awal titik terang

21 5 0
                                    

Pada akhirnya, manusia terlahir menjadi samsak bagi orang dewasa. Dituntut menjadi ini itu, dipaksa menantang dunia yang keras, atau malah dijadikan media balas dendam karena ulah tangan orangtua yang mengaku orang dewasa. Konon Mat di posisi ini karena ulah orang dewasa, tak tahu orang dewasa mana yang mereka maksud intinya Mat yang tak tahu apa-apa ini menerima sakit yang membuatnya kembali berakhir di ranjang rumah sakit.

Baru saja dokter keluar dari ruangan Mat, dan ia mengatakan, “Tak perlu khawatir, dia hanya perlu istirahat, meski mengenai tulang belakangnya, ia beruntung karena tak mengalami cedera saraf tulang belakang, jadi, ia hanya perlu istirahat beberapa hari dan akan berangsur sembuh. Dia pingsan begitu dikarenakan shock.”

Gadis yang sudah lama bertempur dengan dunia sudah pasti menganggap luka semacam itu hal biasa. Ingat ketika Mat dihantam besi di kepalanya? Dia hanya memerlukan waktu satu minggu untuk sembuh dan mampu beraktivitas seperti biasa, padahal dokter berkata paling cepat dua minggu. Sungguh, rasanya ia seperti Iron Man— ralat, Iron Girl— yang diberkati tulang besi.

Anak Xilion yang sedari tadi menunggu di luar kompak bernapas lega lantas beberapa dari mereka memilih pergi tanpa melihat langsug keadaan gadis itu. Bukan karena enggaan melainkan mengalah kepada teman-temannya yang lain mengingat jumlahnya yang tidak main-main banyaknya untuk ukuran orang yang berkunjung ke rumah sakit. Lihat saja koridor rumah sakit yang kini full.

Hanya sepuluh orang yang tinggal, tak tertinggal Albi, Ando, dan Fikar ikut tinggal. Albi masuk dan langsung bergeas menghampiri gadis itu yang kini meringis kesakitan.

“Lu sudah sadar,” ujar Albi dengan bodohnya sembari menatap Mat intens.

Mat berdehem sebagai balasan dari ucapan lelaki itu. “Maaf gue telat, Mat, karena gue telat lu jadi begini,” ucap Albi dengan raut khawatir yang tak bisa disembunyikan.

Pintu terbuka dengan kasar. Seseorang memasuki ruangan dengan wajah panik dimana ia mengenakan baju yang sama dengan Mat dan tentu sebuah jarum masih melekat di tangannya beserta seorang lelaki yang setia mengangkat cairan infus.

Jika berdosa menertawakan orang sakit maka Ando dan Fikar akan berdosa besar karena mereka kompak menggigit lidah dan tertawa tanpa suara melihat keberadaan gadis itu.

“Eh Oren, padahal tadi gue sama anak Xilion yang lain rencana ngejenguk lu habis pulang sekolah, tapi keknya udah nggak usah deh,” celetuk Mat dengan suara serak basahnya khas baru siuman.

Katakalanlah otak Mat sudah tak berfungsi dengan baik. Bagaimana bisa ia mengatakan demikian ketika ia hampir membuat Jingga frustasi karena keadaannya.

“Udah, nggak usah mikirin itu, tadi anak Xilion yang lain udah singgah di ruangan gue sebelum pergi, karena merekalah gue telat ke sini,” balas Jingga.

“Udah, kok pembahasannya malah ke sana sih, lu apanya yang sakit? Siapa yang ngebuat lu kek gini?” tanya Jingga bertubi-tubi.

“Iya gue udah nggak kenapa-napa kok, cuma punggung gue yang masih agak sakit dan gue gak tahu mereka siapa,” jawab Mat.

“Punggung? Dia mukul lu?” tanya Jingga sembari membulatkan matanya.

Dengan pelan, Mat mengangguk. “Dia mukul gue pake kursi yang di rooftop dan sempat nampar gue, Jingga.”

“Motifnya apa coba atau jangan-jangan mereka teman sekelas lu yang punya dendam sama lu, misalnya Si Naomi dan kawan-kawan itu,” ucap Jingga berapi-api.

“Sudah pasti bukan, mereka cowok.”

“Mereka? Berarti lebih dari satu orang?” Jingga tak bisa menahan amarahnya sekarang.

