Helm berwarna pink muda campur putih terlihat begitu kontras dengan seragam yang digunakan seorang gadis yang rambutnya kini terlihat kusut setelah baru saja turun dari motor.
Senyumnya terangkat dengan cepat saat matanya bertemu dengan mata seorang lelaki yang membuat ia yakin akan dunianya yang benar-benar berotasi.
"Jago banget ya, ngebujuk satpam sekolah," puji Mat yang diakhiri dengan kekehan kecil.
Dia ikut terkekeh lantas membiarkan tangan panjangnya bertumpuh di pundak gadis itu. "Orang ini kali pertama gue hampir terlambat, jadinya masih dikasi kelonggaran."
Sebenarnya, bukan waktunya berjalan santai mengingat sebentar lagi waktu pelajaran dimulai. Berada di gedung berbeda membuat mereka masing-masing memilih koridor untuk ditempuh.
Gadis itu terpaku, menatap punggung pacarnya yang kian menjauh. Senyumnya terangkat begitu lama. Bagaimana bisa seorang anak SMA tak marah ketika memergoki pacarnya berada di bawah atap yang sama semalaman. Dia berbeda. Begitulah pikiran gadis tersebut, dia dewasa sebelum waktunya.
Kembali, ia melirik jamnya. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju kelas. Ponselnya bergetar, ia merogoh kantongnya melihat nama seorang wanita di sana. Dahinya berkerut, tak percaya dengan nama yang terpampang di sana.
Namun, karena berada dalam situasi mendesak, ia menolak panggilan tersebut. Bukan lagi berjalan, melainkan berlari, alhasil tak butuh lima menit ia telah sampai di kelas.
Bersamaan dengan itu, sang guru mata pelajaran masuk. Senyum Mat mengembang, satu-satunya pelajaran yang tanpa dipaksapun masuk di otaknya adalah sejarah. Ia menyukai hal yang berkaitan dengan masa lalu. Meski salah jurusan, setidaknya ia masih bisa bersyukur karena di kelasnya masih ada yang namanya pelajaran lintas minat. Dengan begitu, ia masih bisa berkutik dengan manusia purba, Mahabrata, G30SPKI, dan segala macam materi sejarah lainnya.
Si guru mata pelajaran terlihat berdiri, menulis sesuatu di papan tulis. "Kerajaan Hindu-Buddha."
Mungkin, teman cowok yang melihatnya akan melabeli Mat sebagai orang kehilangan akal mengingat ia kini senyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak, masih lekat diingatan seorang Mat saat ia memesan ojek online dengan namanya di aplikasi "Dyah Pitaloka." Salah satu bukti kecintaannya terhadap sejarah.
Sejujurnya, Mat adalah orang yang benar-benar absurd. Tak bohong, ia pernah berkhayal. Jika dizinkan untuk melakukan perjalanan waktu, ia ingin pergi ke masa lalu, menjadi saksi sumpah palapa diucapkan. Atau tidak, dia ingin menjadi dayang atau maksimal menjadi saudari Dyah Pitaloka dan menceramainya habis-habisan bahwa ia tak dicintai oleh Hayam Wuruk, dia hanya dimanfaatkan, dia harus menolak baik-baik perjodohan itu. Semua hendak ia lakukan demi menghindari peran bubat pecah.
Semuanya hanya sebatas imajinasi gila seorang Mat. Imajinasi seorang pencinta masa lalu.
"Matcha Adellina, nilai ulangan harian kamu sempurna. Paling tinggi sejurusan. Saya lihat-lihat, kamu ini salah jurusan, harusnya kamu masuk IPS, bukan IPA."
Ingin sekali ia berteriak di wajah guru itu mengenai kebenciannya berada di jurusan ini. Jika bukan karena tuntutan beasiswa, mana mau dia ambil jurusan yang jelas-jelas bukan minatnya. Beruntung, lidahnya masih bisa ditahan. Alhasil, ia hanya mampu membalasanya dengan senyuman.
Seisi kelas tak lagi terkejut dengan ucapan guru tersebut mengingat Mat sudah sering sekali menjadi peraih nilai tertinggi di angkatan IPA.
Ya, memang, dia si cewek rata-rata, bahkan sesuatu di bagian dada yang seharusnya menonjol untuk seorang gadis tak terlalu kentara di tubuh Mat. Pernah sekali Jingga bercanda mengenai dia, dimana gadis itu meledek Mat dengan panggilan. Tikus Darat. Sebuah singkatan dari, "tinggi kurus, dada rata." Mat jelas tertawa mendengar candaan gadis itu. Tak tahu diri, begitulah di pikiran Mat saat itu, mengingat Jingga jauh lebih tinggi dan kurus darinya. Dan ya ... perlu diakui, sesuatu menonjol di dada Jingga memang jauh lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...