Jingga.
Di sisi lain, Jingga telah sampai di apartemennya, ia bergegas membuka pintu kamar berwarna putih dengan kasar. Tak ada penghuni di kamar itu, namun mendengar suara gemericik air si kamar mandi membuat Jingga beralih mengetuk kasar pintu tersebut.
“Mat, lu nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Jingga.
Tak mendapatkan respon, Jingga memukul keras pintu toilet tersebut dan kembali berteriak. “Kalau lu nggak respon, gue dobrak pintunya!” ancamnya.
Perlahan, pintu kamar mandi dibuka oleh sesosok gadis yang hanya mengenakan handuk. “KENAPA, SIH? NGGAK BISA AMAT LU NGELIHAT GUE SANTAI SED—”
Ucapan Mat terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang direngkuh oleh Jingga. Gadis itu menangis hebat. Untuk pertama kalinya, Jingga menangis di hadapan Mat.
Pintu kamar Mat kembali terbuka dan tampaklah seorang lelaki dengan napas ngos-ngosan. Matanya terbelelak dan Mat memekik hebat. “ALBI! KELUAR LU, BANGSAT!”
Dengan secepat kilat, Albi menghilang dari ambang pintu. Dan perlahan, Jingga melepaskan pelukannya. “Kalau lu punya masalah ceritain ke gue, please. Jangan pendam semuanya sendiri. Bahkan, ketika semua orang di dunia ini tak ada yang berpihak pada lu, gue tetap ada buat lu, Mat.”
Mat mengangguk dengan keadaan mata yang berkaca-kaca. “Lu kenapa jadi kayak gini, Jingga?”
Jingga menghapus air matanya dengan kasar lantas menggeleng pelan. “Gue hanya nggak mau lu memendam semuanya sendiri. Udah sana, pakai baju dulu.”
Jingga keluar dan menghampiri Albi yang duduk di ruangan tamu.
Plak!
Tangan Jingga mendarat manis di kepala Albi membuat syaraf di kepala lelaki itu hampir putus. “Sialan lu! Jika bukan karena lu yang ngebuat gue nungguhampir sejam dan buat gue ketiduran, gue nggak bakal mimpi semengerikan itu di siang bolong.”
“Tapi ini, kan, udah malam.” Albi membenarkan.
“Di malam bolong kalau gitu.”
“Lu tahu sendirilah, Jingga, Jakarta macetnya gimana. Emang lu mimpi apa?” Bisa-bisanya lelaki itu bertanya setelah kepalanya telah di tempeleng sempurna dan pelakunya masih emosi.
“Jangan banyak tanya kalau lu nggak mau berakhir jadi manusia geprek!” balas Jingga.
Mat menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia berusaha menghilangkan sisa-sisa mimpi itu yang entah kenapa amat sangat nyata buatnya.
“Lu ada perlu ap—” Ucapan Albi kembali terpotong saat Jingga menoleh dengan sangat pelan dengan tatapan siap menerkam. Alhasil, Albi langsung mengatupkan bibirnya.
Kembali, Jingga diam hingga terdengar pintu kamar yang berdecit tanda pintuitu telah dibuka. Tampaklah sesosok gadis dengan piyama dan rambut basahnya menghampiri mereka. Jingga diam, bagaimana bisa piyama yang sekarang dikenakan oleh Mat sama dengan di mimpinya?
Jangan ditanyakan bagaimana bergemuruhnya dada Jingga sekarang. Sungguh, ia amat sangat takut. Bahkan, ketika mimpi itu kembali terngiang, rasanya ia ingin berteriak kencang, menolak mentah-mentah hal itu meski hanya sebatas mimpi. Hanya karena sepotong bunga tidur, Jingga jadi sepenakut ini. Demi apapun, ia takut kehilangan satu-satunya sahabat perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...