Mat kembali mengangguk pelan lantas berkata, “udah nggak usah dipikirin.” Sudah pasti Mat menolak mengatakan bahwa ia dijadikan media balas dendam, ia harusnya bersyukur memiliki ereka terlebih Jingga dan Albi. Mengenai apa yang terjadi hari ini, sungguh, ia benar-benar ikhlas meski sebenarnya sulit menerima kenyataannya.

“Serius lu ngak mengenali mereka, Mat?” tanya Jingga lagi.

“Mereka memakai topeng dan hoodie,” jawab Mat singkat.

Jingga berbalik, membuat lelaki yangsedari tadi memegang cairan infus Jingga tersentak. “Bang ... lihat, kan, ini nggak bisa diserahkan ke pihak sekolah, saya nggak percaya dengan pihak sekolah, saya nggak percaya mereka bisa menyelesaikannya. Serahkan saja ke pihak polisi, Bang. Ayolah ...,” mohon Jingga.

“Nggak usah, Pak, nggak usah dengerin ucapan Jingga, cukup serahkan ke pihak sekolah,” ucap Mat cepat.

“Lah, kok gitu sih, Mat,” celetuk Albi.

“Lu mau ngebuat nama Ganendra Jaya tercoreng hanya karena kasus ini? Dengan memanggil polisi sama artinya kita menarik media, lu tahu sendiri kan bagaimana tertariknya media dengan Ganendra Jaya,” kata Mat.

“Bahkan ketika lu diginiin lu masih mikirin nama sekolah? Jangan karena bokap gue pemilik yayasan lu jadi bilang gitu, Mat,” ucap Jingga yang kian berapi-api.

“Jingga, bukannya gue pernah bilang bumi tidak mengelilingi lu? Konsepnya sama di gue, gue juga nggak dikelilingi bumi, maka dari itu gue nggak mau menjadi orang egois. Bisa saja karena gue, bukan hanya bokap lu, tapi seisi Ganendra, lu, guru-gue yang lain bisa terkena percikan,” kata Mat.

“Tapi, Mat—”

“Gue mau istirahat, Jingga.” Mat jelas serius sekarang mengingat ia yang menanggil Jingga dengan namanya yang asli dan mendengar itu Jingga memutuskan keluardari kamarnya diikuti Orion yang masih setia membawa infus adiknya.

Benar saja, gadis itu kini menutup matanya menghiraukan keberadaan Albi yang berada di dekatnya.

***

Pernah mendengar segala masalah bisa diselesaiakn dengan uang? Jelas hal itu tak asing dan sebenarnya segala konflik ini terjadi karena lembaran kertas itu dan cara Jingga menyelesaikannya lagi-lagi dengan uang. Dengan meminta bantuan Martin— sepupu Albi yang tak dapat dipungkiri ahli dalam hal mengungkat sindikatseperti ini.

Abaikan upayah sekolah, mereka jelas sulit menemukan titik terang hingga akhirnya menyerah. Dengan diberikan beberapa pertanyaan untuk dilemparkan ke Mat, mereka perlahan menemukan titik terang. Jingga jelas menanyakan layaknya tak mengungkapkan kasus mengingat hal ini ia lakukan tanpa sepengetahuan Mat.

Setelah dirawat selama empat hari di rumah sakit, Mat kembali ke sekolah dan seolah tahu dengan Mat yang akan kembali ke sekolah, ia lagi-lagi disambut dengan kotak misterius yang kini berisi tikus mati. Dan dengan mudah, Jingga mengetahui bahwa sahabatnya mendapatkan teror seperti itu.

Namun siapa sangka, dengan keberadaan kotak itu, Jingga kian mendapatkan celah untuk mengetahui segalanya, pelaku coretan pintu toilet, loker, dan bangku, adalah pelaku yang memukul Mat dan meneror dengan kotak misterius itu. Semuanya tertuju dengan satu orang. Martin hanya perlu satu lagi bukti, apabila mendapatkan satu bukti jelas itu, semuanya akan terungkap, permainan sesungguhnya akan dimulai dengan mencungkir balikkan orang tersebut. Dan Jingga, tanpa memerlukan rekaman ia sudah seyakin ini dengan semuanya.

Jujur, ia amat kesusahan menahan emosi, ingin meledakkan emosinya dan menguliti manusia itu saat melihatnya.Sampai sekarang ia bebas tertawa tanpa bersalah setelah membuat hidup seorang gadis tak bersalah amat menderita.

Bersambung ....

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang