Mat akhirnya bingung dengan pola pikir seorang Jingga. Bagaimana bisa manusia itu terobsesi ingin menjadi temannya. Ia menarik napas panjang lantas turun dari mobil yang dikendarai Jingga. Gadis itu menatap kanan dan kiri dengan ekspresi yang bingung. "Kos lu mana?" tanyanya cepat.
"Di dalam sana dan masih ada lorong. Lorongnya sempit, becek, dan bau. Yang pasti lu anti banget sama jalan menuju kos gue," balas Mat.
"Naik, gue anter sampe depan rumah lu."
Mat memutar mata sebal lantas menutup pintu mobil Jingga. Sontak, Jingga berteriak, "Woi Mat. Bisa-bisanya lu—"
"Pulang .... lu perlu ganti pembalut. Gue baru sadar lu sinting karena lu PMS," potong Mat.
Bukannya pulang, Jingga malah keluar dari mobilnya berjalan menuju Mat yang terlihat memutar mata. Jika seandainya mereka berada di film kartun, sudah pasti telinga dan hidung Mat mengeluarkan asap layaknya kereta uap.
Mat mengangkat senyumnya, senyum yang sangat dipaksakan lantas berjalan meninggalkan Jingga.
"Mat, gue anter gih," ucap Jingga memelas.
Mat berbalik lantas menatap Jingga tajam. "Jingga Xalangit. Bumi tak berputar mengitari lu. Tidak semua apa yang lu mau akan diwujudkan," ucap Mat pelan namun penuh dengan tekanan.
"You are my best friend right now. See you tomorrow, Mat." Akhirnya gadis setengah waras itu berjalan menuju mobilnya.
Di dalam mobilnya ia menurunkan kaca lalu menyembulkan kepala sembari melambaikan tangan ke arah Mat. "Ucapan lu tadi jadi quotes of the day buat gue."
Mat memutar mata sebal lantas bersiap mengeluarkan kalimat sakralnya. "BACOT!!!"
***
Matahari sudah menyapa makhluk di Tuhan yang menapak di atas bumi. Sinarnya yang terang seolah mengalirkan semangat kepada semua makhluk bahkan yang belum beranjak dari tempat tidurnya. Seperti Mat, beberapa detik yang lalu ia terbangun sembari mengucek matanya yang semalam egois tak mau diajak berkompromi. Mat hanya mendapatkan tidur kurang lebih tiga jam sebelum akhirnya ia beranjak meninggalkan tempat tidurnya.
Persetan dengan jarum jam yang sudah mau menginjak angka tujuh. Dia malah membuka lemari mengambil kopi yang logonya dari kapal lantas menyeduh kopi tersebut. Sebuah kebiasaan baru akhir-akhir ini. Mat tak terlalu menyukai kopi hitam, namun karena pertolongannya yang tak membuat ia loyo dan mengantuk setelah tak mendapatkan tidur yang tak cukup, dia jadi lumayan gemar menyicip cairan hitam itu.
Kopinya telah diseduh, ia cukup membuka satu-satunya jendela di indekosnya untuk bebar-benar menikmati secangkir cairan hitam itu.
Pernah mendengar kalimat 'awali pagi dengan senyuman?' jika pernah berarti kalian akan tahu bahwa Mat pelanggar kalimat itu. Matanya terlalu pagi menangkap seseorang yang sudah jelas menjadi awal dari harinya yang pahit, sepahit kopi yang sudah ia seduh.
"Dari tadi gue klakson tapi lu gak keluar. Ini udah mau jam tujuh lho, Mat!" teriak gadis yang menyembulkan tubuhnya dari mobil.
"Bodohamat! Mau ngopi," balasnya enteng.
Gadis itu sontak terbelalak mendengar balasan Mat. "Santuy bet dah lu jadi hoomen."
"Bodoh amat, Oren. Daripada gue ke kampus sampainya malah ngantuk kan nggak guna!" ucap Mat setengah berteriak.
"Ok, ok, tapi ini lu nggak ada niat apa nyuruh gue masuk?"
Mat acuh dengan ucapan Jingga. Ia memilih menyeruput kopinya seolah tak ada makhluk bernyawa yang menunggu di luar.
