Angin berhembus pelan saat Mat menurunkan kakinya dari mobil mewah yang dikendarai Si Oren. Ia turun dan berjalan menuju minimarket tempatnya bekerja.
Seulas senyum hangat milik rekan kerjanya langsung menyambutnya. Entah apalagi keperluan Jingga hingga ia mengekori Mat.
Mat yang sebelumnya nekat berganti baju di mobil tinggal berjalan menuju tempat kasir.
"Lu perlu apalagi?" protes Mat yang risih dengan keberadaan Jingga.
"Pokoknya gue mau ajak lu keluar. Itu aja," jawab Jingga, enteng.
"Tapi lu lihat sendiri apa yang gue kerja. Yakali lu nunggu sampai shift gue selesai," kata Mat.
Jingga menyengir lebar yang bukannya membuatnya menarik malah mirip kuda. "Lu remehin gue banget dalam hal nunggu, Mat."
Mat memutar mata malas. Ia bertemu dengan orang yang salah. Orang yang keras kepalanya sebelas dua belas dengannya.
Fidella yang sedari tadi menonton gratis hanya diam, khas gadis tersebut.
"Adik kelas, ya? Muka lu agak familiar?" tanya Jingga tanpa basa-basi pada Fidella.
Fidella hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan seniornya tersebut.
"Nama lu siapa?" tanya Jingga cepat.
"Fidella, Kak."
Mendengar jawaban juniornya tersebut, Jingga sontak mengangkat bibirnya dan menunjukkan wajah congkaknya. "Aset penting Tohpati, bukan?"
Fidella bingung dengan arah pertanyaan Jingga, ia sedikit ternganga karena tak pernah menyangka bahwa seniornya tersebut akan melemparinya dengan pertanyaan semacam itu.
"Auh." Jingga meringis pelan saat merasakan kepalanya dipukul oleh sesuatu.
"Ini saringan lagi diskon. Beli satu gratis satu. Tapi lu gue kasi gratis biar mulut lu itu nggak langsung plong kalau ngomong sesuatu. Itu saringan difungsiin buat nyaring perkataan lu itu," ucap Mat tanpa merasa bersalah setelah memukul kepala Jingga dengan saringan.
"Astaga, Mat. Bisa-bisanya ...."
"Apa yang tak bisa di dunia ini jika ada niat. Bahkan kalau gue ada niat celupin lu di got depan juga bisa gue celupin sekarang atau nanti."
Tampaknya diam adalah jalan ninja sesungguhnya seorang Fidella. Ia kembali diam dan sedikit mengerutkan alis heran melihat perubahan signifikan seorang Mat. Mat memang kadang banyak bicara namun kali pertama ia melihat Mat mengoceh sembari berulah seperti tadi. Bahkan, sering kali ia mendapatkan gangguan dari para anggota geng Tohpati namun ia hanya diam melayani mereka sebagaimana tugasnya. Hal itu membuat u-cangkir kadang bingung memikirkan cara bagaimana membuat Fidella dan Mat bereaksi saat diganggu.
"Fidella, jangan dengar dia. Sumpah, gue nggak kenal sama dia. Modal pembalut dia jadi gini. Takut aja kalau nggak normal jadi hiraukan aja, ya," pinta Mat sebelum melangkah keluar menuju rak yang hendak dirapikan.
"Ngomong apa lu. Nggak normal palamu. Gini-gini, gue punya mantan dan tanda kutip cowok. Dan juga gue banyak yang ngejar." Di akhir kalimat ia tersenyum lebar sembari cengengesan, tampak bangga dengan kalimatnya itu.
Detik itu juga, rasanya Mat ingin memusnahkan spesies semacam Jingga. Senyumnya itu benar-benar membuat enek. Semakin Jingga berbicara Mat semakin sadar bahwa gadis itu cantik tapi— maaf ... otaknya ... geser.
"Nggak ada yang nanya."
"Ye ... ada. Lu nanya, kan, Fidella?" Jingga berusaha membela diri.
Fidella tak mengangguk, tak juga menggeleng. Ia hanya tertawa kecil menanggapi hal itu. Fidella memang tipe cewek pendiam tapi mustahil jika tak ada setitik emosi ia sematkan karena keberadaan makhluk oren itu.
***
Mat mengatupkan bibir saat ia masuk di sebuah kafe bernuansa millenial yang sering sekali menjadi kunjungan anak hits Ganendra Jaya. Mat tentu sudah dengar perkataan Jingga bahwa tempat ini menjadi salah satu tempat kunjungan favoritnya. Jadi bisa ditebak Jingga masuk golongan mana.
Mat dan Jingga duduk di pojokan yang dindingnya tertulis sebuah quote dan di atasnya terdapat lampu gantung yang kian menambah keestetikan tempat tersebut.
Pelayan kafe tersebut datang membawa menu yang membuat Mat was-was untuk membukanya.
Melihat kecanggungan Mat, Jingga memilih lebih dulu membuka buku menu yang sebenarnya hampir ia hapal isinya. "Gue seperti biasa aja, deh ."
Pelayan tersebut mengangguk paham.
"Lu minumnya apa?" tanya Mat.
"Matcha." Mat sedikit menegang mendengar balasan Jingga.
Meski tak tahu dengan menu lain yang Jingga pesan, Mat terlihat berusaha menyesuaikan diri di tempat ini dengan berkata, "Sama dengan Mat, bedanya gue minumnya taro."
Pelayan itu kembali mengangguk paham sembari menyebutkan menu yang dimaksud Jingga dan Mat. Setelah itu, Jingga mengangguk.
Sekitar sepuluh menit menunggu, pesanan mereka datang. Mat tak percaya, selain humornya garing, Jingga juga makannya porsi kuli.
Mat berdehem pelan. "Kenapa sih ngebet banget ngajak gue keluar?"
"Gue nggak suka ngutang sama orang lain."
Mat tertengun sebentar lantas memajukan wajahnya lalu mengurangi volume suaranya. "Pembalut sebiji lu balas dengan makanan yang harganya bisa bikin gue kejang-kejang, ini yang lu katakan nggak mau ngutang?"
"Udah, ah, terima aja. Makan jangan banyak bicara."
Mat menggeleng lantas menarik bil yang sebelumnya datang bersama pesanan.
Mata Mat membulat sempurna. "Empat ratusan kalau gue makan di prasmanan depan rumah bisa buat sebulan, Oren."
"Bisa diam gak sih, Mat? Nggak sesuai ekspetasi banget sih lu. Awalnya dingin, dari cerita orang lain cuek, aslinya nggak bisa diem," balas Jingga yang sama sekali belum menyentuh makanannya.
"Nah itu kerennya seorang Mat. Ia ambivert, bisa introvert bisa ekstrovert tergantung gimana orangnya. Gak kayak lu dilihat-lihat lu nggak bisa diam di segala situasi, bahasa halusnya bar-bar," ucap Mat yang diakhiri tawa renyah— tawa pertama yang dilepaskan Mat saat mengenal gadis yang ada di hadapannya.
"Kayaknya lu punya dendam lama deh sama gue. Udah ganti nama gue, tampar gue, pukul kepala gue, dan setiap waktu mojokin gue. Mungkin mulai sekarang hobi baru lu mojokin gue deh, Mat. Udah ah, bodoh amat, buruan makan."
Jingga melihat Mat tampak menikmati makanannya. Ia tipe orang yang benar-benar mematuhi adab makan terlihat bagaimana ia sama sekali tak bersuara saat menikmati makanannya. "Gue nggak pernah main-main sama ucapan gue bahwa gue mau jadi sahabat lu, Mat."
Mat mengangkat pelan wajahnya. "Waktu makan dibuat makan, waktu bicara dibuat bicara. Semua ada tempat dan waktunya tersendiri. Jangan egois dengan mengambil waktu suatu hal, Oren," tegur Mat yang mampu membuat Jingga diam dan fokus pada makanannya.
Rupanya, Jingga tak salah menilai Mat. Ia benar-benar mematuhi adab makan.
Selesai makan, ia tinggal menikmati menu makanan penutup yang berupa es krim.
"Mengenai ucapan lu yang tadi, gue juga nggak pernah main-main sama ucapan gue mengenai gue yang nggak percaya dengan kata sahabat. Baru hari ini gue mendapat kesan buruk dari kata itu, Oren," kata Mat.
"Kalau gitu, gue yang bakalan menjadi bukti bahwa tak selamanya sahabat seperti itu. Apa yang sudah lu alami bukan perlakuan dari sahabat lu. Gue bisa menebak bahwa lu pasti telah dikhianati. Tapi, perlu lu tahu, mereka sama sekali tak pantas menyabet kata sahabat dari lu. Seandainya ia sahabat, tak mungkin ia nusuk lu dari belakang. Lu salah persepsi dengan sesuatu yang suci, Mat." Sepanjang hari Mat membungkam orang lain dengan bibirnya sendiri dan hari ini juga ia mendapat balasan dengan dibungkam oleh orang yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu. Tapi, bukannya itu sudah adil?
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...