Merasa tak mendapatkan respon, Jingga memutuskan berjalan menuju pintu indekost Mat. Pintu diketuk keras membuat Mat berjalan dengan muka datar. "Ngapa lagi sih lu ini? Kayaknya lu termasuk manusia yang nggak normal apabila waras, ya?" tanya Mat setelah mencebik.
"Lu aja kali. Ini lu bukannya nyuruh gue masuk malah nanya nggak jelas gini. Perjuangan banget lho nyari rumah lu. Ini aja di ibu-ibu tukang sayur gue nanya lu dia malah minta di deskripsikan dari fisik sampe cara jalan. Sumpah, gue berasa nyari anak hilang tau, gak!" omel Jingga.
Jujur saja, tawa Mat hampir meledak saat itu juga. Mat yang pergi pagi pulang malam jelas sulit diketahui keberadaannya oleh gerombolan ibu gosip tukang sayur. "Salah sendiri. Yang nyuruh jemput siapa?"
"Tau deh ayam," kata Jingga yang mulai berjalan menuju kamar Mat.
Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kejar-kejaran lagi nih setelah setahun nggak ngerasain. Eh, btw gue laper nggak sarapan gara-gara mau jemput lu."
Mulut Mat mendadak terkatup setelah sebelumnya merapal doa agar kalimat barusan tak dilepaskan oleh Jingga. Mat menarik napas panjang lantas mendorong pelan Jingga. "Yaudah, sana masuk gue siapin sarapan."
Jingga mengagguk patuh lantas memasuki kamar Mat yang sebenarnya seluas kamar mandinya di apartemen milik ayahnya.
Mat berjalan menuju lemari mengambil roti sandwich kadaluwarsa yang ia ambil dua hari yang lalu di minimarket. Dia melepaskan roti itu dari bungkusannya lantas meletakkannya di piring. Ia menyiasati roti tersebut agar bisa dimakan oleh Jingga. Mat hanya bisa berdoa, semoga Jingga yang notabenenya berlambung sultan tak diare atau keracunan setelah memakan roti tersebut.
Mat lantas memberikan Jingga kopi tersebut. Jingga yang melihatnya terlihat antusias. Ia memakannya tanpa mengajukan pertanyaan yang jawabannya sudah disiapkan oleh Mat.
"Poor Jingga. Seumur-umur pasti ini kali pertama lu makan roti kadaluwarsa. Ya, siapa suruh berteman sama gue yang miskin dan gembel ini. Bangga juga gue lihat lu nikmatin roti itu, ini jadi bukti bahwa sekaya-kayanya lu kalau udah di tangan gue, auto gembel lambung lu," batin Mat sembari menahan tawanya.
"Nggak usah ngelihatin gue makan. Sana mandi," ujar Jingga sembari menguyah rotinya.
"Mau ngopi dulu."
"Sumpah, absurd banget lu jadi cewek. Sana mandi, sekalian cek kloset." Jingga meletakkan cangkir kopinya yang kosong di depan mata Mat.
Mat mendengus sebal lantas berjalan mengambil handuk. "Lu minum kopi gue sama artinya lu biarin gue tidur di kelas."
Seolah menulikan telinganya, Jingga tak lagi membalas ucapan Mat. Dia lebih memilih memperhatikan Mat yang berjalan menuju kamar mandi hingga ia lenyap dari pandangannya setelah pintu kamar mandi ditutup.
Jingga mulai menghitung dalam hati siap mendengar makian dari Mat. Tepat, dihitungan ketiga, teriakan Mat menggelegar. "Oren sialan! Kirain kopi gue diminum sama lu. Nyatanya lu buang di kloset. Ngga lucu air yang sudah bercampur tai dicampur lagi sama kopi gue yang suci itu!"
Jingga tertawa mendengar teriakan itu. "Kurang absurd apalagi lu jadi cewek Mat."
"Bacot, Oren, bacot! Gue nggak dengar, gue nggak punya telinga sekarang. Bosan jadi manusia, digangguin mulu sama makhluk kayak lu. Gue sekarang jadi sabun batangan!" balas Mat sembari mengguyur tubuhnya di dalam sana.
Tawa Jingga kian meledak mendengar penuturan Mat yang kurang waras. "Sebut saja pembalasan."
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...